Film The Gentlemen yang bertaburkan bintang-bintang ternama mengembuskan angin segar di antara maraknya film-film pahlawan super, drama, atau fiksi sains.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Sindikat-sindikat narkoba baku hantam memperebutkan wilayah kekuasaan. Mafia, aristokrat, gembong oligarki, hingga bandit-bandit kroco saling caplok uang, informasi, dan posisi. Balutan aksi serupa film-film segenrenya, tetapi dengan sumber konflik yang tak lazim: mariyuana.
”Kalau mau menjadi raja, tak cukup bertindak. Kau harus menjadi raja itu sendiri,” ujar Mickey Pearson (Matthew McConaughey). Kalimat itu membuka The Gentlemen, film bertema gangster dengan durasi hampir dua jam. Pearson menguasai perkebunan ganja berteknologi canggih yang menempati 12 lokasi di Inggris.
Ganja bermutu yang disebut white widow super cheese itu dibudidayakan di ruang bawah tanah. Pearson menyewa lahan dari bangsawan-bangsawan yang butuh banyak uang untuk merawat kediaman mewahnya. Ia berniat pensiun dan menjual perkebunannya untuk menikmati sisa hidup dengan damai bersama istrinya, Rosalind Pearson (Michelle Dockery).
Pearson menjajaki Matthew Berger (Jeremy Strong) untuk menawarkan usahanya seharga 400 juta dollar AS atau sekitar Rp 5,5 triliun. Ganja masih ilegal untuk digunakan secara bebas di Inggris. ”Kalau larangan memakai ganja untuk umum sudah dicabut, nilainya bisa melejit berkali-kali lipat,” ujar
Pearson.
Lumrahnya hubungan antarmafia, bisnis ilegal akhirnya berujung kaos. Simbiosis parasitisme dialami pula oleh Raymond (Charlie Hunnam), bawahan Pearson yang setia. Raymond diperas Fletcher (Hugh Grant) menggunakan temuan informasinya soal sepak terjang Pearson.
Fletcher menuntut 20 juta pound sterling (sekitar Rp 350 miliar). Kekisruhan kian semrawut tatkala Dry Eye (Henry Golding), pentolan mafia muda yang pongah, campur tangan. Ia berambisi mengambil alih kekuasaan Pearson dan memaksa untuk menjual perkebunannya dengan harga tak pantas.
Coach (Colin Farrell) beserta begundal-begundalnya, pimpinan geng kriminal Lord George (Tom Wu), dan petinggi media yang culas, Big Dave (Eddie Marsan), ikut mengeruhkan suasana. Sejumlah pembunuh bayaran Rusia serta Lord Pressfield (Samuel West) dan anaknya, Laura Pressfield (Eliot Sumner), yang sakau tak ketinggalan mengharu biru.
Film The Gentlemen yang bertaburkan bintang-bintang ternama mengembuskan angin segar di antara maraknya film-film pahlawan super, drama, atau fiksi sains. Cukup lama film bertema mafia tak diangkat ke layar lebar. Ini berbeda dari tahun 1990-an yang ramai dengan film-film seperti Goodfellas, Bugsy, Hit the Dutchman, atau Carlito’s Way.
Sutradara The Gentlemen, Guy Ritchie, mengambil sudut pandang yang tak jamak dibandingkan dengan film-film setipe bermotifkan perjudian, minuman keras, dan kokain. The Gentlemen diolah dengan bumbu serupa, tetapi dibalut persaingan menguasai komoditas yang kini menjadi tren buah bibir kontroversial.
Ritchie menyisipkan mariyuana sebagai ujung pangkal persoalan dalam The Gentlemen sebagai daya tariknya. Sementara dunia juga tengah memperdebatkan manfaat dan mudarat tanaman tersebut. Beberapa negara, seperti Kanada, Uruguay, dan Afrika Selatan, sudah membebaskan warganya untuk memanfaatkan ganja.
Negara-negara lain masih toleran dengan penggunaan ganja, tetapi untuk pengobatan. Di antaranya Australia, Selandia Baru, Chile, Argentina, Norwegia, Jerman, Italia, Brasil, Thailand, Kolombia, Yunani, Jamaika, Belanda, Peru, Portugal, Polandia, dan Swiss.
Di Indonesia, ganja masih termasuk narkotika golongan I berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. ”Ganja untuk tujuan rekreasi lebih banyak merugikannya,” ucap Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulistyo Pudjo, Sabtu (22/2/2020).
Ganja hanya bisa dimanfaatkan untuk penelitian. Daun ganja jika sudah dikeringkan dinilai BNN dapat menyebabkan ketagihan, juga berbagai perkara lain. ”Ada kecelakaan lalu lintas dipicu penggunaan ganja. Kenapa pilih ganja kalau ada obat lain. Ganja bisa menyebabkan halusinasi,” ujarnya.
Bukan hitam-putih
Respons pengguna ganja terhadap ruang dan waktu pun menjadi tak terkendali. Soal legalisasi ganja, BNN masih keberatan. ”Pemakaian ganja di negara lain pun tak sebebas itu. Di Belanda, misalnya, ada semacam toko. Kalau keluar bisa ditangkap. Razia juga dilakukan,” kata Pudjo.
Berdasarkan buku Dunia Dalam Ganja: dari Aceh hingga Bob Marley yang ditulis Abdul Khaliq dan diterbitkan Pinus Book Publisher tahun 2007, ganja pertama kali ditemukan di China tahun 2737 sebelum Masehi. Masyarakat China menanam ganja bersama-sama dan digunakan untuk upacara keagamaan.
Manfaat lain, ganja dijadikan hashish, tetapi mereka menggunakannya untuk minyak lampu. Keberadaan ganja, opium, dan barang candu lain di Indonesia sudah diketahui setidaknya sejak masa pendudukan Belanda. Pemerintah kolonial bersedia menyediakan ganja dan candu
lain.
Sebagian besar pengguna produk itu adalah tabib dan pedagang. Mereka biasa mengisap ganja dengan cara tradisional atau menggunakan pipa kecil panjang. Sejak Jepang bercokol, berlanjut setelah Indonesia merdeka, penggunaan ganja dilarang.
Ganja dikenal dengan berbagai sebutan, seperti weed (rumput liar), bush (semak), dan trees (pohon). Dengan maraknya pro dan kontra terhadap ganja, probabilitas persepsi bahwa The Gentlemen menjadi media untuk mengecek ombak atau respons publik terhadap ”rumput liar”, tak pelak mengemuka.
Apakah Ritchie menyelipkan persetujuan atau penolakannya terhadap legalisasi ganja lewat The Gentlemen, ia menjawabnya dalam wawancara dengan situs berita Daily Mail. ”Saya sebenarnya enggak pasti soal itu. Masalah itu tidak bisa dilihat secara hitam-putih saja,” ujarnya.
Ketika para pemakai ganja punya pengalaman positif, tentu mereka akan mendukung legalisasinya. Akan tetapi, Ritchie juga kerap mendengar efek negatif ganja. ”Mengisap ganja bisa memicu skizofrenia. Saya dengar, banyak kasus seperti itu,” ucapnya.
Bagi beberapa pemainnya, pengambilan gambar The Gentlemen tak menimbulkan kesulitan berarti. Hanya saja, Ritchie kerap mengemukakan dialog-dialog baru. ”Setelah adegan selesai, ia baru bicara. Ritchie seperti punya pengukur terhadap dialog-dialog yang kami ucapkan,” ujar McConaughey.
Dalam wawancara yang sama dengan situs ulasan dan pemeringkat film IMDb, Grant mengutarakan kenangan senada. Ritchie bisa saja mengungkapkan kegembiraannya. ”Ia bisa bilang, keren, keren, keren. Sekejap kemudian,
Ritchie mengulang lagi adegannya,” ucap Grant sambil tertawa.