Selezat Hidangan Orangtua
Laksa di Bogor dan mi di Belitung menyatu dalam sajian kelezatan khas kuliner peranakan yang ditawarkan Kedai Lao Hoe.
Laksa di Bogor dan mi di Belitung menyatu dalam sajian kelezatan khas kuliner peranakan yang ditawarkan Kedai Lao Hoe. Dua menu istimewa, yang bisa dinikmati di salah satu rumah tua di sisi gang sempit kawasan Pecinan, Glodok, Jakarta. Nama Lao Hoe sendiri berarti orangtua dalam bahasa Hokkian.
Datang ke kedai ini rasanya bukan seperti pergi ke tempat makan biasa. Berkunjung ke tempat makan ini nuansanya tak jauh beda dengan pulang ke rumah ibu atau berkunjung ke kampung ibu mertua. Di sana kita disuguhi beragam kelezatan khas masakan rumahan.
Kedai bernama Lao Hoe didirikan pasangan Linda Aliadi (71) dan Lie Po Sen (78) setidaknya 10 tahun lalu. Saat ditemui di kedai itu, Rabu (26/2/2020), Ferry Aliadi (43), putra pasangan Linda dan Lie, ikut mendampingi dan berkisah tentang perjalanan kedai makan keluarganya itu.
Ada dua menu utama makanan berat khas hidangan peranakan Nusantara yang dijual di sana. Laksa Bogor dan mi Belitung. Keduanya memang menjadi primadona alias sajian utama Kedai Lao Hoe. Menurut Ferry, resep laksa Bogor berasal dari keluarga ibunya, sementara mi Belitung dari pihak ayah.
”Aslinya kedua menu itu masakan rumahan. Resepnya turun-temurun, baik dari keluarga Papa maupun Mama. Biasanya dimakan sehari-hari atau jadi menu utama acara kumpul keluarga di hari perayaan. Bukan untuk dijual seperti sekarang,” papar Ferry.
Sang ibu, tambah Ferry, memang senang dan jago memasak. Pada tahun 1980-an Linda memulai usaha berjualan makanan jadi. Diawali laksa Bogor yang mendapat sambutan pelanggan. Kemudian warungnya berkembang menjual beragam lauk-pauk rumahan lain.
Semua masakan, terutama laksa Bogor, awalnya dijual dari atas gerobak, yang ditempatkan di gang depan rumahnya. Usaha berkembang hingga menjelang 1998 saat krisis ekonomi menerpa Indonesia dan banyak negara lain di Asia Tenggara.
Linda pernah pula memilih fokus mengurus dan membesarkan anak-anaknya. Dia sempat lama berhenti berjualan makanan. Baru sekitar 10 tahun terakhir, tambah Ferry, ibunya kembali berjualan.
”Awalnya saya sarankan fokus saja, enggak perlu banyak-banyak memasak dan menjual menu makanan. Mama, kan, juga sudah semakin berumur. Tenaganya sudah tak sekuat dahulu. Awalnya mama enggak pe-de kalau cuma berjualan dua macam menu, laksa Bogor dan mi Belitung,” lanjut Ferry berkisah.
Namun, justru dua kuliner beresep otentik keluarga Linda dan suami itu yang membuat orang ramai berdatangan. Bahkan, mendiang pakar kuliner Nusantara, Bondan Winarno, pun mengakui kelezatan dua menu masakan dan racikan Linda itu.
Banyak tamu dan pelanggan kembali berdatangan. Tak sedikit warga asal luar Jakarta, bahkan para ekspatriat penyuka hidangan Nusantara, mampir ke situ. Mereka kepincut seusai mencicipi laksa Bogor dan mi Belitung di Kedai Lao Hoe.
Tak hanya masakan yang lezat, penataan teras dan ruang tamu rumah tua keluarga Linda tempatnya berjualan pun turut membantu membuat orang tertarik datang.
”Suasananya memang sengaja kami buat macam rumah-rumah Pecinan zaman dahulu. Bagian depan saya rombak. Kalau penuh, meja dan kursi di sini mampu menampung hingga 60 orang. Banyak orang bilang, duduk dan makan di sini seolah masuk ke ruang waktu lalu kembali ke zaman dahulu. Sekarang orang makin ramai datang setelah dua scene adegan film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini diambil gambarnya di sini,” ujar Ferry bangga.
Rasa yang otentik
Keotentikan rasa memang menjadi daya tarik utama. Hal itu dapat langsung tercium bahkan saat semangkuk laksa Bogor baru diletakkan di atas meja sebagai menu utama pembuka. Tak hanya itu, penampilan semangkuk laksa Bogor racikan Linda pun membangkitkan selera.
Kepulan uap kuah santan laksa berwarna kuning keemasan, berkilap dipantul biasan cahaya matahari siang. Wangi gurih kuah santan tadi seolah langsung berpindah dan bisa dirasakan oleh ribuan kuncup perasa (taste buds) di permukaan lidah.
Kekayaan cita rasa gurih santan dan wangi bumbu rempah khas laksa ditambah sedikit rasa manis, yang tercicip samar. Semua itu berpadu dengan rasa asam dari air perasan jeruk nipis dan pedasnya sambal, yang bisa ditambahkan sendiri sesuai selera.
Belum cukup sampai di sana, kekayaan cita rasa dan kelezatan itu pun masih bisa dibuat menjadi lebih paripurna. Caranya dengan menambahkan daun kemangi, yang juga memiliki aroma kuat. Namun tak hanya sekadar diperlakukan sebagai pugasan, daun kemangi harus ikut disuapkan bersama sendok demi sendok laksa Bogor.
Aroma kuat dan khas daun kemangi akan semakin memperkaya cita rasa dan kelezatan hidangan laksa. Sensasi cita rasa dan aroma lezat, yang seolah ”mondar mandir” memenuhi palet lidah.
Semua sensasi itu tentu saja membuat orang tak berhenti menyuap isian laksa Bogor, yang terdiri dari seporsi bihun, suwiran daging ayam bumbu kuning, dan juga tak lupa irisan separuh telur rebus.
”Jika masih belum kenyang, laksa di sini juga bisa ditambahi irisan ketupat sesuai permintaan. Hidangan laksa Bogor cocok dinikmati kapan pun, sebagai menu sarapan, makan siang, makan malam, atau sekadar jadi semacam camilan. Terserah keinginan pemesan,” ujar Ferry.
Beranjak ke menu utama kedua, mi Belitung, Linda memasak, meracik, dan menyajikannya dengan tak kalah menggugah selera. Namun, mi Belitung yang ditawarkan di kedai ini diakui sedikit berbeda dengan versi yang dijual di tanah asalnya sana.
Racikan ala Kedai Lao Hoe, menurut Linda, sudah disesuaikan dengan lidah orang Jakarta. Ada beberapa perbedaan rasa di antara dua versi tersebut. Pertama, hidangan mi Belitung yang dijual di daerah asalnya menggunakan mi kecil.
Sementara versi Kedai Lao Hoe, mi yang digunakan adalah jenis mi hokkian yang bentuknya lebih tebal dan berwarna kuning. Kekhasan lain racikan Linda di menu ini adalah cita rasanya yang manis lantaran dia memang menambahkan sedikit gula aren dalam kuah. Versi yang dijual masyarakat Belitung, menurut dia, sedikit lebih asin ketimbang manis.
Modifikasi lain, yang menurut Linda memang disesuaikan, terutama dengan selera orang Jakarta, adalah keberadaan tambahan bakwan isi udang. Walau dinamai bakwan, secara tekstur dan kerenyahannya justru lebih mendekati ke rempeyek.
Rempeyek isi udang itu diolah dengan dua kali digoreng. Gorengan pertama dibuat dengan terlebih dahulu mencetak adonan cair rempeyek sehingga bentuk lingkarannya nyaris sempurna. Setelah ditambahi beberapa potong udang, hasil gorengan pertama tadi kembali digoreng sampai kering dan renyah.
Bahan utama rempeyek hanya tepung beras, ditambahi air, serta ulekan bumbu bawang merah dan putih dan garam. Dimakan secara terpisah pun, rempeyek udang khas Kedai Lao Hoe bisa cukup membuat ketagihan.
Saat menyajikan semangkuk mi Belitung, rempeyek udang tersebut diremukkan lalu ditaburkan di atasnya. Ditambahkan pula beberapa potong emping. Kuah gurih manis dari mi Belitung racikan Linda terasa kaya aroma bumbu. Sebagai pengikat rasa, kuah tadi juga ditambahi dengan tepung sagu.
”Selain mi hokkian, mi Belitung ini juga berisi irisan tahu cina, tauge, dan kentang rebus. Sebelum disajikan, racikan tadi juga masih bisa ditambahi irisan timun dan perasan jeruk kunci khas Bangka Belitung. Jika berselera, bisa ditambahkan sambal,” tambah Linda.
Jika ruang dalam perut masih tersisa, kedai ini juga menyediakan beberapa menu lain, seperti nasi uduk Betawi porsi kecil, yang dibungkus daun pisang. Ada juga ayam goreng khas Lao Hoe, tahu dan tempe goreng, sate usus dan jeroan ayam.
Untuk camilan ada beragam gorengan manis. Primadonanya, cempedak goreng tepung, dan juga minuman herbal teh liang, yang diracik sendiri.