Bait-bait puisi Sapardi Djoko Damono berakrobat dengan medium garapan Darwis Triadi dan Vera Anggraini. Penyair, fotografer, dan perancang busana dari tiga generasi itu berkolaborasi lewat Perempuan yang Tak Bisa Dieja.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Peluncuran buku tersebut digelar di Museum Nasional, Jakarta, Kamis (20/2/2020). Vera dan Darwis didaulat menjadi pembicara. ”Kami coba merangkum keindahan Indonesia. Bukan pemandangan, melainkan sosok- sosoknya. Perempuan berkebaya itu anggun,” ujar Darwis.
Buku Perempuan yang Tak Bisa Dieja memuat foto sekitar 10 model dengan busana khas Nusantara itu. Bait-bait puisi menghiasi foto yang didominasi hitam putih. Inkonvensional. Perempuan yang Tak Bisa Dieja mengekspresikan hasrat Darwis yang menekuni foto-foto humanis dengan dua warna kontras itu.
Perempuan yang Tak Bisa Dieja menjadi judul puisi sekaligus buku yang terdiri dari sekitar 120 halaman. Para model, seperti Luna Maya, Bunga Jelita, dan Fitria Yusuf, memeragakan kebaya karya Vera. Baju atasan itu kian elok dengan gelang Aceh, motif bunga, dan brokat.
Lokasi-lokasi pemotretan, seperti Bali; Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur; dan Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta; membubuhkan nuansa eksotisme. Foto-foto itu dibuat paling lama tahun 2018 dan terbaru pada Oktober 2019. Darwis mengabadikan kecantikan dengan langgam retro.
Kami coba merangkum keindahan Indonesia. Bukan pemandangan, melainkan sosok- sosoknya. Perempuan berkebaya itu anggun.
Hanya beberapa foto buku yang tersentuh warna-warni alami. Perpaduan puisi, kebaya, dan foto karya para maestro mengetengahkan buku dengan aspek artistik yang kental. Sekilas, Perempuan yang Tak Bisa Dieja juga mengingatkan akan buku pop-up.
Buku macam itu menampilkan makhluk, bangunan, bahkan panorama dari kertas. Saat Perempuan yang Tak Bisa Dieja dibuka, beberapa halamannya menyisipkan lipatan-lipatan kertas dan dapat dibentangkan. Pesona sejumlah foto kecil pun bisa dinikmati di antara potret-potret utama yang berukuran besar.
Potongan-potongan puisi Sapardi menyajikan intensi yang tersirat. Sepenggal karya itu misalnya, ”Perempuan yang tak bisa dieja/perempuan yang di luar sabda/dijemput ia dari pakuwon di hutan/oleh Rama dan kedua putranya/untuk diboyong kembali ke istana/.”
Misteri
Pada halaman lain tercantum, ”Hanya diperlukan dua suku kata/untuk menerbangkan sebongkah batu/ke sela-sela sepasang gunung/Merapi dan Merbabu panggilannya/hanya diperlukan rasa ikhlas/untuk hati-hati meletakkannya/demi kehangatan jiwa-raganya/.” Misterius.
”Saya dan Sapardi lelaki, harus memandang perempuan. Memang jadi misteri. Sulit dipahami. Tapi, saya harus coba memahaminya meski belum tentu tepat,” ujar Darwis. Pemilik Darwis Triadi School of Photography itu menerjemahkan inti sari Perempuan yang Tak Bisa Dieja seraya tertawa.
”Hanya menebak saja. Perempuan tidak boleh dieja. Dibaca saja,” ujar Darwis yang sudah menggeluti fotografi sekitar 40 tahun itu. Ungkapan Darwis termaktub dengan judul buku yang tak lumrah. Pada sampul buku itu tertulis, ”Per empu an”. Tidak disambung.
”Saya seperti diberi berkah bisa mengeksplorasi busana- busana Vera, khususnya kebaya. Sementara, banyak orang lebih senang pakai baju buatan luar negeri,” ujarnya. Setidaknya selama satu dekade terakhir, jati diri bangsa seolah hilang lantaran busana karena kebaya dianggap kuno.
Mereka yang mengerjakan buku tergabung dalam Tim Merajut Nusantara. Saat mengamati rancangan buku itu, Darwis amat takjub. ”Saya hampir enggak napas. Sampai-sampai, saya enggak pernah lihat lagi karena pengin surprise (jadi kejutan),” katanya.
Hanya menebak saja. Perempuan tidak boleh dieja. Dibaca saja
Darwis pun tak mengonsep fotonya. Ia langsung melihat kebaya-kebaya setelah dikenakan para model kemudian mengoptimalkan kecantikannya. ”Bisa saja lagi jalan tahu-tahu menemukan spot yang bagus. Langsung difoto saja. Memotret itu darah segar buat saya,” kata Darwis.
Peluncuran Perempuan yang Tak Bisa Dieja sekaligus mengawali pameran yang berlangsung hingga 20 Maret 2020. Pameran itu dibuka pukul 08.00-16.00. Beberapa foto dari buku tersebut diperbesar dan dipajang berikut maneken dengan kebaya-kebayanya.
Potret beberapa perempuan yang memakai songket dan batik bersanding dengan potongan puisi. Di ruang pameran, terpasang pula panel-panel yang membaurkan kreativitas trio seniman. Sejumlah pengunjung terlihat berswafoto dengan kamera ponselnya.
Darwis membingkai manusia, pakaian, dan alam sebagai obyek yang menyatu. Kadang, ia menangkap vibrasi desain busana-busana Vera dengan keterbatasan ruang. Puisi Sapardi lantas menjadi bumbu yang menyempurnakan racikan Darwis dan Vera.
Integrasi mereka mencuatkan kesejukan tentang keakraban yang kini semakin langka. Perbedaan pandangan yang dapat dilalui berkebalikan dengan sengkarutnya silang pendapat belakangan ini. Musik gamelan yang mengalun perlahan di sela pameran melangutkan rasa.
Selebrasi
Kebaya. Puisi. Potret tentang keindahan Indonesia. Ketiga elemen yang menyatu dalam buku telah merepresentasikan integritas. Sapardi, Darwis, dan Vera sejatinya tengah mewujudkan selebrasi keindonesiaan dengan jalur seni yang berbeda sekaligus kebinekaannya.
Puisi menggerakkan alur buku. Sebaliknya, foto-foto seakan bermain dengan puisi. Demikian pula dengan kebaya-kebaya yang terlihat detail. Di tengah persaingan yang demikian sengit, mereka mampu melebur dengan saling menghargai.
”Pembuatan Perempuan yang Tak Bisa Dieja bermula dari buku pertama saya, Merajut Daur Hidup. Buku itu diterbitkan Agustus tahun lalu,” kata Vera.
Sapardi, Darwis, dan Vera mengerjakan proyeknya mulai Desember 2019. Sapardi melihat karya-karya Vera melalui potret. ”Kalau buku hitam putih biasa saja, jadi saya mengajak Sapardi. Beliau terinspirasi lalu langsung membuat puisi untuk buku yang kami buat,” ujar Vera.
Ide untuk mengadakan acara itu termasuk mendadak tetapi kalau memang selaras, pasti klop. Tetap terlaksana.
Perempuan yang Tak Bisa Dieja dirancang agensi merek dan komunikasi Sun Visual. Buku itu menjadi tantangan berat untuk total enam orang yang mengerjakannya.
Museum Nasional menjadi lokasi pameran karena banyak dikunjungi masyarakat. Pameran juga bisa diselenggarakan dengan masa yang lama. Kepala Museum Nasional Siswanto mengibaratkan pameran dan peluncuran buku Perempuan yang Tak Bisa Dieja sebagai harmoni dalam musik. ”Instrumen satu sama lain saling melengkapi. Ide untuk mengadakan acara itu termasuk mendadak tetapi kalau memang selaras, pasti klop. Tetap terlaksana,” ujarnya.
Pameran juga dimeriahkan rangkaian kegiatan antara lain lomba foto, lokakarya fotografi, pergelaran musik Tribute to Djaduk Ferianto, Difoto Darwis, Sajak & Senja Bersama Sapardi Djoko Damono, dan perayaan 80 tahun pujangga tersebut.