Keelokan jejak alami daun dan bunga di atas kertas, kain, dan kulit menambat hati banyak orang. ”Ecoprint” tidak sekadar menempel dan memindahkan tanin daun ke atas media tertentu
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK
·4 menit baca
Keelokan jejak alami daun dan bunga di atas kertas, kain, dan kulit menambat hati banyak orang. ”Ecoprint” tidak sekadar menempel dan memindahkan tanin daun ke atas media tertentu, tetapi juga ikhtiar untuk mencurahkan kreativitas sembari peduli terhadap lingkungan.
Inilah yang dilakukan sejumlah ecoprinter atau pegiat ecoprint, seperti Evarini Wislastuti, pemilik jenama Tjelup; Sari Wahyuni dari lini Sweet Shabrina; dan Utami Dewi Suntoro dengan Dewi House Craft. Mereka mengorelasikan apa yang telah diberikan oleh alam dengan tren mode yang ramah lingkungan.
Selepas tengah hari, Sari Wahyuni tengah sibuk membuka gulungan yang telah dikukus selama sekitar dua jam. Uap meruap dari sekitarnya. ”Deg-degan, nih,” ujarnya sembari tertawa.
Kendati telah berpengalaman membuat ecoprint sejak tahun 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan, gulungan semacam itu masih sering memberi kejutan ketika dibuka. Di dalam kain itu terdapat selembar kulit kambing dan dedaunan yang telah melalui proses sehingga menempel pada permukaannya.
Begitu kulit dibentangkan, bentuk daun dalam warna alaminya terpampang di atasnya dengan tepat. Menurut Sari, sering kali hasil akhir tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya, warna daun tidak keluar atau warnanya tidak seperti yang dikira.
”Itulah sebabnya, membuat ecoprint itu mau tak mau harus dengan mencoba,” tuturnya.
Awalnya Sari mempelajari ecoprint untuk media kain dan kertas. Kini dia fokus untuk membuat ecoprint di atas kulit. Berbekal keterampilan
menjahit, ecoprint di atas kulit itu dibuat menjadi berbagai bentuk tas sebagai hasil akhirnya.
Sari memilih untuk membuat warna-warna gelap sebagai kekhasan produknya. Dia menggunakan kulit kayu jelawe untuk menghasilkan warna gelap.
”Warna gelap alami kesannya lebih klasik dan elegan. Warna hitam seperti ini jadi best seller,” imbuh Sari, sambil menunjukkan salah satu tas punggung ukuran sedang.
Sementara itu, di mata Eva, mempelajari ecoprint artinya juga mengetahui sifat kain/kulit, memahami pewarna alam yang berasal dari dedaunan, beserta faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan proses ecoprint.Eva memilih menanam sendiri jenis-jenis dedaunan yang dia pakai untuk ecoprint, seperti daun lanang, pohon kayu afrika, truja, dan panama red hibiscus yang mirip daun maple.
”Ecoprint ini bagian dari slow fashion. Jadi, saya menikmati setiap prosesnya, termasuk menumbuhkan tanamannya,” lanjut Eva.
Tanam sendiri
Eva memulai ecoprint sekitar tahun 2017 melalui modul yang dibeli dari luar negeri. Bersama beberapa teman, dia membedah modul, membuat variasi, dan mengembangkannya. Dia pun membuka kelas bagi mereka yang tertarik mempelajari ecoprint.
Selain mengajarkan proses ecoprint, Eva juga membagikan bibit tanaman yang bisa dipakai untuk ecoprint kepada peserta. ”Sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa menentukan apakah daun atau bunga ini akan berhasil dipakai untuk ecoprint atau tidak. Harus dicoba, baru kita akan tahu,” katanya.
Ecoprint diawali dengan membersihkan media yang akan dipakai, seperti kain atau kulit, agar bersih dari kotoran sehingga warna dari daun masuk lebih mudah. Media itu diberi protein lewat perendaman dengan kedelai atau tawas semalaman. Setelah itu, daun dan bunga disusun berdasarkan motif yang diinginkan.
Di atas kain/kulit dibentangkan kain sebagai pewarna dasar. Warna-warna itu dikunci dengan tawas untuk warna apa adanya, kapur untuk warna lebih tua, dan tunjung untuk warna lebih gelap. Kain atau kulit digulung dengan pipa lalu dikukus. Kain memerlukan waktu pengukusan 2 jam, sementara kulit 1,5 jam.
Eva biasa memakai kain linen dan sutra paris, serta kulit domba, sapi, kambing berjenis crust. Dia menggunakan kulit kayu secang, tegeran, kulit kayu tingi, kulit buah jelawe, teh, daun mangga, daun jati, daun lanang, daun kayu afrika, truja, dan pohon daun merah untuk pewarnanya.
Ecoprint bisa diaplikasikan untuk beragam produk, seperti tas, sepatu, pouch, syal, baju, dan sampul buku. Dia menekankan bahwa produk ecoprint adalah buatan tangan atau handmade sehingga tidak pernah ada yang sama hasilnya meskipun proses yang dijalankan secara teori sama.
”Kita harus cek air tanahnya seperti apa, daun itu ditanam di mana, kapan daun itu dipetik. Daun yang sama bisa berbeda hasilnya kalau saya petik tiga bulan lagi,” ungkap Eva.
Bambu
Maraknya media kertas, kain, dan kulit untuk ecoprint membuat Utami berpikir untuk mencetaknya di media berbeda. Dia pun bereksperimen dengan mug bambu.
Selain aman dipakai karena tanpa proses kimia, Utami juga ingin membantu usaha rekannya pembuat mug bambu untuk meningkatkan nilai jual produk tersebut.
Awalnya dia ikut pelatihan membuat ecoprint di atas keramik. Namun, prosesnya memerlukan bahan kimia untuk melepas lapisan pada keramik supaya bisa dibuat ecoprint. ”Kalau bambu, bisa langsung diterapkan. Saya coba pertama kali, kok langsung berhasil,” papar Utami, saat dihubungi dari Jakarta.
Utami menjalankan usahanya di Wates, Kediri, Jawa Timur. Di sekitar tempat tinggalnya terdapat banyak bambu yang bisa dimanfaatkan bagian ujungnya untuk dijadikan mug. Dia menggunakan daun jati merah yang daya lekat warnanya tinggi sehingga mudah tercetak di atas mug bambu itu. ”Daun lain belum berhasil. Daun jati emas, yang bisa mengeluarkan warna kuning di atas kain, tidak keluar warnanya di atas bambu,” katanya.
Prosesnya sama dengan proses membuat ecoprint di atas media kain dan kulit. Mug bambu itu bisa dipakai untuk minum sehari-hari atau untuk suvenir. Ke depan, Utami juga berencana membuat ecoprint pada bambu untuk tas atau anyaman.
Ketelatenan adalah pegangan ketiga pegiat ecoprint ini untuk menghasilkan produk berkualitas. Selain itu, kepedulian pada alam jadi kata kunci dalam proses ecoprint. Dengan begitu, jejaknya terus terpatri, tak hanya pada kain dan kulit, tetapi juga di hati.