Kanvas ”Rasa” Srihadi
Banjir di Jakarta pada malam Tahun Baru 2020 turut diabadikan menjadi lukisan karya Srihadi Soedarsono (88) yang berjudul Jakarta Megapolitan-Patung Pembebasan Banjir?
Banjir di Jakarta pada malam Tahun Baru 2020 turut diabadikan menjadi lukisan karya Srihadi Soedarsono (88) yang berjudul Jakarta Megapolitan-Patung Pembebasan Banjir? Itulah kanvas ”rasa” Srihadi untuk melihat perubahan lingkungan kita yang tumbuh tidak membaik.
”Sewaktu terjadi banjir di malam Tahun Baru di Jakarta, saya memang tidak sedang berada di Jakarta. Namun, saya ikut merasakan banjir itu,” tutur Srihadi menjelang pembukaan pameran tunggal Srihadi Soedarsono–Man x Universe di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu (11/3/2020).
Lukisan itu berukuran 128 x 205 sentimeter. Aura warnanya memerah kehitaman dengan kontras warna terang putih kekuningan memanjang di bagian tengah atas.
Di bagian terang itulah Srihadi melukiskan sketsa panorama gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Srihadi secara menonjol menempatkan ikon patung Pembebasan Irian Barat yang berada di Lapangan Banteng, Jakarta.
Patung itu berupa sosok laki-laki berdiri tegap mengangkat kedua tangannya. Sosok itu dilukis Srihadi di bagian bawah tengah. ”Genangan banjir mencapai di atas mata kaki patung laki-laki itu. Ini banjir yang tidak hanya menenggelamkan Jakarta, tetapi juga menenggelamkan Pulau Jawa,” ujar Srihadi.
Tentu hal itu ungkapan metaforis. Srihadi kemudian menguraikan soal ekologi Jawa yang kian merana. Perubahan tata lahan merambat cepat tak terkendali. Sawah kian habis. Hutan tak bersisa. Bencana silih berganti. Kekeringan melanda di musim kemarau, banjir di musim hujan.
Banjir malam Tahun Baru 2020 di Jakarta itu cerminan keprihatinan Srihadi. Air bah sudah tidak lagi berwarna tanah kecokelatan, tetapi memerah kehitaman. ”Pilihan warna merah (sedikit keunguan) itu melambangkan kekotoran,” ujar Srihadi.
Srihadi selama ini dikenal sebagai maestro soal warna di dalam lukisan. Banyak warna khas dilahirkan dan dia tidak bisa menuangkan soal pilihan warna itu menjadi kata-kata. Menurut dia, itu ungkapan roso (rasa, dalam bahasa Jawa).
Berulang Srihadi menjelaskan begitu dominannya keterlibatan roso di dalam proses penciptaan setiap karya lukisannya. Roso dalam falsafah hidup orang Jawa itu menyimpan misteri tersendiri. Ia tidak muncul sebagai ungkapan perasaan seketika, tetapi ditimbang- timbang secara penuh dengan melibatkan penalaran dan perasaan.
Kini, kanvas-kanvas ”rasa” Srihadi itu dapat kita nikmati di dalam pameran kali ini. Sebanyak 44 lukisan Srihadi dipamerkan antara 11 Maret dan 9 April 2020, disertai peluncuran buku Srihadi Soedarsono–Man x Universe pada pembukaan pameran tersebut.
Buku itu ditulis Jean Couteau dan Siti Farida Srihadi. Jean Couteau menyebutkan, Srihadi bukan hanya maestro simbolis atau warna untuk Indonesia. Akan tetapi, ia sudah menjadi maestro simbolis atau warna berkelas dunia.
Kurator pameran Rikrik Kusmara menuliskan di dalam pengantar kuratorialnya, Srihadi sebagai pelukis yang sudah menemukan idiolect atau kode-kode estetik personal. Itulah, roso.
Lanskap batin
Pameran Srihadi ini dibuka oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Srihadi menegaskan di dalam sambutannya, lukisan yang ditampilkan berupa lukisan lanskap. Namun, lukisan lanskap itu bukan secara harfiah, itu menyangkut lanskap batin.
”Inti pameran karya-karya saya ini sebagai lanskap yang banyak menyangkut peradaban,” ujar Srihadi.
Srihadi menyinggung ungkapan dalam bahasa Jawa, memayu hayuning buwono. Ini memiliki pengertian memperjuangkan kemajuan dunia. Srihadi ingin turut memperjuangkan kemajuan dunia melalui karya lukisnya.
Menuju ruang pamer, lukisan Papua-The Energy of Golden River tepat berada di pintu masuknya. Ukurannya 105 kali 600 sentimeter. Di sepanjang kanvas itu, dari kiri ke kanan, Srihadi melukiskan kelokan- kelokan sungai dengan warna kuning keemasan. Tanahnya semburat hijau dan merah kehitaman.
Di atasnya terdapat horizon. Biru langit dilukis membentang di atas horizon menjadi lapisan tipis. Bulat matahari kuning menyentuh bibir cakrawala.
Lukisan senada ditampilkan dengan judul Papua-The Golden River Belong to Its People berukuran 150 x 400 sentimeter. Ada kelokan-kelokan yang menyiratkan sungai berwarna keemasan. Srihadi mengakui, kelokan sungai berwarna keemasan itu simbolisme kekayaan yang dikandung Papua.
Ia menaruh keprihatinan tersendiri terhadap kekayaan Papua. Kekayaan yang masih dipertanyakan, apakah benar- benar sudah bisa menyejahterakan masyarakatnya?
Kemiskinan
Rikrik menyinggung kepekaan Srihadi soal keprihatinan terhadap kemiskinan pada 1960. Waktu itu, Srihadi hendak menempuh studi seni rupa atas beasiswa yang diterima di Ohio State University (OSU) Amerika Serikat.
Pesawat terbang yang hendak ditumpanginya berada di Bandara Kemayoran, Jakarta. Di sepanjang perjalanan menuju bandara itu, Srihadi mengamati orang-orang miskin yang kemudian menginspirasi karya-karya dia selama studi di OSU.
Selama mengenyam pendidikan hingga 1962, Srihadi pernah memamerkan lukisan, Orang-orang Lapar (Hungry People). Nuansa warna karya-karya itu gelap dan ada sosok-sosok hitam di dalamnya.
”Karya-karya itu masih berlanjut ketika kembali ke Indonesia antara tahun 1962 dan 1967,” ujar Rikrik.
Srihadi menempuh studi di OSU antara 1960 dan 1962, dan meraih gelar master of art. Sebelumnya, ia menuntaskan pendidikan di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Universitas Indonesia (1952- 1959), yang kemudian berubah menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di ruang pamer berikutnya berderet lukisan-lukisan lanskap, tetapi sama sekali bukan lanskap realisme. Simbolismenya masih bisa terbaca. Aura warnanya memukau. Pengamat seni rupa Agus Dermawan menuliskan, lanskap-lanskap Srihadi itu berjiwa.
Dari judul-judul karya Srihadi, bisa kita ketahui tema lanskapnya. Misalnya, lanskap Kota Bandung, Candi Borobudur, Gunung Semeru, Gunung Merapi, Gunung Bromo, Gunung Kawi, Gunung Agung, Gunung Anak Krakatau, pura di Tanah Lot, dan persawahan Jatiluwih.
Lukisan Srihadi memiliki kedalaman warna yang menebar misteri tersendiri. Jean Couteau merumuskan pesona warna dan tema yang dihadirkan Srihadi itu sebagai teori ksatria Jawa.
Teori itu mengacu pada tokoh Arjuna atau Janaka sebagai ksatria yang tekun menjalani tapa brata di kesunyian. Setelah pencerahan diperoleh, Arjuna hadir untuk menyelesaikan persoalan kekinian.
Jean menunjuk lukisan Jakarta Megapolitan–Patung Pembebasan Banjir? sebagai representasi ksatria Arjuna yang menyelesaikan pertapaannya dan hadir untuk menghadapi persoalan kekinian.
Lukisan lain yang berjudul Mt Merapi–The Powerful Nature, berukuran 200 x 105 sentimeter, disorot Jean juga karena simbolisme khas Jawa yang tidak terang-benderang mengungkap sesuatu dengan pernyataan lugas.
Srihadi melukiskan Gunung Merapi tegak menjulang dengan nuansa warna kemerahan. Horison di bawah gunung menampakkan Candi Borobudur yang kecil.
”Ini simbolisme tentang sekuat-kuatnya manusia membangun Candi Borobudur yang megah, masih ada kekuatan alam yang jauh melampaui manusia,” ujar Jean.
Lukisan-lukisan Srihadi menjadi kanvas ”rasa” Srihadi yang menyiratkan pemberontakan estetis, pemberontakan yang tidak bakal pernah ia nyatakan melalui kata.