”Co-Living”, Tren Akomodasi dan Sosialisasi Kaum Milenial
Berbagi tempat tinggal, atau istilah populernya ”co-living”, kini sudah menjadi gaya hidup kaum milenial yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Tren ini berkembang untuk menyiasati biaya sewa tempat tinggal yang mahal.
Berbagi tempat tinggal, atau istilah populernya ”co-living”, kini sudah menjadi gaya hidup kaum milenial yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Tren ini berkembang untuk menyiasati biaya sewa tempat tinggal yang kian mahal.
Berbagi hunian kemudian menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan akomodasi di lokasi strategis sekaligus jadi kesempatan untuk bersosialisasi.
Michael Devant (33), seorang promotor dan event organizer, baru sepekan terakhir mendapat teman (room mate) untuk berbagi tempat tinggal di Apartemen Ambassade Residence di kawasan strategis Karet Kuningan, Jakarta Selatan.
Teman barunya ini merupakan dua perempuan kakak-beradik yang baru ia kenal. ”Rasanya aneh, sih, sama sekali gak kenal. Tetapi, tidak apa-apa, deh, namanya juga penyesuaian daripada bayar sewa apartemen mahal,” katanya saat ditemui di tempat tinggalnya, Rabu (11/3/2020).
Michael sudah tinggal di apartemen Ambassade selama setahun terakhir. Sebelumnya ia tinggal di unit apartemen dengan tiga kamar itu bersama seorang kawannya. Tetapi, sejak temannya pindah tempat tinggal beberapa bulan lalu, Michael tinggal sendirian.
Tinggal sendirian di apartemen yang tergolong mewah ini berarti ia harus membayar sewa dan biaya perawatan gedung yang nilainya lebih dari Rp 6.000.000 per bulan, atau lebih dari Rp 72.000.000 per tahun. Itu juga belum termasuk bayar listrik, air, dan kebutuhan lainnya.
Setelah ngobrol dengan pemilik apartemen, Michael langsung sepakat begitu pemilik apartemen berniat mencari penghuni tambahan di unit apartemennya. Melalui aplikasi Yukstay, pemilik apartemen menyewakan dua kamar tersisa di apartemennya. ”Ini solusi menguntungkan untuk kami. Saya tidak perlu bayar sewa yang terlalu mahal. Pemilik apartemen juga bisa dapat uang dengan lancar,” katanya.
Dengan konsep co-living, Michael dan penghuni baru bisa berbagi fasilitas dan berbagi biaya perawatan gedung. Setelah menerapkan konsep berbagi tempat tinggal, uang sewa yang harus ditanggung Michael turun, dari semula Rp 6.000.000 per bulan menjadi Rp 3.250.000 per bulan. Biaya itu sudah termasuk perawatan gedung, fasilitas keamanan, dan kebersihan.
Saat ini, Michael tengah mencari penghuni untuk mengisi kamar ketiga. ”Kalau penghuni bertambah, biaya perawatan gedung jadi lebih murah,” katanya. Michael mengaku enggan pindah tempat tinggal karena apartemennya sudah direnovasi agar nyaman dihuni.
Tinggal bersama orang asing berarti harus ada penyesuaian, seperti untuk menata perabotan. ”Aku masih aneh melihat ada rak sepatu (sambil menunjuk rak warna merah muda di dekat pintu masuk). Namanya juga penghuni baru perempuan, sepatunya banyak,” ujarnya.
Agar tempat tinggal nyaman dihuni, Michael dan roomates-nya berdiskusi. ”Kemarin, penghuni baru tanya saya, kalau mau beli rak sepatu bagusnya yang bentuknya seperti apa, sampai warna juga dia bertanya. Mungkin supaya konsep kamar tidak berubah. Akhirnya, ya, kami saling menyesuaikan,” kata Michael.
Fasilitas lengkap
Tren co-living menjadi favorit karena berbagai alasan. Tinggal bersama di sebuah apartemen membuat para penghuni bisa menikmati fasilitas apartemen yang lengkap, seperti kolam renang, pusat olahraga, dan fasilitas keamanan, dengan biaya relatif lebih terjangkau. Lokasi apartemen juga strategis.
Selain itu, kehadiran orang baru uga bisa membuat suasana tempat tinggal menjadi lebih hidup. Mutiara (38), pegawai swasta, sebelumnya indekos di daerah Palmerah, Jakarta Barat. Di tempat indekos itu, Tiara merasa kurang nyaman karena kamarnya kecil dan lembab.
Ia kemudian pindah ke Apartemen Belmont Residence di Kembangan, Jakarta Barat. Dengan konsep co-living, ia cukup membayar sewa kamar Rp 2.000.000 per bulan. Harga sewa yang sama ia keluarkan saat masih tinggal di indekos. Bedanya, di apartemen itu Tiara mendapat fasilitas lengkap dan suasana kamar yang jauh berbeda daripada di tempat indekos.
Di apartemen, Mutiara mendapat kamar berperabotan lengkap, yaitu kasur, lemari, rak buku, dan penuejuk ruangan. Ia tinggal bersama tiga orang asing yang mengisi kamar berbeda. Para roomates-nya ini baru ia kenal begitu ia tinggal di unit apartemen itu. Ia pun bisa berbagi dapur, kamar mandi, dan ruang tamu dengan para teman tinggalnya itu.
Bagi Mutiara, tinggal dengan konsep co-living sangat sesuai dengan kebutuhannya. ”Saat makan atau menonton televisi, saya dan roomates bisa ngobrol. Beda banget dengan kalau tinggal di kos-kosan, semua serba individualis. Setiap hari waktu hanya dihabiskan di kamar masing-masing,” kata Tiara, yang juga merasakan co-living saat masih kuliah di London, Inggris..
”Setiap berpapasan di dapur atau di living room, kami saling menyapa. Ini penting banget karena tinggal di kota besar, kita terbiasa melakukan apa-apa sendirian. Kalau dibiarkan begitu terus, keahlian sosial kita bisa hilang,” katanya.
Berlomba-lomba
Business Insider menuliskan, konsep hunian bersama menjadi arus utama kaum milenial yang terus bermigrasi ke daerah perkotaan yang mahal. Konsep hidup yang terinpirasi dari kehidupan asrama mahasiswa di negara Barat ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-19.
Kini, banyak perusahaan start-up berlomba-lomba mengembangkan hunian bersama untuk kaum milenial. Perusahaan menawarkan akomodasi dengan banyak keistimewaan, seperti fasilitas keamanan, kebersihan, dan olahraga. Tinggal bersama di apartemen juga dipercaya bisa meningkatkan gengsi orang kantoran yang tinggal di kota besar.
Di Indonesia, ada beberapa perusahaan yang menawarkan konsep co-living ini. Seperti Yukstay, Flokq, dan RedDoorz. Dalam situsnya, Flokq menuliskan: ”Kamar pribadi dan ruang tamu yang indah di apartemen premium dalam komunitas yang ramah.”
Sementara RedDoorz menuliskan: ”Co-living menawarkan hunian premium dan jasa di dalamnya seperti laundry dan makanan. Usaha co-living menyasar konsumen yang memiliki penghasilan sendiri, tetapi masih belum memiliki hunian untuk mendukung aktivitas mereka.”
Business Development Yukstay Jupiter Juwana menjelaskan, pihaknya menawarkan kamar dengan konsep co-living sejak Maret 2018. Hal itu berawal dari fakta bahwa sekitar 40 persen hunian apartemen di Jakarta tidak dihuni. Sementara orang-orang di Jakarta kesulitan mencari tempat tinggal yang nyaman dengan harga terjangkau.
Pendiri Yukstay Jacky Rusli dan cofounder-nya, Christopher Kung, kemudian mendapatkan ide untuk mengembangkan konsep co-living yang menjembatani ketersediaan apartemen dengan orang-orang yang mencari akomodasi. ”Jacky dan Christopher pernah tinggal di Singapura. Mereka sudah terbiasa dengan konsep ini,” kata Jupiter.
Saat ini, Yukstay menawarkan 1.000 lebih kamar dengan konsep co-living. Perusahaan ini juga menawarkan sewa dengan konsep whole unit, atau seluruh bagian apartemen untuk keluarga baru. ”Sebanyak 600 kamar sudah terisi. Sisanya masih ada 300 lebih kamar di daerah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi,” kata Jupiter.
Ia menjelaskan, harga sewa kamar bervariasi, mulai dari Rp 1.500.000 per kamar per bulan, seperti di Apartemen Gading Residence, Jakarta Utara, hingga Rp 10.000.000 per kamar per bulan di Apartemen Sudirman Mansion, Jakarta Pusat. Harga sewa ini tergantung dari lokasi dan fasilitas yang ditawarkan.
Untuk menjalankan bisnis ini, Yukstay bekerja sama dengan pemilik apartemen atau pengembang properti. Kemudian, calon penghuni bisa memilih kamar yang ingin digunakan melalui aplikasi.
Biasanya satu unit apartemen terdiri dari 3-8 kamar. Mereka juga bisa melihat kamar secara langsung sebelum memutuskan untuk menyewa kamar. Kontrak sewa minimal tiga bulan.
Agar penghuni nyaman tinggal di apartemen, Yukstay memberikan fasilitas kebersihan apartemen sepekan sekali. Keluhan terhadap kenyamanan hunian juga langsung ditangani. Jupiter menjelaskan, kebanyakan pengguna aplikasi ini adalah karyawan dan mahasiswa dengan rentang usia 20-35 tahun.
Selama dua tahun terakhir, Yukstay berusaha memperkenalkan konsep hunian bersama kepada masyarakat. ”Masyarakat yang tinggal di Jakarta Selatan sudah tebih terbuka dengan gaya hidup ini. Jadi, hunian di daerah Kuningan, Fatmawati, Pejaten, dan Kalibata lebih cepat diisi. Selain itu, lokasinya strategis,” kata Meiliza Dwi Putri, Business Development Yukstay.
Menurut Meiliza, pihaknya juga menerima permintaan khusus dari penghuni kamar terkait jender calon teman tinggalnya. ”Jadi, terhadap penghuni biasanya kami bertanya apakah ia prefer menerima teman satu unit apartemen sesama perempuan, sesama laki-laki, atau bebas saja,” kata Mei.
Meilizia baru dua bulan terakhir tinggal dengan konsep co-living di Apartemen Taman Rasuna. Ia tinggal di sana dengan harga sewa Rp 2.700.000 per bulan. ”Sebelumnya aku takut tinggal di apartemen dengan orang lain. Takut enggak cocok dengan tetangga. Ternyata, setelah dicoba malah enak banget karena merasa punya teman,” katanya.
Selanjutnya, Yukstay berniat memperbanyak jumlah hunian yang mereka tawarkan. Kalau sekarang tersedia 1.000 kamar, perusahaan ini berambisi meningkatkan jumlah kamar menjadi 10.000 kamar. ”Kami harus cari strategi bisnis yang tepat karena sekarang sudah mulai banyak pesaing,” kata Meilizia.