Menyehatkan Tanpa Membahayakan
Masyarakat semakin gandrung berolahraga. Olahraga kian jadi tren. Di sisi lain, kerisauan atas risiko kesehatan yang dikaitkan dengan olahraga kini mulai mengemuka.
Masyarakat semakin gandrung berolahraga. Olahraga kian jadi tren. Di sisi lain, kerisauan atas risiko kesehatan yang dikaitkan dengan olahraga kini mulai mengemuka. Kecemasan itu dapat dihindari dengan memperhatikan kondisi tubuh disertai porsi olahraga yang sesuai.
Oka Tripambudi, pelatih Niscala Jakarta, menyemangati dua perempuan peserta crossfit. Di sudut halaman rumah yang asri di pinggir kolam renang, mereka mengangkat beban, mendayung, berdiri, tengkurap, dan melompat ditemani lagu-lagu bertempo cepat.
Para peserta tak melulu bercucuran peluh. Diselingi jeda dan minum, mereka berlatih selama hampir satu jam. Pada 30-40 menit awal, para peserta belajar dan melakukan pemanasan. Aktivitas intens kemudian diaplikasikan sekitar 15 menit terakhir.
”Awalnya pun ada intensitas, tetapi rendah. Jadi, bertahap,” ujar Oka di Pejaten Barat, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (27/2/2020). Seraya melepas lelah, ia lalu menjelaskan soal crossfit yang berasal dari Amerika Serikat. Crossfit adalah jenama program latihan yang menggunakan gerakan sehari-hari.
Didirikan sekitar 20 tahun lalu, crossfit dan gerakannya diorientasikan untuk kehidupan pada umumnya. Crossfit masuk ke Indonesia tahun 2011. ”Intensitas crossfit memang cenderung tinggi, tetapi manfaatnya bisa diaplikasikan bagi personel militer, atlet, karyawan, bahkan ibu rumah tangga,” ujar Oka.
Kemampuan masyarakat bergerak secara alami terus berkurang, terutama pekerja kantor. Mereka lebih banyak duduk. Crossfit bertujuan mengembalikan fungsi tubuh sesuai aktivitas sehari-hari. ”Peserta crossfit, misalnya, diajarkan mengangkat beban. Ibu rumah tangga dapat mengambil manfaat saat mengangkat bayi. Bisa mengangkat dengan benar,” ujarnya.
Terdapat 10 kemampuan untuk mencapai kebugaran dari crossfit, seperti daya tahan, kardio, kekuatan, kecepatan, ketangkasan, fleksibilitas, dan koordinasi. Hidup tak selalu rutin sehingga peserta crossfit diharapkan siap menghadapi kondisi berbeda-beda.
Serangan jantung
Setelah seorang pesohor muda meninggal di Jakarta, beberapa waktu lalu, lantaran serangan jantung, pertanyaan-pertanyaan tak pelak bermunculan. Pesohor tersebut memang menekuni crossfit. ”Almarhum anggota Niscala, tetapi sudah ikut crossfit sebelum bergabung di sini. Malah, lebih dulu dari saya. Tahun 2012 saja, setahu saya, ia sudah ikut crossfit,” ujar Oka.
Semua peserta crossfit diharuskan belajar dari dasar dengan menjalani kelas fundamental. Materi dasar disampaikan dengan gerakan yang dilatih dengan kardio, gimnastik, dan angkat beban. ”Crossfit enggak berbahaya karena semua bisa disesuaikan. Beban, jarak, dan kecepatan diperhitungkan sesuai kemampuan tiap-tiap peserta,” ucapnya.
Kategori kelas crossfit terdiri dari anak, praremaja, remaja, umum, dan orang lansia. Bahkan, crossfit bisa diikuti anak balita. ”Ayah saya belajar crossfit mulai umur 68 tahun. Sekarang, usianya 75 tahun. Sehat. Naik sepeda, jongkok, push-up, sampai sit-up. Enggak gampang sakit juga,” ucapnya.
Jika peserta crossfit mengikuti semua langkah dengan benar, penyakit kritis akan menjauh. Oka membagi tiga kondisi tubuh, yakni sakit, normal, dan fitness (bugar). Tujuan crossfit adalah bugar. Peserta berusaha bergerak menjauh dari sakit.
Sebelumnya, pesohor lainnya, Adjie Massaid, juga wafat karena serangan jantung di Jakarta tahun 2011. Ia mengeluh sesak napas setelah bermain sepak bola. Sebagian masyarakat yang khawatir tak urung mengaitkan olahraga, terutama aktivitas yang menguras banyak tenaga atau tak banyak dikenal orang awam, dengan persoalan jantung.
Tidak salah
”Tak ada yang salah dengan olahraga. Mungkin olahraganya berat, tetapi penyakit jantung itu multifaktorial,” ujar Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Esti Nurjadin. Faktor-faktor yang memengaruhi kondisi jantung itu di antaranya keturunan, merokok, darah tinggi, diet yang salah, dan kolesterol.
”Kita tidak bisa menyalahkan olahraga tertentu tak baik untuk jantung. Ada juga pergeseran usia masyarakat berpenyakit jantung,” katanya.
Sebelumnya, mereka yang rawan terkena penyakit jantung berusia lebih dari 60 tahun. Kini, rentang usia lebih muda sekitar 40 tahun. Anak muda semakin kurang beristirahat, tak memperhatikan pola makan, dan stres karena pekerjaan.
Di Gelanggang Olahraga Soemantri Brodjonegoro, Jakarta, Selasa (3/3), sekitar 50 orang melakukan high-intensity interval training (HIIT). Mereka didampingi pelatih utama sekaligus pendiri HIIT ZSA, Ahmad Adrian. Latihan hari itu fokus pada tiga manfaat, yakni kardio, badan bagian atas, dan badan bagian bawah.
Olahraga itu digemari para pekerja karena waktu yang fleksibel. Namun, peserta perlu memperhatikan kondisi tubuh saat melakukannya. Adrian yang mengantongi sertifikasi untuk mengatur nutrisi ini tak menyarankan HIIT dilakukan saat seseorang tak merasa bugar. Sebab, pola olahraga ini memang sengaja dikerjakan untuk memacu kerja jantung hingga batas maksimal.
”Modelnya memang begitu. Push, istirahat, push, istirahat. Peserta diingatkan jika detak jantungnya terdengar sampai telinga, sebaiknya segera berhenti,” ujar Adrian. Efek dari olahraga ini lebih pada perbaikan metabolisme tubuh dan pembakaran lemak. Oleh karena itu, jenis olahraga ini kerap diincar mereka yang ingin menurunkan berat badan.
Menurut Ketua Klub Jantung Sehat Kompleks Perindustrian, Jakarta, Prima Siwiningsih, denyut nadi maksimal adalah 220 dikurangi umur individu. ”Itu pun untuk atlet. Kalau olahraga santai atau kebugaran, ambil 70-85 persen saja dari itu,” ucapnya.
Pensiunan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang juga dokter umum itu menambahkan, masyarakat juga bisa berpatokan pada standar YJI yang lebih mudah dan aman atau 200 dikurangi umur individu.
Wakil Ketua I Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia Erwinanto menjelaskan, olahraga sejatinya bermanfaat sepanjang sesuai dengan takaran setiap individu. Mengenai fenomena serangan jantung yang kini juga mengincar anak muda, Erwinanto menyampaikan faktor risiko pada anak muda saat ini untuk terkena hipertensi cenderung tinggi. Hal ini dipengaruhi pola makan dan gaya hidup, seperti merokok sampai aktivitas hingga larut malam.
Spesialis Kedokteran Olahraga Slim+Health Sports Therapy Michael Triangto menjelaskan, anggapan bahwa semakin banyak orang berolahraga kian sehat sebenarnya keliru. Manfaat semakin naik dengan olahraga yang kian intens, demikian pula risikonya.
”Harus proporsional. Ada momen yang perlu diketahui individu untuk mendapatkan manfaat yang optimal,” ujar Michael.
Michael mengibaratkan sepatu lebih cepat rusak jika terlalu sering dipakai. Demikian pula tubuh yang diforsir untuk berolahraga. ”Tak bisa dimungkiri, asumsi semakin sering olahraga berarti kian sehat sudah dipercaya sejumlah orang. Sebenarnya keliru,” ucapnya.
Tujuan berolahraga hendaknya ditentukan lebih dahulu. Mereka dapat memilih kesehatan, prestasi, ataupun rekreasi. Kesehatan menjadi opsi jika individu hendak menurunkan, misalnya tekanan darah. Prestasi dipilih untuk memenangi kompetisi dan meraih piala. Rekreasi adalah tujuan di antara dua alternatif sebelumnya.
”Lalu, ketahui kemampuan dan kesehatan kita sesuai latihan. Kalau ada gangguan, konsultasikan dengan dokter,” ucapnya.
Michael menambahkan, berdasarkan pengalamannya, banyak atlet dirundung cedera. Masalah itu tentu amat berdampak pada tubuh mereka. ”Contoh serupa, atlet lari terus melaju ke garis finis. Ia tak sadar. Baru terkejut waktu orang-orang memeluknya. Ia juara, tetapi sangat dehidrasi,” ujarnya.
Jadi, kenali kondisi tubuh dan kebutuhan diri, lalu berolahragalah!