Melintasi Kepanikan Covid-19
Berkarya seni di ruang publik yang ada di Tokyo, Jepang, antara 19 Februari sampai 4 Maret 2020, terasa menegangkan.
Berkarya seni di ruang publik yang ada di Tokyo, Jepang, antara 19 Februari sampai 4 Maret 2020, terasa menegangkan. Bukan karena medan seninya sulit, melainkan harus melintasi kepanikan terhadap penyebaran virus korona jenis baru penyebab Covid-19.
Ahmad Khairudin dan Humam Zidni Ahmad mewakili Kolektif Hysteria asal Semarang, Jawa Tengah, menempuh hal itu. ”Jepang lebih dulu mengalami pandemi Covid-19 dibandingkan negara kita,” ujar Ahmad Khairudin (35), Direktur Kolektif Hysteria, Rabu (8/4/2020), ketika dihubungi di Semarang, Jawa Tengah.
Dosen pengajar Antropologi di Universitas Diponegoro, Semarang, ini juga akrab disapa Adin. Selama di Jepang, setiap hari mereka menggunakan transportasi publik dari Stasiun Kanamecho hingga Stasiun Shibuya menuju ruang publik di Shibuya QWS, Tokyo.
”Temperatur dingin hingga 5 sampai 9 derajat celsius dan seruan waspada virus korona tidak mengganggu produktivitas kami,” ujar Humam.
Adin dan Humam di sana membuat mural, instalasi, dan seni video berbasis jejak seni yang pernah dibuat sebelumnya di Semarang. Keduanya juga membuat workshop zine dengan diskusi bebas yang bertemakan Tokyo 20 Tahun ke Depan.
Tidak sia-sia atas semua perjuangan itu. Adin dan Humam berhasil menyisihkan 20 finalis, di antaranya dari Israel, Rusia, Jepang, Jerman, Inggris, China, Belanda, Denmark, Amerika Serikat, dan Estonia. Para finalis itu menyisihkan 285 peserta dari 43 negara.
Kolektif Hysteria pun diganjar Grand Prize Youfab Award 2019. Penghargaan serupa di tahun sebelumnya diraih peserta dari Amerika Serikat.
Ini merupakan penghargaan tertinggi tahunan Fabcafe Tokyo di bawah manajemen Loftwork Inc, sebuah perusahaan kreatif global yang berkantor cabang di kota-kota dunia, seperti Hong Kong, Hida, Tokyo, Kyoto, Bangkok, Taipei, Barcelona, Toulouse, Strasbourg, dan Monterrey.
Loftwork Inc mendorong dampak positif seni desain bagi kepentingan masyarakat. Youfab Award ditujukan untuk mencari solusi atau inspirasi relasi tradisional antara individu dan industri. Pemberian penghargaan ini sudah berlangsung sejak 2012.
Tak ayal, di dalam Youfab Award, karena yang dicari relasi individu dengan industri, para pesertanya banyak mengusung pemanfaatan teknologi terkini. Seperti penerima ragam penghargaan berikutnya, First Prize, dari Israel dengan judul karya ”The Common Thread” oleh Amir Zobel dan Itay Blumenthal menggunakan teknologi pemrosesan data spesifik.
Kemudian Rusia yang meraih Special Prize dengan judul ”Bird Language” karya Helena Nikonole + Credits: Veronica Samotskaya, Natalia Soboleva, Konstantin Yakovlev, Nikita Prudnikov. Mereka menggunakan peranti teknologi terkini untuk membuat simulasi alat penerjemah bahasa burung ke manusia dan sebaliknya.
”Kolektif Hysteria tidak menonjolkan pemanfaatan teknologi terkini. Kami mengusung kerja-kerja pengorganisasian yang bersentuhan dengan darah dan daging,” ujar Adin.
”Penta KLabs”
Karya yang dihadirkan Kolektif Hysteria diberi judul ”Penta KLabs”. Ini mengandung pengertian sebuah laboratorium untuk relasi lima ”K” yang terdiri dari kamu/kami/kita, kelas/kampus, komunitas, kampung, dan kota.
”Penta Klabs mengusung kerja-kerja pengorganisasian kegiatan seni Narasi Kemijen tahun 2016 dan Banyu Sedulur Nongkosawit tahun 2018. Keduanya menyoroti tentang ketahanan kampung dan ekosistem air di Semarang,” ujar Adin.
Dewan Juri Youfab Award adalah Kei Wakabayashi (editor), Keiichiro Matsumara (Okayama University Literature Department Associate Professor), Leonard Bartolomeus (seniman Ruangrupa & Gudskul Ekosistem dari Indonesia), dan Chiaki Hayashi (Loftwork Inc). Dengan memenangkan ”Penta KLabs” dari Kolektif Hysteria itu, para juri mengingatkan kembali bahwa dimensi manusia dan masyarakatnya itu penting untuk diretas.
Narasi Kemijen memperjuangkan kelangsungan sebuah kampung pesisir yang mengalami penurunan tanah. Ketika laut pasang, kampung itu pun selalu tergenang rob. Tak ayal, masyarakatnya sering disibukkan dengan kegiatan menguruk lahan mereka supaya tidak tenggelam.
”Setelah ada festival seni di sana, pemerintah setempat lalu memfungsikan kembali polder dan pompa air untuk mengurangi rob air laut,” ujar Adin.
Festival seni seyogianya berdampak baik. Kepentingan masyarakat menjadi hal yang utama untuk dijawab.
Kerja pengorganisasian Kolektif Hysteria yang dibawa ke Jepang berikutnya, Banyu Sedulur di kawasan dataran tinggi Semarang, yaitu Nongkosawit. Ini daerah resapan air hujan yang menyuplai ketersediaan air tanah bagi masyarakat kota Semarang.
”Di antara Kemijen dan Nongkosawit itu sama-sama memiliki perubahan tata lahan yang tidak terkendali,” ujar Adin, yang berharap terus membangun kesadaran bersama tentang persoalan sosial melalui sebuah festival seni.
Baik di Kemijen maupun Nongkosawit, festival seni dilangsungkan di rumah-rumah warga. Para pegiat Kolektif Hysteria berbaur dengan warga untuk membuat beragam karya seni berbasis lokasi dan persoalan spesifik.
Mereka membuat pameran di rumah-rumah warga berupa seni instalasi, mural, seni video, seni foto, kolase, dan sebagainya. Tidak sedikit para pegiat Kolektif Hysteria yang dilibatkan.
Di antaranya adalah Oktavianto Bagus Prakoso (fasilitator), Purna Cipta Nugraha (periset), Wan Muhammad Fajar Shidieq (pembuat jejaring), Tommy Ari Wibowo (kurator seni), Dian Pertiwi (teknik lingkungan), Tri Wahyulianto (musisi), Guruh Indra Waskita (ilustrator), Arief Hadinata (videografer), Humam Zidni Ahmad (fotografer dan pilot drone), Pujo Nugroho (perancang diskusi), serta Irwan Gatot (desain grafis).
Kerja-kerja pengorganisasian untuk Narasi Kemijen dan Banyu Sedulur dipresentasikan di Jepang dengan tema ”Conviviality: Emerging from The Space Between The Old and New OS”. Tema itu mempertanyakan relasi antara yang manual dan digital, serta perubahan yang terjadi terus-menerus dalam sebuah sistem operasi sosial kultural.
Dewan juri Youfab Award memilih Kolektif Hysteria untuk mengingatkan kembali dimensi manusia dan masyarakatnya untuk diretas. Ini suatu refleksi atas perubahan.
”Seperti kebanyakan orang hari ini disibukkan membuat start-up (perusahaan rintisan) untuk menjadi unicorn, membuat mitos smart city, berlomba mencipta aplikasi-aplikasi baru, dan sebagainya. Ini bukannya tidak baik, tetapi perburuan eksesif seperti itu tak jarang menemui kesia-siaan,” ujar Adin, yang memulai Kolektif Hysteria dengan terjun langsung ke komunitas sosial sejak 2012.