Berbagi tempat tinggal, atau istilah populernya co-living, kini sudah menjadi gaya hidup kaum milenial yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Tren ini berkembang untuk menyiasati biaya sewa tempat tinggal yang mahal
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·5 menit baca
Berbagi tempat tinggal, atau istilah populernya co-living, kini sudah menjadi gaya hidup kaum milenial yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Tren ini berkembang untuk menyiasati biaya sewa tempat tinggal yang kian mahal.
Berbagi hunian kemudian menjadi solusi memenuhi kebutuhan akomodasi di lokasi strategis, sekaligus jadi kesempatan untuk bersosialisasi. Michael Devant (33), seorang promotor dan event organizer, baru sepekan terakhir mendapat teman (room mate) untuk berbagi tempat tinggal di Apartemen Ambassade Residence di kawasan strategis Karet Kuningan, Jakarta Selatan.
Teman barunya ini merupakan dua perempuan kakak-beradik yang baru saja ia kenal. ”Rasanya aneh sih, sama sekali tidak kenal. Tetapi, tidak apa-apa, deh, namanya juga penyesuaian daripada bayar sewa apartemen mahal,” katanya saat ditemui di tempat tinggalnya, Rabu (11/3/2020).
Michael sudah tinggal di Apartemen Ambassade sejak setahun lalu. Sebelumnya, ia tinggal di unit apartemen dengan tiga kamar bersama seorang kawan. Sejak temannya pindah bulan lalu, Michael tinggal sendirian. Tinggal sendiri di apartemen yang tergolong mewah ini, ia harus membayar sewa dan biaya perawatan gedung lebih dari Rp 6 juta per bulan. Itu belum termasuk biaya listrik, air, dan kebutuhan lainnya.
Setelah ngobrol dengan pemilik apartemen yang berniat mencari penghuni tambahan di unitnya, Michael langsung sepakat. Melalui aplikasi Yukstay, pemilik apartemen menyewakan dua kamar tersisa di apartemennya. ”Ini solusi menguntungkan untuk kami. Saya tak perlu bayar sewa terlalu mahal. Pemilik apartemen juga bisa dapat uang dengan lancar,” katanya.
Dengan konsep co-living, Michael dan penghuni baru bisa berbagi fasilitas dan berbagi biaya sewa. Uang sewa yang harus ditanggung Michael turun menjadi Rp 3,25 juta per bulan. Itu sudah termasuk perawatan gedung, fasilitas keamanan, dan kebersihan. Saat ini, Michael tengah mencari penghuni untuk mengisi kamar ketiga. ”Kalau penghuni bertambah, biaya perawatan gedung jadi lebih murah,” katanya.
Fasilitas lengkap
Tren co-living menjadi favorit karena berbagai alasan. Tinggal bersama di sebuah apartemen membuat para penghuni bisa menikmati fasilitas apartemen yang lengkap, seperti kolam renang, pusat olahraga, dan fasilitas keamanan, dengan biaya relatif lebih terjangkau. Lokasi apartemen juga strategis.
Selain itu, kehadiran orang baru juga bisa membuat suasana tempat tinggal menjadi lebih hidup. Mutiara (38), pegawai swasta, sebelumnya tinggal di rumah kos di Palmerah, Jakarta Barat. Tiara merasa kurang nyaman karena kamar kosnya kecil dan lembap. Ia lalu pindah ke Apartemen Belmont Residence di Kembangan, Jakarta Barat. Dengan konsep co-living, ia membayar sewa kamar Rp 2 juta per bulan.
Harga sewa yang sama juga ia keluarkan saat masih indekos. Bedanya, di apartemen itu, Tiara mendapat fasilitas lengkap dan suasana kamar jauh berbeda. Bagi Mutiara, tinggal dengan konsep co-living sangat sesuai dengan kebutuhannya. ”Saat makan, atau menonton televisi, saya dan roomates bisa ngobrol. Beda banget dengan kalau tinggal di kos, semua serba individualis. Setiap hari waktu dihabiskan di kamar masing-masing,” kata Tiara, yang juga co-living saat masih kuliah di London, Inggris.
Business Insider menuliskan, konsep hunian bersama menjadi arus utama kaum milenial yang terus bermigrasi ke daerah perkotaan yang mahal. Konsep hidup yang terinspirasi dari kehidupan asrama mahasiswa di negara Barat ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-19. Kini, banyak perusahaan start-up berlomba-lomba mengembangkan hunian bersama untuk kaum milenial. Di Indonesia ada beberapa perusahaan yang menawarkan konsep ini, seperti Yukstay, Flokq, dan RedDoorz.
Dalam situsnya, Flokq menuliskan, ”Kamar pribadi dan ruang tamu yang indah di apartemen premium dalam komunitas yang ramah.” Sementara RedDoorz menuliskan, ”Co-living menawarkan hunian premium dan jasa di dalamnya, seperti laundry dan makanan.” Business Development Yukstay, Jupiter Juwana, menjelaskan, pihaknya menawarkan kamar dengan konsep co-living sejak Maret 2018. Hal itu berawal dari fakta bahwa sekitar 40 persen apartemen di Jakarta tidak dihuni.
Di sisi lain, banyak orang di Jakarta kesulitan mencari tempat tinggal yang nyaman dengan harga terjangkau. Pendiri Yukstay Jacky Rusli dan cofounder-nya, Christopher Kung, kemudian mendapat ide untuk mengembangkan konsep co-living yang menjembatani ketersediaan apartemen dengan para pencari akomodasi. Saat ini, Yukstay menawarkan 1.000 lebih kamar dengan konsep co-living.
Perusahaan ini juga menawarkan sewa dengan konsep whole unit atau seluruh bagian apartemen untuk keluarga baru. ”Sebanyak 600 kamar sudah terisi. Sisanya masih ada 300 lebih kamar di daerah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi,” kata Jupiter. Ia menjelaskan, harga sewa kamar bervariasi, mulai dari Rp 1,5 juta per kamar per bulan, seperti di Apartemen Gading Residence, Jakarta Utara; hingga Rp 10 juta per kamar per bulan di Apartemen Sudirman Mansion, Jakarta Pusat. Harga juga tergantung lokasi dan fasilitas yang ditawarkan.
Untuk menjalankan bisnis ini, Yukstay bekerja sama dengan pemilik apartemen atau pengembang properti. Kemudian, calon penghuni bisa memilih kamar yang ingin digunakan melalui aplikasi. Mereka juga bisa melihat kamar secara langsung sebelum memutuskan menyewa kamar. Kontrak sewa minimal tiga bulan. Menurut Jupiter, kebanyakan pengguna aplikasi ini adalah karyawan dan mahasiswa usia 20-35 tahun.
Selama dua tahun terakhir, Yukstay berusaha memperkenalkan konsep hunian bersama ini ke masyarakat. ”Masyarakat di Jakarta Selatan sudah lebih terbuka dengan gaya hidup ini. Jadi hunian di daerah Kuningan, Fatmawati, Pejaten, dan Kalibata lebih cepat diisi,” kata Meiliza Dwi Putri, Business Development Yukstay.
Menurut Meiliza, pihaknya juga menerima permintaan khusus dari penghuni kamar terkait gender calon teman tinggalnya. ”Jadi, terhadap penghuni biasanya kami bertanya apakah ia prefer menerima teman satu unit apartemen sesama perempuan, sesama laki-laki, atau bebas saja,” kata Mei.
Selanjutnya, Yukstay berniat untuk memperbanyak jumlah hunian yang mereka tawarkan. Kalau sekarang tersedia 1.000 kamar, perusahaan ini berambisi meningkatkan jumlah kamar menjadi 10.000 kamar.