Kasus kekerasan seksual tidak mungkin sama sekali hilang, tetapi setidaknya ada jaminan dukungan dan respons ruang aman bagi penyintas.
Oleh
MAWAR KUSUMA
·4 menit baca
Kekerasan seksual bisa menghampiri siapa saja. Ketika tiba-tiba terjadi, umumnya korban ”shock” dan merasa tidak percaya atas kejadian yang baru saja dialami. Keheningan yang menyergap dalam beberapa detik bisa terasa begitu lama, lalu melahirkan refleks tak semestinya.
Rasa shock pula yang menjalar hingga bangku penonton pada saat kekerasan seksual terpampang dalam pemanggungan drama musikal Belakang Panggung di Institut Français d’Indonésie, Jakarta, 6-8 Maret. Kebingungan ini divisualisasikan dalam bahasa tubuh, suara yang pecah, hingga audio penghakiman yang akan membuat korban merasa sendirian.
Kasus kekerasan seksual memang sudah bisa diprediksi bakal terjadi, namun bagaimana setiap individu menyikapinya menjadi suatu perenungan yang membuat pemanggungan ini menarik. Drama musikal Belakang Panggung menjadi bagian dari kampanye #MulaiBicara yang didengungkan oleh Lentera Sintas Indonesia.
Sering kali, pelaku kejahatan seksual justru adalah mereka yang tampak seperti malaikat dan memperlakukan calon korbannya bak ratu sejagat.
Dari judulnya, penonton sudah bisa menebak bahwa latar drama musikal yang disutradarai Andrew Trigg ini berada di belakang panggung sebuah pementasan. Karena bicara tentang pementasan, tokoh yang terlibat tak jauh-jauh dari para aktor, aktris, sutradara, maupun kru pemanggungan.
Kisah dimulai dari latihan drama musikal tentang Rama dan Shinta. Sebagai suami-istri yang terjerat cinta, romantisisme Rama dan Shinta menjadi konsumsi utama di panggung. Suasana panggung makin terasa indah dengan kehadiran mini orkestra yang memainkan beragam peralatan musik, dari piano hingga biola.
Aktris dan musisi jazz Mian Tiara berperan sebagai Rani yang kemudian memanggungkan tokoh Shinta. Harpist Rama Widi melakoni peran sebagai Adit yang adalah Rama. Lagu-lagu merdu penuh kasih dilantunkan oleh keduanya sejak awal pemanggungan. Ikatan mereka semakin kuat karena kebaikan Adit meminjamkan apartemennya bagi Rani agar tak lagi terlambat latihan drama.
Kebaikan Adit yang selalu membela Rani di hadapan sang sutradara Teguh (diperankan oleh Kiki Narendra), sebenarnya sudah mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang tak biasa. Sama seperti di dunia nyata, sering kali, pelaku kejahatan seksual justru adalah mereka yang tampak seperti malaikat dan memperlakukan calon korbannya bak ratu sejagat.
Budaya kesunyian
Kebaikan yang membutakan mata itu sempat membuat Rani mengagumi Adit. Apalagi, pria yang juga anak sutradara Teguh itu adalah aktor tenar. Kekaguman pula yang membuat Rani tak percaya ketika Adit mulai berjalan melewati batas hubungan pertemanan yang wajar.
Kisah kekerasan seksual yang menghampiri Rani sebenarnya bisa dicegah jika orang-orang di sekitarnya berani berbicara. Teman-teman di lingkaran dalam Adit sudah mencium gelagat tak baik. Mereka juga tahu sejarah kelam masa lalu Adit. Namun, mereka memilih diam. Diam ketika menyaksikan pelecehan seksual sama saja dengan mendukung terjadinya pelecehan itu.
Orang-orang di lingkaran dekat Adit tersebut antara lain diperankan oleh Marissa Anita sebagai Metta. Ada pula pemenang aktor terbaik FFI 2019 Muhammad Khan sebagai Andri yang juga melakoni peran Rahwana. Meski tahu, mereka berusaha mengubur kasus pelecehan itu dalam-dalam.
93 persen dari korban kekerasan fisik atau seksual memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Budaya kesunyian di sekitar kasus kekerasan seksual inilah yang ingin dibahas lewat pertunjukan Belakang Panggung. Kesunyian justru bisa menyuburkan praktik pelecehan seksual di masyarakat. Sejumlah kasus pelecehan hingga kekerasan seksual terus terjadi mulai dari begal payudara, begal bokong, hingga masturbasi di depan umum.
Menurut penelitian Yayasan Lentera Sintas Indonesia di tahun 2016, 93 persen dari korban kekerasan fisik atau seksual memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami. Bahkan, 72 persen dari korban tidak berani untuk bercerita kepada siapa pun karena takut akan prasangka buruk dan rasa malu di mata masyarakat.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2013 menunjukkan, satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual selama masa hidupnya. Komnas Perempuan mencatat, setiap dua jam setidaknya ada tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual.
Mulai bicara
Drama musikal ini juga ingin mengajak masyarakat ikut menyuarakan kampanye #MulaiBicara agar para penyintas dari kekerasan fisik atau seksual bisa merasa aman dan tidak menutup diri. Produser Musikal Belakang Panggung, Airin Efferin, berharap pertunjukan drama musikal ini bisa membawa pesan agar masyarakat lebih terbuka dan tidak mengucilkan korban kekerasan seksual.
Kekerasan seksual bisa merusak kondisi psikologis korban dalam jangka panjang sehingga harus diciptakan lingkungan aman untuk bercerita. Juru Kampanye dan Humas Yayasan Lentera Sintas Indonesia, Sophia Hage, menyebut Lentera Sintas Indonesia ingin menyediakan ruang nyaman bagi penyintas kekerasan seksual untuk bercerita dan mendapat titik terang.
”Perasaan tidak sendiri didapatkan lewat ruang aman atau lingkaran yang diciptakan buat mereka,” kata Sophia.
Lingkaran aman tersebut kini diupayakan tidak hanya berada pada pertemuan tertutup antarpenyintas, tapi bisa menjangkau lebih luas di masyarakat. Dari situlah, kampanye #MulaiBicara lahir. Berdasarkan survei Lentera Sintas Indonesia, pelecehan seksual pertama terjadi di bawah usia 16 tahun. Oleh karena itu, mereka juga telah berkampanye di sekitar 200 sekolah.
Tak sekadar menjadi percikan berita, pelaku dihukum, lalu hilang, perlu ada perubahan sistematik atau struktural. Kasus kekerasan seksual tidak mungkin sama sekali hilang, tetapi setidaknya ada jaminan dukungan dan respons ruang aman bagi penyintas.
Musikal Belakang Panggung menjadi salah satu cara untuk menunjukkan secara visual respons komunitas yang seharusnya terjadi.