Seni untuk Berpikir Kritis
Seni patut diajarkan kepada semua orang. Bukan untuk mencetak seniman; karena belajar seni ialah belajar berpikir kritis.
Seni patut diajarkan kepada semua orang. Bukan untuk mencetak seniman; karena belajar seni ialah belajar berpikir kritis. Pengelola Rumah Wijaya menempuh hal ini dan menyebutnya sebagai langkah kecil untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Ketika mengunjungi Rumah Wijaya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada suatu siang, awal Maret lalu, masih tampak kesibukan di sana-sini. Beberapa pekerja merapikan ruang yang baru saja digunakan untuk acara peresmian dan pembukaan Rumah Wijaya.
Di sisi kiri terdapat ruang pottery untuk kelas seni keramik. Siang itu, beberapa pengampu dan peserta pendidikan seni keramik Ganara Art sedang sibuk berada di ruang itu.
Di ruang kelas Ganara yang berada di lantai dua juga ada seorang bocah didampingi ibu dan gurunya sedang belajar menggambar. Pendiri Ganara Art, Saraswati Dewi Djumaryo atau akrab disapa Tita Djumaryo, menyebutkan, anak berusia sekitar 1,5 tahun itu sebagai peserta pendidikan seni termuda di Rumah Wijaya saat ini.
”Pendidikan seni itu persoalan mengalami. Jadi, pendidikan seni itu untuk semua usia,” ujar Tita, yang mendirikan Ganara Art sejak tahun 2013.
Sebelum memusatkan aktivitas di Rumah Wijaya, Ganara Art mengelola beberapa lokasi untuk pendidikan seni di Jakarta. Sejak tahun 2014 sampai sekarang, Ganara Art menjalankan program Mari Berbagi Seni di berbagai daerah, seperti Sumatera Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Maluku, dan beberapa kota di Jawa.
Tita memperkirakan sampai saat ini ada sekitar 25.000 orang yang pernah terlibat dalam program Mari Berbagi Seni ataupun pendidikan seni di kelas Ganara Art. Yang menyemangati Tita tidak lain adalah keinginannya untuk menyampaikan pendidikan seni untuk melatih berpikir kritis, bukan mencetak seniman.
”Kalaupun akhirnya yang menerima pendidikan itu menjadi seorang seniman, itu adalah bonus,” ujar Tita, lulusan Pendidikan Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung.
Ada esensi yang diajarkan di dalam pendidikan seni, yaitu menghargai perbedaan. Tita mengambil contoh yang diajarkan, beberapa peserta diajak menggambar bersama dengan obyek sebuah dadu.
Dadu memiliki bentuk kubus dengan enam bidang permukaan. Setiap bidang diberi tanda titik satu sampai enam. Ketika digambar bersama dari berbagai sudut pandang itu, hasilnya satu sama lain berbeda.
Itulah esensi seni. Seni tidak mengajarkan kebenaran tunggal. Seni memuliakan perbedaan. Rumah Wijaya mengemban titah ini.
Ketenangan
Rumah Wijaya menghadirkan banyak ruang untuk ragam seni yang diajarkan. Setiap ruang itu menawarkan ketenangan. Tidak hanya untuk pendidikan seni rupa. Ada ruang untuk pendidikan memasak atau ruang untuk seni gerak yang dilengkapi dinding cermin.
Rumah Wijaya menempati area tanah seluas 600 meter persegi. Bangunan rumah seluas 20 x 20 meter, atau 400 meter persegi, itu memiliki dua lantai.
Ketika memasuki halaman Rumah Wijaya, kita langsung bisa melongok kelas seni keramik dari dinding kaca transparan. Di situ ada beberapa meja dengan alas putar berbentuk lingkaran untuk membentuk tanah liat.
Di samping kanan ruang ini terdapat teras untuk memasuki ruang utama. Di bagian teras luarnya terdapat simbol huruf ”W” menyiratkan simbol ”Wijaya” untuk Rumah Wijaya.
Memasuki ruang dalam, terdapat tangga meliuk menuju lantai dua. Di sisi kanan ruang teras terdapat Ruang Pameran. Ruang ini ada di sudut rumah yang sudutnya diubah menjadi bentuk seperempat lingkaran berdinding kaca tembus pandang.
Dinding kaca tembus pandang menunjang kelegaan ruang. Sebuah instalasi seni dengan lukisan perahu naga terpampang di dinding ruangan ini. Di perahu itu ada beberapa orang mendayung dan satu orang berdiri untuk memberi aba-aba dayungan.
Menurut Tita, gambar itu merupakan simbol spirit Rumah Wijaya yang terus melaju seperti perahu. Jalannya perahu haruslah dengan satu visi yang sama dan berjalan dengan serempak sesuai aba-aba. Instalasi seni tersebut sekaligus difungsikan sebagai prasasti peresmian Rumah Wijaya.
Berikutnya, di belakang dinding ruang teras terdapat Ruang Nusantara. Ini menjadi bagian ruang utama paling longgar. Di bagian depannya ditata instalasi seni kotak-kotak karton. Di dalam belasan kotak karton itu terdapat potongan gambar yang bisa diputar. Ini merupakan simulasi film kartun. Ketika diputar, rangkaian potongan gambar itu menjadi gambar gerak dengan kisah dongeng tradisional Timun Emas.
Dari Ruang Nusantara ke arah kiri belakang menuju Ruang Dapur. Ke arah kanannya adalah Ruang Alor untuk kelas diskusi. Ruang Dapur tidak semata-mata menjadi pelengkap. Ruang itu juga menjadi ruang kelas untuk belajar memasak.
Ketika menaiki tangga menuju lantai dua dari ruang teras, tampak sebuah sudut dinding yang diberi ornamen rak buku cukup unik. Kerangka rak itu membentuk angka ”1” dan ”7”. Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji menggunakan rak itu untuk memamerkan literasi karya-karya sastra Indonesia yang pernah dialihbahasakan ke berbagai bahasa lain di dunia.
Dinding rak itu berada di belakang Ruang Komunal. Di lantai dua dimanfaatkan setidaknya untuk tujuh ruang. Selain Ruang Komunal, terdapat lagi dua Ruang Kelas untuk diskusi, Kelas Ganara untuk belajar melukis, Ruang Kaca, Ruang Studio Raya yang dijadwalkan dalam waktu dekat untuk belajar seni pantomim, dan Kantor Desain.
Kepemimpinan
Beragam seni diajarkan di Rumah Wijaya. Di balik itu semua, Tita berujar, ada sesuatu ingin dicapai dengan menjadikan seni sebagai bagian integral sebuah pendidikan kepemimpinan.
”Lewat seni, kita ingin mewujudkan pemimpin yang mampu melihat perbedaan dari segala sudut pandang,” kata Tita, yang bergandengan dengan sebuah konsorsium untuk menunjang pendidikan kepemimpinan ini.
Pemimpin haruslah mampu melihat dengan berbagai sudut pandang. Seperti ketika banyak orang menggambar sebuah dadu. Sudut pandang yang berbeda-beda akan menghasilkan gambar yang berbeda. Begitulah, lewat seni didorong kepemimpinan untuk mampu memahami ragam perbedaan. Selain itu, seorang pemimpin harus mampu menguasai satu visi kepentingan bersama.
Di dalam buku saku Rumah Wijaya, berjudul Kolaborasi untuk Dampak Sosial, dijelaskan adanya Konsorsium Deepspace. Ganara Art bersama konsorsium ini memandang perlu adanya wadah baru, yaitu Rumah Wijaya, untuk mewujudkan visi bersama.
Penggerak dan pemerhati pendidikan, Salman Subakat (pemimpin Paragon Technology and Innovation), memulai pendirian konsorsium ini. Prinsipnya, haruslah sebanyak mungkin elemen sosial terlibat untuk mewujudkan pendidikan kepemimpinan lewat pendidikan seni.
Konsorsium Deepspace menghimpun berbagai lembaga organisasi dan komunitas, di antaranya Deep Tech, Everidea, Feedlop, Pemimpin.id, Semua Murid Semua Guru, Maxima-Social Impact Agency, Rumah Amal Salman, Tunas Bakti Nusantara, Asta Mandala, serta Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan.
Di buku saku itu ditegaskan, mereka meyakini seni bukanlah pemanis, melainkan pemantik sebuah perubahan sosial. Di sinilah letak pentingnya pendidikan seni. Rumah Wijaya menawarkan pendidikan seni untuk melatih berpikir kritis demi perubahan sosial.