”Moodbooster” Itu Bernama Pudel dan Yorkshire
Mereka membawa keceriaan di tengah keluarga. Ikatan batin dengan pemiliknya tidak mudah dilepaskan. Tidak peduli banyak uang dan tenaga yang harus dicurahkan, warga tetap mempertahankan hewan peliharaan ini.
Memelihara hewan menjadi pilihan Sevelyn Merlyna Wardani (25) dan keluarganya untuk menghadirkan keceriaan di tengah beragam persoalan hidup. Empat anjing yang dipelihara keluarga ini memberikan nuansa tersendiri di rumah.
Pilihan untuk memiliki hewan peliharaan berawal pada tahun 2012. Saat itu, ayah Sevelyn divonis sakit jantung. Kakaknya berinisiatif mengadopsi dua anjing lokal. Namanya Kenny dan Lily. Mereka berstatus anjing penjaga di rumah.
Lima tahun berselang, sang ayah kembali terkena serangan jantung. Suasana rumah menjadi murung. Mama Sevelyn berinisiatif mengadopsi dua anjing lagi untuk tinggal di dalam rumah. Mereka adalah Happy (pudel) dan Cluit (yorkshire).
”Sejauh ini efektif banget. Kalau Kenny dan Lily kan tidak bisa masuk rumah karena mereka sangat aktif. Kami khawatir mereka merusak perabotan rumah. Tetapi, Happy dan Cluit ini anjing rumah. Mengurus mereka, misalnya, memandikannya, itu bisa memperbaiki mood,” kata perempuan yang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Senin (24/2/2020).
Baca juga: Hewan dan Warga Urban
Bagi Sevelyn, sebuah kebahagian tersendiri ketika Happy dan Cluit menyambutnya selepas pulang kerja. Dua anjing lucu ini juga sering ia pajang di media sosial. ”Ada temanku yang video call sama anjingku,” katanya.
Untuk merawat keempat anjing ini, ratusan ribu pun digelontorkan. Untuk sampo, misalnya, Sevelyn merogoh kocek Rp 500.000 setiap empat bulan sekali.
Happy dan Cluit juga mengonsumsi makanan dari pet shop dengan biaya Rp 500.000 setiap dua bulan. Selain itu, keempat anjing ini juga diberi vaksin ketika satu tahun pertama dirawat. Besaran biayanya Rp 1 juta untuk setiap anjing.
Bagian dari keluarga
Agus Salim (52) juga memiliki keterikatan dengan Monic, kucing peliharaannya. Monic, kucing lokal itu, sudah sebulan tidak pulang ke rumah.
Semua bermula ketika Agus fokus menemani istrinya, Yunita Lestari (49), yang dirawat di salah satu rumah sakit di Koja, Jakarta Utara. Yunita mengidap gagal ginjal. Seminggu lalu, Yunita meninggal.
Selama dirawat, rumah Agus di kawasan Grogol Utara, Jakarta Selatan, kerap sepi. Diduga, Monic yang berbulu oranye itu terabaikan selama Agus sibuk merawat Yunita.”Sebelum meninggal, dia selalu berpesan agar saya mencari Monic sampai ketemu,” kata pria yang bekerja di kolam pemancingan ikan ini.
Senin siang, Agus keluar dari toko kebutuhan hewan (pet shop) di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dia menjinjing sekarung pasir untuk tempat buang air besar Monic. ”Ini buat jaga-jaga ketika nanti Monic pulang sendiri atau saya bertemu dia di jalan,” ujarnya.
Gambar Monic terpampang di layar gawai miliknya. ”Pas saya libur, akan saya cari benar-benar karena ini amanat istri,” katanya.
Keluarga ini sebenarnya memiliki tiga kucing. Selain Monic, ia pernah punya dua kucing persia. Keduanya jantan. Satu kucing persia diculik orang. Satunya lagi diserahkan kepada temannya untuk diadopsi lantaran Agus tak sanggup lagi merawat kucing karena sibuk menemani mendiang istri.
”Tetapi, istri saya meminta agar Monic tetap dipertahankan. Monic ini paling manja, tetapi tidak ngerepotin. Ia buang air besar di tempat yang disediakan. Makannya tidak selalu harus dari toko. Pelet kucing kiloan atau ayam goreng yang disuwir saja dia suka,” katanya.
Pengingat
Hewan peliharaan juga punya arti khusus bagi Dwi Oktarina (28). Frans, kucing lokal berwarna putih dan hitam itu, selalu membawa ingatan Dwi akan Fauzan, mendiang temannya. Dua tahun lalu, mendiang temannya memberikan Frans kepada Dwi.
”Kira-kira dua bulan sesudah ngasih kucing, temanku (Fauzan) itu meninggal,” kata perempuan yang tinggal di Padang, Sumatera Barat, ini.
Fauzan menetahui bahwa Dwi suka kucing. Dwi pernah mempunyai kucing anggora (Felis catus). Namun, kucing bernama Moui itu pergi dan tak pulang-pulang lagi.
”Waktu itu, Moui masuk got. Aku enggak sempat membawanya ke salon. Makanya, aku mandiin sendiri. Terus sepertinya dia kurang senang gitu. Terus Moui nggak muncul-muncul lagi sampai sekarang,” katanya.
Dua tahun dirawat, Frans tumbuh menjadi kucing jantan yang nakal. Dwi menyebutnya kucing barbar. Frans sering membawa bangkai belalang dan bengkarung ke rumah. Dwi jadi repot membersihkan bangkai itu.
Namun, Frans termasuk kucing lokal yang tidak takut air. Suatu ketika, Frans tiga hari tidak pulang. Mukanya belepotan. Bulunya penuh lumpur. Dwi pun memandikan Frans. ”Untuk kategori kucing kampung, dia tidak rewel pas mandi. Lebih penurut. Ini yang bikin teman-temanku yang berkunjung pada heran karena kucing mereka pasti heboh kalau dimandiin,” katanya.
Menurut dia, Frans juga manja dan perasa. Frans sering menggelendot di kaki dan tidur di pangkuannya. Ketika perempuan yang bekerja sebagai asesor di Balai Diklat Industri Padang ini hendak pergi ke luar kota, Frans mengawalnya hingga depan rumah. Kucing itu menanti hingga kendaraan yang menjemput Dwi lepas ke jalan raya. ”Itu lucu banget, lo. Kok bisa dia seperti itu,” katanya.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 25-26 Januari lalu terhadap warga Jabodetabek menunjukkan, sekitar 40 persen dari 500 responden memelihara hewan di rumah. Jenis hewan yang paling banyak dipelihara adalah kucing (44 persen), menyusul burung (22,5 persen), ikan (12,5 persen), dan anjing (8,5 persen).
Pergeseran peran
Pengajar psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Harry Susianto, menjelaskan, pandangan individu terhadap hewan terus berkembang. Dulu, hewan dianggap sebagai binatang liar dan binatang yang membantu pekerjaan, seperti kerbau untuk membajak sawah. Ada juga hewan yang dipelihara berdasarkan fungsinya, seperti ayam untuk menghasilkan telur dan anjing untuk berburu dan menjaga rumah.
Namun, kemudian, lanjutnya, tumbuh tren baru bernama pet atau hewan peliharaan. Hewan itu tidak sekadar dianggap sebagai binatang an sich. Kepadanya dilekatkan atribusi laiknya manusia, seperti pemberian nama dan pengenaan pakaian.
Dia mengingatkan masyarakat agar berhati-hati jika ingin memelihara hewan liar, seperti ular. Memelihara ular, katanya, butuh kompetensi tertentu, berbeda halnya dengan kucing atau anjing yang memang sudah dianggap sebagai hewan peliharaan.
Di tengah rutinitas kehidupan warga saat ini, memelihara hewan menjadi salah satu cara untuk melepaskan penat. Bagaimana dengan Anda?