Utak-atik Masa Depan
Minat menonton film dan serial televisi bertema wabah meruyak di tengah merebaknya pandemi coronavirus. Tak pelak, hiburan yang menampilkan kesesuaian dengan Covid-19 menjadi buah bibir.
Minat menonton film dan serial televisi bertema wabah meruyak di tengah merebaknya pandemi coronavirus. Tak pelak, hiburan yang menampilkan kesesuaian dengan Covid-19 menjadi buah bibir. Ketertarikan mencari-cari kesamaan itu sejatinya menyiratkan hasrat manusia untuk menyibak tabir masa depan.
Tenaga medis dengan alat pelindung diri berkeliaran di jalan menangani warga yang kolaps. Bandara, pusat kebugaran, dan kantor sepi. Bukan kenyataan. Tak dapat dapat dimungkiri kisah dalam film Contagion (2011) tersebut mirip dengan situasi terkini.
Film berdurasi sekitar 1,5 jam ini diawali Beth Emhoff (Gwyneth Paltrow) yang pulang dari Hong Kong, China, ke Minneapolis, Amerika Serikat. Serupa gejala Covid-19, ia demam dan batuk-batuk. Segera, virus menyebar ke berbagai penjuru dunia. Orang-orang bisa saja tak menunjukkan gejala, tetapi menulari warga lain.
”Pertahanan terbaik kita adalah social distancing (jaga jarak), jangan bersalaman, dan sering cuci tangan,” ujar Dr Ellis Cheever (Laurence Fishburne).
Persis imbauan yang beredar saat ini. Tak perlu waktu lama, seantero media sosial riuh dengan konten terusan mengenai Contagion. Peringkat tontonan film bersinematografi muram ini spontan melejit. Berdasarkan situs berita The New York Times, Contagion menempati posisi ke-270 pada Desember 2019 dalam katalog judul Warner Bros.
Sejak awal tahun 2020, tingkatan tersebut melonjak menjadi ke-2. Di Amazon Prime Video, Contagion juga menjadi tren di layanan video daring Amazon Prime Video dan menempati 10 besar aplikasi internet iTunes.
Tak jauh berbeda, Outbreak (1995), Flu (2013), dan Pandemic (2016) lantas berseliweran di lini masa medsos. Film-film bertema wabah menjadi subyek yang mengasyikkan. Aspek proximity (kedekatan) dalam komunikasi massa mendorong khalayak beramai-ramai menonton aneka film tersebut.
Film Outbreak, misalnya, berkisah tentang Sam Daniels (Dustin Hoffman), dokter militer yang berjuang memberantas motaba. Virus asal Zaire ini berjangkit di Amerika Serikat. Film tersebut saat dirilis menjadi amat kontekstual dengan momentum merebaknya wabah akibat virus ebola di Zaire.
Virus korona juga membuat serial televisi Korea Selatan Terius Behind Me mencuat kembali. Dalam salah satu episode drama tahun 2018 tersebut, terdapat adegan dokter menjelaskan gejala virus korona yang menyerang paru-paru. Adegan tersebut kemudian menjadi viral meski cerita tersebut fiksi.
Naluri manusia
Tak ketinggalan, The Simpsons sempat menjadi pembicaraan hangat. Serial televisi ini membetot perhatian saat diisukan mampu meramal wabah Covid-19 atau korona, lewat edisi tahun 1993 berjudul Marge in Chains meski belakangan, informasi ini diketahui hoaks. Berdasarkan situs berita Daily Mail, ada netizen yang mengganti ”Osaka Virus” dalam episode itu menjadi ”Corona Virus” dengan utak-atik foto dan menyebarkannya lewat media sosial.
Menurut sutradara Upie Guava di Jakarta, Sabtu (28/3/2020), utak-atik masa depan merupakan watak natural para pembuat film. 2001: A Space Odyssey (1968), Total Recall (1990), dan Back to the Future (1985) adalah karya-karya semacam itu. Banyak film futuristis yang dibuat dengan riset agar prediksi mereka sebisa mungkin menjadi nyata.
”Ketertarikan penonton menikmati film itu memperlihatkan naluri mencari tahu apa peristiwa yang akan terjadi,” kata Upie yang telah mendalami sinematografi hampir 20 tahun itu.
Secara ilmiah, fenomena ini mengingatkan akan John Naisbitt. Dalam bukunya, Megatrends Asia, yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 1996, futuris itu menjelaskan utang budi atas pemikirannya soal masa depan antara lain kepada para pebisnis, peneliti, dan duta besar.
Ia juga menulis Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives tahun 1982. Pada tahun 1980-an, prediksi Naisbitt tentang 10 pola perubahan besar yang menentukan wajah dunia dianggap cukup jitu. Perekonomian Asia yang direpresentasikan, terutama dengan pesatnya pembangunan China dapat diperkirakan Naisbitt melalui penelitiannya.
Layar kaca
Di tengah kegelisahan akan pandemi, banyak pula orang berpaling ke layar kaca. Baik kisah fiksi maupun nonfiksi tiba-tiba menjadi Marge In Chains ”primadona”, di antaranya seri orisinal Netflix, Pandemic: How to Prevent an Outbreak.
Ditayangkan perdana pada 22 Januari 2020, seri dokumenter ini terdiri atas enam episode. Tayangan Pandemic secara komprehensif mengulas bagaimana dunia berpacu dengan waktu untuk menghadapi pandemi penyakit yang bergerak cepat.
Seri ini dibuka dengan pencarian bekas kuburan massal di Buttler County, Pennsylvania, Amerika Serikat, ketika wabah flu Spanyol merebak. Dalam kilas balik digambarkan, flu Spanyol yang pecah tahun 1918 menewaskan 50 juta orang dalam kurun dua tahun.
Rumah sakit kota New York City ditampilkan sibuk menggelar simulasi menghadapi pecahnya wabah. ”Yang mengkhawatirkan, cuma butuh satu orang untuk memicu wabah,” kata Dr Syra Madad, yang bertanggung jawab mempersiapkan rumah sakit ini menghadapi wabah.
Ini jauh lebih menakutkan dan mematikan dibandingkan perang dunia, katanya. Tak hanya penyakit, Pandemic memotret gangguan pasar finansial, pekerjaan, penerbangan, dan produksi makanan.
Pandemic dengan informatif, menarik, dan menyentuh membeberkan kisah-kisah petugas medis di garda terdepan. Petugas yang menjadi korban saat menangani ebola di Afrika, dokter di rumah sakit untuk orang miskin di India dengan setidaknya 1.000 pasien setiap hari, jam kerja melewati batas normal sampai jarang bertemu anak, dan sukarelawan memberikan vaksin di perbatasan, bisa membuat kita meneteskan air mata.
Kisah nyata
Keharuan juga menyeruak saat menyaksikan drama 93 Days tentang wabah ebola di Nigeria tahun 2014. Film arahan sutradara Steve Gukas ini dibuat berdasarkan kisah nyata ketika ebola muncul pertama kali di Lagos. Dikisahkan, diplomat Liberia- Amerika, Patrick Sawyer, datang ke Lagos dan menularkan penyakit itu kepada para petugas medis yang merawatnya.
Ada kegemasan dan kesedihan tatkala melihat penanganan penyakit mematikan itu. Ada balutan situasi politik yang membuat pemerintah seakan sulit mengerahkan yang terbaik untuk menanganinya.
Akibatnya, tercatat delapan kematian dari 20 kasus ebola, empat di antaranya petugas medis. Salah satunya adalah dokter Ameyo Adedavoh (Bimbo Akintola). Drama 93 Days ini didedikasikan untuknya.
Judul tersebut diambil dari kurun waktu 93 hari yang diperlukan untuk menyatakan Nigeria bebas ebola setelah penyakit pertama muncul di negara itu. Nigeria mendapatkan pujian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atas respons yang cepat. Mereka yang pernah menonton penasaran untuk menonton kembali. Adapun yang belum menonton jadi tertarik untuk menontonnya.