Pertunjukan daring dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat kanal Youtube #budayasaya. Salah satu penampilnya ialah koreografer Eko Supriyanto (49) yang kini menetap di Solo, Jawa Tengah.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Pertunjukan daring atau dalam jaringan internet menjadi hiburan tersendiri selama tetap tinggal di rumah demi melandaikan penyebaran wabah Covid-19. Salah satunya, pertunjukan daring yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat kanal Youtube #budayasaya.
Salah satu penampilnya ialah koreografer Eko Supriyanto (49) yang kini menetap di Solo, Jawa Tengah. Eko, yang mengajar seni tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, juga dikenal sebagai pencipta tari kontemporer yang mendunia.
Tari kontemporer bukan tarian yang asal aneh.
Pada 2001, Eko pernah lolos seleksi menjadi bagian dari tim penari untuk tur pementasan keliling dunia penyanyi Madonna ”Drowned World Tour” selama enam bulan. Selanjutnya, di Tanah Air, Eko banyak menggali tarian daerah untuk inspirasi penciptaan tari kontemporernya.
”Bagian paling penting di dalam tari kontemporer itu terletak pada gagasannya, bukan pada bentuknya. Tari kontemporer bukan tarian yang asal aneh,” begitu tutur Eko dalam pertunjukan daring, Senin (30/3/2020).
Bahagia di rumah
Eko dijadwalkan mengisi program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan tajuk #bahagiadirumah tersebut sebanyak enam kali dalam dua pekan. Setiap sesi dijadwalkan selama satu jam.
Program ini dimaksudkan agar setiap orang, meski dianjurkan tidak keluar rumah, bisa tetap merasa bahagia berada di rumah masing-masing. Di dalam pertunjukan daring perdananya, Eko membuka dengan tampilan film tari Syair Prana yang dibawakannya sendiri. Kemudian Eko menyuguhkan tarian ciptaannya, Cry Jailolo (2014).
Proses penciptaan Cry Jailolo menjadi bahan ulasan di sesi pertama ini. Eko terlebih dahulu mengisi dengan percakapan tentang arti tari dan koreografi. Ekspresi yang diwujudkan di dalam gerak, menurut Eko, itulah tari. Medium utama tari itu gerak. Ketika menjadi seni tari, medium suara kemudian melengkapinya.
Bagi Eko, dalam tari bukan berarti medium gerak menjadi lebih utama ketimbang suara. Kadang kala, medium suara jauh lebih utama ketimbang gerak.
Mengenai koreografi, Eko mengacu pengertian Barat, yaitu sebagai aktivitas pencatatan gerak atau tari. Seperti partitur di dalam seni musik, ketika jenis tari tertentu diciptakan, akan membutuhkan catatan geraknya agar konsisten ketika ditampilkan pada waktu-waktu yang berbeda.
Ketika memutuskan terjun ke dunia tari, Eko bercerita tentang sikap-sikap penting yang harus dimiliki. Salah satunya, seseorang harus memiliki sikap tidak fanatik terhadap jenis tari tertentu.
Akhir-akhir ini saya menerima banyak pertanyaan, ketika hendak memulai belajar tari, sebaiknya memulai dengan jenis tarian apa?
Eko menceritakan dirinya sendiri yang memulai belajar tari dengan tarian tradisi Jawa di Magelang, Jawa Tengah. Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tetapi tumbuh pada masa kanak-kanak hingga remaja di Magelang dengan diasuh kakeknya yang seorang penari wayang orang Sriwedari di Solo era 1960-an.
”Akhir-akhir ini saya menerima banyak pertanyaan, ketika hendak memulai belajar tari, sebaiknya memulai dengan jenis tarian apa? Saya menjawab, bisa dengan jenis tarian apa saja, tidak harus dengan tarian tradisi,” tutur Eko, yang kemudian mencontohkan salah satu putri remajanya yang memulai belajar tari dengan tarian hiphop.
Putrinya, Lintang Hinepukohu Aatahu, kemudian diberi kesempatan membawakan sebuah tariannya. Saat ini Lintang belajar tarian itu dari Timbul Hiphop di Solo.
Terumbu karang
Tarian Cry Jailolo diciptakan Eko dengan gagasan untuk merespons dampak perubahan iklim global. Salah satunya, perubahan iklim global berdampak pada peningkatan suhu dan kenaikan muka air laut yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Terumbu karang ini menjadi sumber kehidupan biota laut.
Wilayah perairan Indonesia timur menjadi salah satu lokasi penting segitiga terumbu karang dunia. Eko menuju ke salah satu titik penting di segitiga terumbu karang dunia itu, yaitu Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.
Senyampang hal itu, Bupati Halmahera Barat Namto Hui Rabo pada 2012 pernah meminta Eko untuk turut menggemakan dunia pariwisata di wilayah itu. Pertama kali, Eko diminta Namto menyelam untuk menikmati keindahan bawah lautnya. Ide ini tidak serta-merta disambut Eko.
Eko terlebih dahulu ingin mengeksplorasi tarian tradisi Jailolo yang mulai ditinggalkan generasi mudanya. Di kemudian hari, Eko turut menyelam ke bawah laut juga.
Justru dari pengalaman menyelam itu, Eko menemukan studi ketubuhan tentang seni tari tradisi Jailolo. Dengan menyelam, Eko menjalani studi ketubuhan maritim yang kemudian disadari sebagai dasar gerak seni tari tradisi di sana.
Eko kemudian mencipta tari Cry Jailolo dengan sumber tari tradisi Jailolo, yaitu tari Sara Debidebi dan lagu tradisi Salai. Dalam pertunjukan daring pertama itu, Eko mengajak Greatsia Yobel Yunga, pemuda asal Jailolo, sebagai salah satu penari Cry Jailolo.
Eko meminta Greatsia menarikan tarian tradisi Jailolo, Sara Debidebi. Gerakan kaki dan tangan Greatsia meliuk-liuk dengan ringan dan sederhana, berbeda dengan tari tradisi Jawa yang lebih rumit dan detail.
Tanpa kekerasan
Dalam pertunjukan daring kedua, Rabu (2/4/2020), Eko melanjutkan dengan narasi proses penciptaan tari Balabala. Gagasannya tentang jender, tentang perlawanan perempuan tanpa kekerasan.
Eko mengambil bahan mentah tarian tradisi Jailolo lainnya, yaitu cakalele, soya-soya, dan baronggeng. Tari Balabala khusus dibawakan penari perempuan.
Tari cakalele sendiri merupakan tarian ritual yang khusus ditarikan pria. Khusus tari baronggeng, ini seperti poco-poco, tarian yang bersifat massal. Eko pada kesempatan itu menghadirkan salah satu penari perempuan asal Jailolo, Yezyuruni Forinti, untuk menarikan tarian baronggeng ini.
Setelah menarikan baronggeng beberapa gerakan, Eko meminta Yezyuruni untuk memperlambat gerakan. Proses penciptaan Balabala salah satunya terinspirasi dari proses pelambatan tarian baronggeng ini.
”Dalam penciptaan tari kontemporer, bisa mengambil dekonstruksi dari sebuah tarian tradisi, misalnya dengan membuat lambat tarian seperti ini,” ujar Eko.
Ia berencana mengisi pertunjukan daring ketiga pada Sabtu (4/4/2020) dengan mengulas tarian berikutnya, yakni tari Salt. Tari Salt tentang rasa asin dari keringat, bukan rasa asin dari laut. Ini menggambarkan setiap usaha membutuhkan perjuangan.