Eksperimen dalam Kewajaran
Pergelaran Muslim Fashion Festival atau Muffest 2020 menyisakan jejak tentang perempuan yang berani tampil beda. Gaya eksperimental menyeruak lewat koleksi busana yang dihadirkan oleh para desainer yang telah senior.
Pergelaran Muslim Fashion Festival atau Muffest 2020 menyisakan jejak tentang perempuan yang berani tampil beda. Gaya eksperimental menyeruak lewat koleksi busana yang dihadirkan oleh para desainer yang telah senior. Mereka menyuguhkan gaya tak biasa berbalut konsep zero waste.
Karya para desainer seperti Sofie, Hannie Hananto, dan Nuniek Mawardi bisa disaksikan dalam pergelaran penutup Muffest 2020, akhir Februari lalu. R-Tre by Sofie menampilkan karya yang paradoksal. Potongan busana yang dihadirkan sengaja dibuat asimetris di bagian kerah, lengan, atasan, ataupun bawahan.
Meskipun eksperimental, setiap potongan busana yang dihadirkan terasa wajar, tidak berlebihan. Kewajaran yang paradoksal inilah yang membuat karya-karya tersebut tidak membosankan dan mudah diterima pasar.
”Terinspirasi perempuan yang suka eksperimen padu padan gaya, dengan material, pada akhirnya eksperimen itu jadi pembicaraan, jadi kontradiksi. Akhirnya akan jadi gaya baru,” ujar Sofie.
Koleksi blazer serupa jas dengan potongan yang santai semakin terasa ringan karena potongan asimetris antara bagian kiri dan kanan. Permainan potongan tak serupa ini sekaligus menjadi aksen yang mempercantik setiap tampilan. Oleh karena itu, tak butuh banyak aksesori tambahan bagi 12 tampilan yang disuguhkan Sofie.
Karya yang sangat eksperimental juga mengemuka lewat 12 tampilan karya desainer Hannie Hananto. Bertajuk ”Generasi Micin”, koleksinya kali ini benar-benar menyegarkan panggung penutupan Muffest 2020. Generasi Micin yang dilabelkan pada generasi Z dideskripsikan sebagai anak muda penggemar TikTok dan makanan yang mengandung monosodium glutamate (MSG). Semua penonton larut dalam tawa dan kesegaran dari peragaan busana yang terasa jenaka.
Hannie memilih latar musik yang sedang viral di aplikasi TikTok, seperti ”Entah Apa yang Merasukimu” hingga lagu Didi Kempot. Pada busana yang seluruhnya berukuran longgar, Hannie menorehkan tulisan Micin hingga menghadirkan gambar mangkok besar dengan merek salah satu produsen MSG.
Kain belacu
Warna-warni yang dihadirkan pada busana rok terusan, celana palazzo yang melebar ke bawah, dan atasan blus karya Hannie cukup mencolok, seperti merah menyala, ungu terang, hingga hitam polkadot. Keceriaan generasi micin dipertegas dengan aksesori topi lebar, bando bola, hingga earphone aneka warna.
”Generasi micin dianggap tidak dimengerti, tetapi justru adalah generasi baru yang mengubah semua tatanan, mulai dari tatanan ekonomi, budaya, cara berpakaian, hingga cara makan. Mereka sangat kreatif,” ujar Hannie.
Tidak hanya menarik dari segi tampilan, karya Hannie ini juga mengusung konsep keberlanjutan lingkungan yang memang menjadi tema sentral dari Muffest 2020. Hannie menggunakan bahan belacu yang kemudian dihiasi dengan print.
Kain belacu yang merupakan kain dasar mori ini berupa tenunan kapas putih. Sebagai bahan kain yang biasa digunakan untuk proses batik, kain belacu memiliki tekstur yang halus dan tidak berpasir. Selain pemilihan kain belacu, Hannie juga berupaya agar limbah kain yang diproduksinya bisa seminimal mungkin.
”Kain belacu tidak dikelantan jadi masih sustainable,” tambah Hannie.
Agar lebih ramah lingkungan pula, desainer Nuniek Mawardi memakai bahan wol sisa produksi dalam bentuk origami. Dengan prinsip zero waste, kain segi empat dilipat menjadi dua bagian dan menghasilkan bentuk segitiga. Lipatan bahan sisa produksi ini menghadirkan kesan yang elegan dan unik serta berhasil memberikan desain yang multifungsi dalam penggunaannya.
Bertajuk ”Louvre”, karya Nuniek menghadirkan kemegahan arsitektural seni Museum Louvre di Paris, Perancis, lewat busana luaran, gaun panjang, blus, dan rok dengan siluet potongan A-line dan gombrang.
Untuk memberi tekstur pada material yang dipakai, ia menggunakan teknik menyulam tangan, manipulasi material kain, melipat kain, menyatukan kain perca, dan merangkai manik-manik. Beragam teknik ini menghadirkan bentukan volume seperti geometri bunga serta bayangan metalik dalam balutan warna emas, krem, dan biru.
Kecintaan pada Bumi juga dituangkan lewat pilihan warna. Bertajuk ”Feel the Perfection” Wardah menggandeng empat desainer untuk bekerja sama menuangkan ide busana Muslimah berpadu dengan tampilan riasan yang memukau. Empat desainer yang digandeng Wardah di ajang Muffest 2020 ini adalah Ayu Dyah Andari, Barli Asmara, ETU, dan KAMI.
Kesederhanaan
KAMI yang merupakan label di bawah asuhan Istafiana Candarini, Nadya Karina, dan Afina Candarini membuka pertunjukan malam itu. Koleksi berjudul ”Cadiya” yang terinspirasi dari kata arkadia yang bermakna ’sederhana’ dan ’bahagia’. ”Lebih kurang artinya si dia yang simpel dan bahagia. Cukup tampil sederhana, tetapi tetap terpancar kecantikannya,” ungkap Karin.
Sekitar 12 tampilan disuguhkan dalam panggung. Fokus KAMI kali ini lebih pada pakaian yang nyaman dan cocok dikenakan untuk berkantor meski tak menutup kemungkinan untuk dikenakan bepergian. Sebagian besar merupakan tunik dengan potongan asimetris dipadu dengan celana palazzo yang semuanya berbahan kombinasi katun dan crepe.
Sesuai dengan padanan riasan bertema ”Daily Perfection” yang dominan dengan warna coklat dan hijau, KAMI membaurkan kedua warna tersebut dengan warna lain, seperti terakota, biru navy, hingga salem. Kekhasan dalam koleksi kali ini terletak pada motif garis yang menunjukkan kestabilan dan bunga melati yang sederhana, tetapi disukai banyak orang.
ETU milik Restu Anggraini juga asyik bermain warna hijau, coklat, terakota, putih gading, dan hitam. Bertema ”The Clover Code”, ETU mengangkat sisi historis Kota Jakarta dan daun semanggi yang dituangkan ke dalam motif sejumlah gamis, rangkapan luar (outer), dan tunik asimetris yang ditampilkan.
Koleksi yang dibuat berbahan dasar satin dipadu dengan tule dan organza ini kian manis dengan sentuhan draperi pada gamis dan tunik. Pemilihan lengan gelembung pada rangkapan luar dan blus juga menambah kesan modis dan anggun tanpa berlebihan.
Adapun Ayu memilih warna lembut, seperti putih gading, krem, dan coklat muda. Pemilihan warna ini tidak hanya karena berkolaborasi dengan riasan glam glow keluaran Wardah, tetapi juga mengirim pesan menyatu dengan alam yang dimulai dari pembuatan karya yang berupaya untuk zero waste.
Tema yang dipilih Ayu kali ini adalah ”Oase”. ”Oase itu merupakan daerah paling subur di gurun pasir. Itu menunjukkan, wanita cantik dan gaya adalah mereka yang memancarkan cahaya. Begitu pula dengan karya kali ini juga diharapkan dapat menyampaikan pesan,” kata Ayu.
Dari 13 tampilan, Ayu juga mengeluarkan dua koleksi gaun pengantin yang diberi taburan Swarovski. Sisanya berupa gamis dipadu dengan luaran yang memiliki aksen bordir dan payet berbentuk kelopak bunga mawar. Untuk koleksinya, Ayu menggunakan bahan katun, tule, dan organdi.
Sementara Barli Asmara lewat ”Neelakhurinji” melanjutkan tema India yang pernah dibawanya pada Jakarta Fashion Week. Warna lembut, seperti biru muda, salem, krem, dan putih gading, menjadi pilihan dari rangkaian gamis berbordir dipadu dengan kain panjang transparan yang juga berisi bordir. Aksen renda juga dijadikan pemanis dari gamis berbahan satin, tule, dan organsa ini.
”Sederhana tetap menjadi kunci dari karya kali ini,” ungkap Barli.