Cinta dan Patah Hati Kini
Jatuh cinta adalah fenomena universal. Begitu juga bila setelah jatuh cinta, lalu terbit patah hati. Deretan lagu cinta pun menjadi hal lumrah, begitu pula lagu patah hati.
Lagu patah hati tak selamanya harus mellow, menguras air mata. Seperti kata Yura Yunita, penyanyi asal Bandung itu, ...yang paling penting, kita harus bahagia....
Seperti halnya penyanyi asal Inggris, Adele, yang meroket lewat lagu-lagu patah hatinya, isu patah hati tak luput dari perhatian penyanyi dan musisi di Tanah Air.
Bedanya, bila generasi pendahulu mereka pada era 80-an juga era 90-an menumpahkan kesedihan dengan lirik-lirik mellow, termasuk yang dilakukan oleh Lord of Broken Heart, Didi Kempot, penyanyi dan musisi era 2000-an menyikapinya dengan lebih realistis.
Mari simak penggalan lirik lagu milik penyanyi asal Bandung, Jawa Barat, yang kini tengah naik daun, Isyana Sarasvati (26), ”Tetap dalam Jiwa”. Pada lagu itu, patah hati, kesedihan berpisah dari kekasih, tidak dilampiskan berlebihan. Tidak pula terkesan cengeng dan inferior.
”Bila memang harus berpisah/Aku akan tetap setia/Bila memang ini ujungnya/Kau kan tetap ada di dalam jiwa/Tak bisa ’tuk teruskan/Dunia kita berbeda/Bila memang ini ujungnya/Kau kan tetap ada di dalam jiwa.”
Tak cuma realistis, malahan ada semangat untuk melewati masa-masa sedihnya dengan tegar. ”Memang tak mudah/Tapi ku tegar menjalani kosongnya hati/Buanglah mimpi kita yang pernah terjadi/Tersimpan tuk jadi histori.”
Nuansa yang lebih kurang sama kembali disuguhkan oleh Isyana pada lagu ”Ragu Semesta”. Lagu ini ada di album ketiga Isyana, Lexicon, yang dirilis 29 November 2019.
Didi Kempot, penyanyi dan musisi era 2000-an menyikapinya dengan lebih realistis.
Seperti ini penggalan liriknya: ”Terus terang ku tak kuasa/Melihatmu terperangkap dalam kisah tak bermakna/Haruskahku memulai tuk melepaskan/Harapanku bersamamu biarlah menjauh/Mungkin kita kan bertemu lain waktu di alam yang baru.”
Lugas, to the point, tidak mengeksploitasi kesedihan secara berlebihan. Berpisah dari kekasih hati bukan hal yang harus selalu disesali atau ditangisi. Apalagi bila justru membuat salah satu atau keduanya sama-sama terperangkap dalam hubungan yang tidak jelas arahnya.
Tulus (32) juga mengungkapkan perpisahan dari sang kekasih pada lagu ”Pamit” dengan realistis. Nuansa kepedihan tetap terasa, tetapi dalam porsi cukup, tidak lantas cengeng.
”Sudah coba berbagai cara/Agar kita tetap bersama/Yang tersisa dari kisah ini/Hanya kau takut kuhilang/Perdebatan apa pun menuju kata pisah/Jangan paksakan genggamanmu/Izinkan aku pergi dulu/Yang berubah hanya/Tak lagi kumilikmu/Kau masih bisa melihatku/Kau harus percaya/’Ku tetap teman baikmu.”
Relasi setara
Raisa (29) bahkan menganggap perpisahan sebagai jalan yang bijaksana. Di lagunya yang berjudul ”Usai di Sini”, ada ungkapan kemarahan yang logis, tetapi sekaligus menunjukkan posisinya sebagai perempuan yang tak mau diperlakukan tidak adil dan inferior, selalu hanya menunggu.
Ada semangat yang diusung bahwa relasi asmara seharusnya adalah relasi yang setara. Perempuan juga punya daya tawar.
”Seolah aku tak pernah jadi bagian besar/Dalam hari-harimu/Lebih baik kita usai di sini/Sebelum cerita indah/Tergantikan pahitnya sakit hati/Bukannya aku mudah menyerah/Tapi bijaksana/Mengerti kapan harus berhenti/Ku ’kan menunggu tapi tak selamanya.”
Yura Yunita (28) juga menanggapi perpisahan dengan santai. Nyaris tidak ada kesan sedih atau marah. Di lagunya yang berjudul ”Takkan Apa”, Yura menyuarakan perpisahan dengan cara yang santai dan cenderung jenaka.
”Takkan apa bila kamu/Sudah tak tahan begitu/Tak perlu menunggu waktu/Untuk kau berlalu, kau berlalu/Kau berlalu, berlalu/Apakah ini tanda jadi/Takkan apa, takkan apa/Takkan apa, takkan apa/Jika kau ingin pergi/Tinggalkan aku, tinggalkan aku.”
Begitu juga di lagunya yang lain, ”Harus Bahagia”. Putus cinta, patah hati, menurut Yura, jangan sampai membuat sedih atau bingung. Tetap harus maju, menggapai mimpi baru. Pesan paling kuat di lagu ini adalah, dalam setiap relasi, pun relasi asmara, kuncinya harus bahagia.
”Baru putus, baru saja putus/Tak perlu engkau bingung (Terlalu lama)/Lebih baik kita terus maju/Gapai mimpi yang baru/Punya pacar harus lebih baik/Punya pacar harus lebih keren/Tapi keren enggak cukup/Yang paling penting/Kita harus bahagia.”
Puitik, romantik
Tak hanya tentang patah hati, cinta juga dieksekusi secara berbeda oleh generasi penyanyi dan musisi yang tumbuh di 2000-an. Di antaranya yang dilakukan penyanyi dan musisi yang tengah naik daun, Danilla (30) dan Sal Priadi (27).
Lirik-lirik yang mereka pilih sangat puitik, juga romantik. Cinta, di tangan keduanya, diungkapkan dengan jujur dengan letupan-letupan perasaan yang ada, tanpa sungkan, tanpa tedeng aling-aling.
Simak salah satu lagu milik Danilla, ”Terpaut oleh Waktu”. ”Tenggelam aku di rupamu/Ke palung rindu yang tersemu/Tak ada ruang yang tersisa dalam sendu/Tersimpan batas saat sayu mengadu/Kuingin kepadamu.”
Atau di lagu ”Senja di Ambang Pilu”. ”Bertegur sapa di kala senja/Memerah meredam nyala surya/Dengan dia yang mencuat di batas kalbu/Memeluk hatiku yang dibelai rindu.”
Juga lagu milik Sal Priadi, ”Ikat Aku di Tulang Belikatmu”. ”Ikat aku di tulang belikatmu/Biar kurebah dan teduh/Sambil dengar ceritamu, ceritaku/Tentang bagaimana kutemukan/Rasi bintang di matamu/Agar aku tahu kemana/Aku harus pulang.”
Tentu tak semua bisa menggunakan lirik-lirik puitik nan romantik seperti itu. Penyanyi dan musisi lain banyak yang lebih memilih menggunakan lirik berbahasa Inggris. Seperti Eva Celia (27) dan Ardhito Pramono (24).
Lagu-lagu Eva di album debutnya yang dirilis tahun 2016, ”And So It Begins”, semua liriknya menggunakan bahasa Inggris. Di luar album, Eva hanya punya satu lagu berbahasa Indonesia berjudul ”Kala Senja”.
Begitu juga dengan Ardhito. Penyanyi yang namanya juga tengah moncer ini, lagu-lagunya banyak didominasi lirik berbahasa Inggris. Sangat sedikit lagu Ardhito yang berbahasa Indonesia, antara lain ”Perlahan Menghilang” dan ”Di Senayan”.
Arkeolog dan dosen Sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, dalam wawancara yang dimuat Kompas, 2 November 2019, mengungkapkan, setiap generasi dan zaman memiliki cara berbeda dalam mengekspresikan cinta dan patah hati. Namun yang pasti, ekspresi cinta dan patah hati seseorang tak murni personal, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Ekspresi patah hati, menurut Aquarina Kharisma Sari, pendiri Malang Women Writers Society, juga dipengaruhi konstruksi jender. Sementara konstruksi jender dipengaruhi oleh konstruksi budaya masyarakat. Hal itu menentukan apakah seorang lelaki atau perempuan bisa mengekspresikan patah hatinya.