Mereka Tak Perlu Mengenal Istilah “Bintang Lima” agar Tetap Laris
Tanpa mendapatkan penilaian bintang lima atau penilaian tertinggi di aplikasi layanan pesan antar, masih banyak pelaku usaha kuliner yang tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat.
Rutinitas kantor yang menyita waktu dan hasrat ”mager” atau malas gerak saat hari libur membuat layanan pesan antar makanan kini kian digandrungi masyarakat. Bagi sebagian besar penjual, hal ini jelas menjadi peluang. Akan tetapi, bukan berarti para pelaku usaha kuliner yang tak tergoda layanan tersebut tak mampu eksis.
Rabu (4/3/2020) pukul 10.00, di bawah terpal gerobak miliknya, Didi Suwardi (46) sudah mulai menumbuk-numbuk bumbu gado-gado di atas cobek. Ia baru mendapatkan kurang dari 10 pesanan pagi itu. Namun, bumbu yang ia tumbuk sudah terlihat menggunung.
Ia sadar, dua jam lagi jam istirahat tiba. Artinya, pesanan gado-gado untuk makan siang para karyawan di area perkantoran sekitarnya akan mulai berdatangan. Jika tak disiapkan sejak awal, ia khawatir akan keteteran.
Baca juga: Harum Dimsum Tercium dari Stasiun
Setiap hari, Didi dan gerobaknya selalu nongkrong di Jalan S Parman, Jakarta, tepatnya sekitar 30 meter dari lampu lalu lintas Slipi Petamburan. Sekilas, gerobaknya luput dari pandangan orang-orang yang melintas karena lokasinya yang sedikit menjorok. Namun, jangan remehkan larisnya gado-gado khas Kuningan racikannya.
Buka mulai pukul 09.00, gado-gado Didi biasanya habis pukul 14.00-15.00. Seperti terlihat pada Selasa (3/3/2020) pukul 15.00, gerobak Didi sudah lenyap dari lokasi. Dalam waktu kurang dari enam jam tersebut, Didi biasanya menghabiskan sekitar 120 porsi.
Baca juga: Sehat dan Tetap Lezat
Apakah itu karena ramainya permintaan dari layanan pesan antar? Bukan. Meski kerap ditawari, hingga kini Didi sama sekali belum bermitra dengan penyedia jasa layanan pesan antar mana pun. Tidak ada antrean kurir-kurir berjaket hijau di sekitar gerobaknya.
”Ada tawaran dari pengendara ojek daring dan teman-teman. Tetapi, saya belum berminat. Ada beberapa teman yang menjadi ramai setelah bergabung, tapi ada juga yang biasa saja,” katanya.
Buka mulai pukul 09.00, gado-gado Didi biasanya habis pukul 14.00-15.00. Seperti terlihat pada Selasa (3/3/2020) pukul 15.00, gerobak Didi sudah lenyap dari lokasi. Dalam waktu kurang dari enam jam tersebut, Didi biasanya menghabiskan sekitar 120 porsi.
Didi cukup menarik para penggemar melalui cita rasa dan lembutnya bumbu gado-gadonya. Hal itu memang menjadi ciri khas racikan Didi dibandingkan gado-gado gerobakan yang lain. Ia juga mengaku belum pernah menjumpai harga gado-gado gerobakan semahal gado-gado miliknya.
Didi meracik bumbunya menggunakan kacang mete untuk memperhalus tekstur dan menambah cita rasa bumbunya. Resep kacang mete tersebut ia dapat dari seorang juru masak profesional yang tanpa sengaja mampir ke gerobak gado-gado miliknya 11 tahun silam.
Saran tersebut tak serta-merta langsung ia terapkan. Sebab, butuh keberanian untuk menambahkan kacang mete tersebut lantaran modal yang dikeluarkan juga harus lebih besar. Itulah alasannya Didi membanderol sebungkus gado-gado miliknya seharga Rp 21.000, lengkap dengan nasi.
Baca juga: Sagu Beragam Rupa dan Rasa
Selain tambahan kacang mete, Didi juga mendapat tips cara memasak sayuran yang benar. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, mulai dari takaran air hingga kebersihan sayur. Tak mengherankan jika gado-gado miliknya tetap segar meski dimakan pada pukul 22.00.
Bisa dibilang, gado-gado ala Didi sudah memiliki penggemar yang fanatik. Terlebih, ia juga mencantumkan nomor teleponnya lewat stempel yang diimbuhkan pada kertas pembungkus gado-gadonya. Hal ini memudahkan orang untuk memesan. ”Bumbu gado-gado saya pernah dibeli pelanggan untuk dibawa ke China, Singapura, bahkan Australia,” ungkapnya.
Pada saat layanan pesan antar makin digemari masyarakat, Didi mengaku tak terusik. Penghasilannya relatif tak mengalami perubahan. Jumlah porsi gado-gado yang ia habiskan dalam sehari selama 11 tahun terakhir juga masih sama, yakni 120 porsi atau menghabiskan sekitar 10 kilogram bumbu kacang.
Bumbu gado-gado saya pernah dibeli pelanggan untuk dibawa ke China, Singapura, bahkan Australia.
Dengan porsi seperti itu, Didi mengaku kewalahan. Ia bahkan berani menjamin, tidak semua penjual mampu meracik 10 kilogram bumbu kacang setiap hari. Hal itu yang menjadi salah satu kekhawatirannya jika bermitra dengan penyedia layanan pesan antar sebab tenaga yang dibutuhkan jauh lebih besar.
Tak ingin kewalahan
Neti (62), penjual nasi rawon di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat, juga masih enggan bermitra dengan penyedia layanan pesan antar meski kerap mendapatkan saran dari pembeli. Selain tidak familiar menggunakan gawai, ia juga khawatir kewalahan melayani permintaan.
”Soalnya saya sendiri (yang melayani pembeli. Suami hanya bantu saat buka dan tutup warung. (Saya) takut kacapekan (kalau ikut layanan pesan antar),” katanya.
Neti justru khawatir jika warung sederhana miliknya dipadati para pembeli dalam satu waktu. Ia lebih suka jika pembeli selalu bergantian datang meski tidak banyak. Selain memiliki banyak waktu untuk beristirahat, pembeli juga tak harus mengantre lama untuk dilayani.
”Pernah suatu hari ramai banget. Jadi merasa gak enak sama pembeli karena harus antre lama. Untung mereka sabar, enggak ada yang marah,” katanya.
Nasi rawon dan nasi pecel buatan Neti banyak digandrungi karyawan-karyawan perkantoran yang ada di kawasan Palmerah Barat, khususnya mereka yang berasal dari Jawa Timur atau Jawa Tengah.
Ia lebih suka jika pembeli selalu bergantian datang meski tidak banyak. Selain memiliki banyak waktu untuk beristirahat, pembeli juga tak harus mengantre lama untuk dilayani.
Tidak sedikit pelanggannya yang mengaku kepincut dengan nasi rawon dan bumbu pecel buatannya karena mengingatkan dengan masakan orangtua di kampung. ”Kangen masakan mbokne (ibunya) katanya. Kalau anak muda senengnya nasi rawon, kalau bapak-bapak senengnya nasi pecel,” kata perempuan asal Ponorogo, Jawa Timur, tersebut.
Selain pelanggan, tak sedikit pembeli di warung Neti yang sebetulnya hanya sekadar melintas. Mereka tertarik mampir karena mengaku sulit menemukan nasi rawon ”beneran” di Jakarta. Apalagi, aroma rawon Neti amat menggoda.
Baca juga: Rasa Fusi Adiboga
Ada pula pembeli yang sering kecewa saat memakai layanan pesan antar untuk menu rawon itu. Nasi rawon yang diantar itu kuahnya berwarna kuning, bukan hitam seperti yang telah menjadi ciri khas rawon Jawa Timur-an selama ini. Rawon dengan kuah berwarna kuning tersebut menggunakan bumbu kunyit, bukan bumbu kluwek yang biasa digunakan. Selain itu, banyak rawon yang berisi jeroan.
”Ada yang datang ke sini langsung bertanya, kuahnya hitam atau kuning karena saking rindunya dengan nasi rawon Jawa Timur yang isinya daging,” ungkapnya.
Setiap hari, Neti membuka warungnya pada pukul 07.00 dan berkemas pada pukul 15.00. Jika pembeli ramai, ia dapat mengantongi hasil Rp 1 juta per hari. Namun, jika pembeli sepi, setidaknya ia masih mendapatkan penghasilan Rp 600.000-Rp 700.000. Menurut dia, hasilnya itu sudah lebih dari cukup.
Ada yang datang ke sini langsung bertanya, kuahnya hitam atau kuning karena saking rindunya dengan nasi rawon Jawa Timur yang isinya daging.
Dikeluhkan
Rumah Makan Bubur Ayam Cikini (Burcik) H Suleman di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (2/3/2020) siang, itu juga ramai oleh pembeli dari kalangan karyawan perkantoran. Para karyawan mengaku kerap mendapatkan keluhan dari pembeli karena mereka tak lagi bermitra dengan layanan pesan antar.
Joni Abdulllah, karyawan Rumah Makan Burcik, mengungkapkan, sekitar dua tahun yang lalu, Burcik memang sempat bermitra dengan layanan pesan antar selama lebih kurang satu tahun. Akan tetapi, karena laporan keuangan harian selalu menunjukkan selisih, kemitraan tersebut akhirnya dihentikan.
”Dari segi pengunjung, tetap saja ramai. Hanya saja ada keluhan dari mereka karena tidak lagi bermitra. Apalagi, pembeli sekarang kesulitan mencari tempat parkir,” katanya.
Meski demikian, Rumah Makan Burcik yang legendaris tersebut tetap menjadi magnet bagi para pembeli. Mereka rela datang jauh-jauh ke rumah makan ini demi menikmati bubur ayam dengan bumbu racikan khas H Suleman. Dua gerobak berusia puluhan tahun peninggalan H Suleman juga menjadi daya tarik tersendiri.
Tanpa mendapatkan penilaian bintang lima atau penilaian tertinggi di aplikasi layanan pesan antar, masih banyak pelaku usaha kuliner yang tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat. Kemudahan transaksi di era digital memang memberikan peluang, tetapi kepuasan mereka nyatanya tak melulu soal uang.