Ketika Harus Sekolah di Rumah
Ketika situasi global membuat kita terpaksa menurunkan berbagai target standar kesempurnaan, begitu juga sebaiknya kita bersikap terhadap anak-anak.
Imbauan untuk bersekolah di rumah tak sepenuhnya mudah dilakukan. Biasanya, rumah menjadi tempat berkumpul bersama keluarga dan beristirahat dari padatnya kesibukan bekerja atau bersekolah. Pandemi Covid-19 mengubah segala tatanan cara hidup kita, termasuk soal bersekolah bagi anak-anak.
Pandu (10), murid kelas empat di sebuah sekolah dasar swasta di Jakarta Selatan, sekitar sepekan terakhir mengikuti program belajar mandiri, bersekolah dari rumah sesuai kebijakan pemerintah. Awalnya, Pandu bangun kesiangan, tetapi kini sudah bangun pagi kembali untuk mengikuti jadwal sekolah secara daring.
Sekolahnya menerapkan tatap muka kelas jarak jauh dengan diawasi dua guru. Tatap muka menggunakan fasilitas konferensi video Google Hangouts Meet, yang dibagi ke dalam beberapa sesi. Setiap sesi diikuti enam anak dari total 24 orang anak di kelas Pandu. Setiap pagi Pandu mendapatkan giliran pertama, pukul 08.30 hingga pukul 09.00. Pada hari pertama konferensi video, kedua guru membuat kesepakatan tentang tata cara berbicara dan berdiskusi.
Sebelumnya, pihak sekolah juga memberikan tugas-tugas harian untuk mata pelajaran terkait yang dijadwalkan setiap hari. Tugas-tugas tersebut diunggah setiap sore hari untuk kemudian dikerjakan keesokan paginya dengan pendampingan orangtua.
Tak hanya aktivitas sekolah yang menerapkan metode daring, tak terkecuali juga kursus balet. Kegiatan balet yang rutin dilakukan Prisha Alka Ophelia (3) terhenti karena sekolah baletnya memutuskan menutup studio hingga 2 April 2020. Seiring dengan penutupan yang diumumkan pada 18 Maret 2020 itu, orangtua pun memperoleh pekerjaan rumah untuk menggantikan peran mentor mengajarkan gerakan balet sesuai silabus yang dikirimkan.
Grup WhatsApp khusus untuk orangtua pun dibuat untuk membagikan silabus yang berisi jenis gerakan yang harus tetap dilatih dan direkam untuk dikirimkan kepada mentor. ”Ini agar anak-anak tidak lupa dengan gerakan yang diajarkan akibat off yang lama. Dari video yang dikirimkan, akan ada feedback juga,” ungkap Alisha yang bertanggung jawab untuk melatih kelas balet untuk anak-anak.
Masalah bermunculan
Pada awalnya, cara baru bersekolah ini seolah akan mudah dijalani, apalagi bisa bersama orangtua. Kenyataannya tak seindah dugaannya. Seperti pengalaman Angela (39), karyawan swasta di Tangerang Selatan, Banten.
Sebelum mengerjakan pekerjaannya dalam rangka bekerja di rumah (WFH), Angela harus terlebih dulu mendampingi sekolah daring anaknya Thira (8) yang baru duduk di bangku kelas 1 SD. Tidak disangka, pendampingan sekolah daring ini benar-benar menyita waktu dari pagi hingga siang hari. Dari sejak pukul 08.00, Thira sudah harus siap sedia di depan komputer untuk melihat penugasan harian. Ia lantas harus belajar dari buku pelajaran, mengerjakan soal, lalu mengerjakan kuis yang sudah disiapkan guru di aplikasi belajar daring Edmodo.
Untuk pelajaran agama, misalnya, Thira membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk belajar materi baru, menjawab soal di buku, ataupun kuis daring. Oleh karena belum bisa mandiri belajar, Angela pun akhirnya harus benar-benar duduk mendampingi proses belajar. Begitu Thira menyelesaikan satu mata pelajaran, sang ibu segera memotret hasil belajar dan merekam video proses belajar yang kemudian diunggah di aplikasi Edmodo agar bisa dicek guru.
Di sela proses sekolah di rumah itu, guru kelas juga rutin menelepon dengan panggilan video untuk memastikan bahwa anak benar-benar belajar dengan pendampingan orangtua.
Oleh karena sang suami pun harus mengerjakan pekerjaan pembuatan peta dari rumah, kehadiran suami tak banyak membantu. Ketika Angela sibuk mendampingi belajar Thira, suaminya yang bekerja sebagai konsultan geologi pun berjibaku di depan komputer. Suasana tegang dari pagi hingga siang semakin bertambah karena anak kedua Angela yang masih berusia 2 tahun pun butuh perhatian ekstra.
Selain soal bentrok waktu antara mendampingi anak sekolah daring dan harus WFH, para orangtua juga harus lebih sabar menghadapi suasana hati anak yang lama-lama bosan di rumah terus.
”Bukan hal mudah dan ternyata sangat melelahkan, kadang jadi gemas sendiri. Belum lagi ada kewajiban lain untuk tetap bekerja di rumah,” ujar ayah dari Prisha, Wishnu Prabowo (34).
Siska (37), warga Tangsel lainnya, juga merasakan kerepotan ketika harus bekerja di rumah bersamaan dengan mendampingi anak sekolah di rumah. Keduanya sama-sama tidak mungkin ditinggalkan. Putri sulungnya, Eli (5), yang masih duduk di bangku TK B sudah dibebani pula tugas-tugas oleh sekolahnya.
Berbagai kegiatan anak harus didokumentasikan, baik foto maupun video, lalu dilaporkan melalui pelantar (platform) tersebut kepada guru, disertai laporan dari orangtua tentang bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Laporan harus dikirimkan paling lambat pukul 11.00 setiap hari.
Orangtua lalu sibuk mencari dan menyiapkan keperluan anaknya. Setiap saat memberikan arahan agar tugas dilakukan dengan benar untuk didokumentasikan. ”Pegang kertasnya, Mama foto dulu,” ujar Siska saat memotret Eli dengan tugas sekolahnya yang telah selesai.
Kadang-kadang ada subyek atau materi yang tidak dikuasai orangtua, seperti pelajaran bahasa Mandarin. Meskipun tidak ada tuntutan benar atau salah, kebingungan tetap menghinggapi orangtua untuk mendampingi kegiatan tersebut.
Keruwetan yang bermunculan itulah yang lantas terepresentasi dalam aneka meme jenaka di media sosial yang amat menggambarkan kondisi para orangtua saat ini. Misalnya saja meme yang berbunyi, ”Aku tak sanggup lagi. Mamaku lebih galak dari Bu Guru di sekolah, bawaannya marah-marah melulu.”
Tak semua sekolah menjalankan jadwal ketat sekolah daring di rumah. Dinda (44), misalnya, ibu dari dua anak ini relatif santai karena sekolah si bungsu, Danya (9), tidak dibebani tugas bertumpuk dari sekolahnya, sekolah dasar swasta di Jakarta Selayan. Pihak sekolah juga tidak memberikan tenggat harian, dan semua tugas bisa dikumpulkan ketika tiba masuk sekolah kembali. Sementara si sulung Diaz (17) sudah bisa belajar mandiri tanpa didampingi.
”Saya membiarkan mereka bertanggung jawab dengan urusannya sendiri-sendiri. Kalau adiknya ada kesulitan, Kakaknya yang saya dorong untuk membantu menyelesaikan masalah,” kata Dinda.
Terstruktur
Cara hidup bekerja di rumah dan sekolah di rumah tak hanya dijalani kita di Indonesia, tetapi juga berlaku di berbagai negara yang terjangkiti wabah Covid-19. Kerepotan-kerepotan tersebut juga dirasakan banyak orangtua. Berbagai unggahan video, foto, ataupun teks di berbagai kanal media sosial dari para orangtua di berbagai negara juga menyuarakan masalah yang sama. Apalagi, banyak rumah tangga di negeri lain tidak memiliki asisten rumah tangga.
Seperti dikutip dari artikel di situs npr.org berjudul ”Coronavirus Triple Duty: Working, Parenting, and Teaching from Home”, pada masa wabah ini, sekalipun harus berada di rumah, para orangtua harus menjalani tiga macam tugas penting, yakni bekerja (working), mengasuh (parenting), dan mengajar (teaching).
Agar ketiganya bisa berjalan relatif terkontrol, artikel tersebut mengutip narasumber Michael Rich, direktur pusat kesehatan anak dari Boston’s Children Hospital yang menyarankan para orangtua membuat jadwal kegiatan yang konsisten bagi anak serta membuat daftar target yang perlu dicapai. Jadwal dan target tersebut membuat ekspektasi lebih jelas dan mencegah anak menghabiskan waktu berjam-jam, misalnya untuk bermain TikTok dan menonton layar.
Sementara, situs unicef.org memberi saran-saran aplikatif yang bisa diunduh bagi orangtua dalam mendampingi anak selama tinggal di rumah di masa wabah. Hampir serupa dengan artikel sebelumnya, UNICEF menyarankan para orangtua membuat jadwal rutin aktivitas terstruktur yang konsisten tetapi tetap fleksibel. Artikel itu juga mengingatkan, amatlah lazim jika anak misbehave atau tidak berperilaku baik. Wajar jika anak bosan, jenuh, dan lelah karena merasa terjebak di rumah. Ketika gejala itu baru terlihat di awal, orangtua dapat segera mengalihkan potensi perilaku buruknya ke aktivitas lain yang bisa mengalihkan emosi si anak.
Para orangtua kini juga bisa memanfaatkan berbagai aplikasi belajar yang di masa wabah ini digratiskan. Mulai dari Ruangguru, Zenius, dan juga Quipper. Dukungan juga datang dari provider, seperti Telkomsel yang menggratiskan 30 GB untuk belajar di Ruangguru. Tak ketinggalan Indosat dan XL Axiata, yang juga menggratiskan kuota untuk belajar di Ruangguru.
Menurunkan target
Tenik Hartono (50), ibu bekerja dengan satu anak Jyotis Aryanata Hidayat (15), bisa memahami suka duka yang dirasakan para keluarga saat ini. Ia lalu tergerak untuk membuat grup virtual di Fabecook Community bernama Parenting Indonesia Support Group #SekolahDiRumah. Dalam keterangan di laman grup tersebut menjadi tempat berkumpulnya ibu dan ayah untuk berbagi rasa dan ide selama masa anak-anaknya sekolah di rumah demi berupaya mencegah penyebaran Covid-19.
”Aku terpikir bikin grup karena kita semua sedang berjuang mengatasi situasi saat ini. Ada yang kocak, stres, marah-marah, dan macam-macam. Ada yang berbagi ide aktivitas buat anak-anak, berbagi resep, atau sekadar berbagi kelucuan atau meme, apa saja. Jadi saluran udar rasa para orangtua,” kata Tenik, yang juga mantan Pemimpin Redaksi Ayahbunda.
Salah satu hal yang dicermati Tenik, untuk pasangan orangtua yang bekerja, ketika harus bekerja di rumah dan anak-anaknya juga sekolah di rumah, kerepotan tersendiri pun muncul. Selama ini, imbuh Tenik, sebagian kerepotan itu diserahkan pihak ortu kepada sekolah. Ketika anak-anak harus sekolah di rumah, dengan tugas-tugas yang banyak, di sela-sela WFH masih harus membimbing si anak yang sekolah di rumah secara daring. Para orangtua secara sekaligus harus berjumpalitan mengerjakan tiga hal krusial dalam satu waktu, yakni bekerja, mengajar, dan mengasuh.
”Dalam situasi begini, kita mungkin sebagai ortu enggak perlu juga terlalu memberi pressure kepada anak-anak. Karena mereka juga sedang stres enggak hanya karena tugasnya bertumpuk, tapi enggak bisa ketemu dan bermain dengan teman-temannya. Akan tambah stres lagi kalau ortunya terus menerus memarahinya. Makanya sampai keluar meme lucu-lucu soal Mama yang lebih galak dari guru, Mama jadi macan dan sebagainya. Lucu-lucu,” kata Tenik.
Berbagai unggahan di grup tersebut memang cukup beragam. Mulai dari berbagi informasi soal museum-museum yang bisa dikunjungi secara daring sehingga anak-anak bisa mengeksplorasi pengetahuan baru, ide aktivitas permainan tradisional, artikel-artikel praktis bagi ortu, foto-foto anak-anak yang tengah sekolah daring di rumah, sampai aneka meme yang menggelikan.
Seperti unggahan seorang ibu Nala Wiradidjaja berupa meme yang berisi puisi jenaka berbunyi, ”Puisi dari murid yang lagi belajar di rumah: Ular sanca tidak berbulu. Sudah pasti bukan teman kangguru. Wahai corona cepatlah berlalu. Karena Mamaku tidak cocok jadi guru”.
Menurut Tenik, ketika situasi global membuat kita terpaksa menurunkan berbagai target standar kesempurnaan, begitu juga sebaiknya kita bersikap terhadap anak-anak. Jadikan momen karantina di rumah sebagai memori bersejarah dalam hidup mereka kelak, yang diisi dengan kegembiraan dan semangat optimistis dalam mengahadapi krisis. Seperti judul film yang baru saja ngetop, setelah wabah ini usai, nanti kita cerita tentang hari ini. (Sarie Febriane)