Agar Tubuh dan Pikiran Tetap Bugar dengan Kondisi Normal Baru
Selama menjalani bekerja dari rumah atau ”work from home” (WFH) pada masa pandemi Covid-19, banyak rutinitas baru yang dilakukan. Kebiasaan baru itu kadang malah membuat malas karena melakukan banyak hal di rumah.
Oleh
sekar gandhawangi
·4 menit baca
Sejumlah orang mengalami perubahan ritme hidup harian sejak bekerja dari rumah menjadi hal normal yang baru (the new normal). Perubahan pola tidur dan makan pada akhirnya berimbas pada turunnya kebugaran tubuh. Disiplin diri perlu dilatih kembali untuk ”membangkitkan” tubuh yang telanjur malas.
Imbauan bekerja dari rumah disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 15 Maret 2020. Selain itu, Presiden juga meminta masyarakat belajar dan beribadah dari rumah. Tujuannya agar penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 bisa ditekan.
Imbuan tersebut kemudian berkembang menjadi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). DKI Jakarta adalah wilayah pertama yang menerapkan PSBB selama 14 hari sejak 10 April 2020. PSBB kemudian diterapkan di wilayah lain, seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Bandung, dan Tegal.
Maggie (24), karyawan swasta dari Tangerang, merupakan salah satu orang yang harus bekerja dari rumah. Kebiasaan baru ini mulanya dijalani dengan baik oleh Maggie. Namun, setelah sebulan bekerja di rumah, pola kehidupannya kini bergeser. Waktu bekerja dan istirahat acap kali bercampur.
Hal ini bermula dari kebiasaan bangun tidur yang berubah. Pada kondisi normal, ia terbiasa tidur pukul 21.00, bangun pukul 04.30, lalu berangkat bekerja ke Jakarta dengan kendaraan umum. Selanjutnya, ia bekerja pukul 07.30-16.00 diselingi dengan jam istirahat pada siang hari.
”Ritme hidupku sekarang berubah banget. Waktu untuk melakukan semua rutinitas itu sekarang sudah tidak jelas. Sejak WFH (work from home), jam tidurku bergeser ke pukul 24.00 dan bangun lebih pukul 08.00,” kata Maggie saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (21/4/2020).
Walaupun tampak remeh, perubahan pola itu membawa dampak besar bagi aktivitas harian Maggie. Ia kini melewatkan sarapan dan menggabungkannya dengan makan siang. Di sisi lain, perubahan ritme ini juga berdampak pada pola kerja Maggie. Pekerjaan yang semula dapat diselesaikan pada pukul 16.00 kini bergeser. Ia beberapa kali baru selesai bekerja pada malam hari.
”Beraktivitas tanpa waktu yang pasti itu ternyata tidak enak. Setiap hari tidur selalu larut dan saat bangun pagi, badan terasa capek. Waktu makan pun jadi tidak teratur,” katanya.
Perubahan ritme hidup juga dialami mantan karyawan bank, Iqbal (25). Selama dua minggu terakhir, waktu tidurnya bergeser menjadi pukul 02.00-03.00. Waktu bangun tidurnya juga menjadi semakin siang.
Kuncinya adalah manajemen waktu. Kalau ini waktunya bekerja, aku akan duduk di meja kerja. Kalau waktu bekerja selesai, aku akan istirahat. Aku berusaha konsisten dengan linimasa yang sudah kubuat.
Berada di dalam indekos sendirian membuat dia kehilangan motivasi untuk beraktivitas. Aktivitas fisik pun sudah jarang dilakukan. Hal ini berdampak pada kondisi fisik Iqbal. Ia kini sering menderita sakit kepala dan berat badannya naik 4 kilogram.
”Badan jadi terasa lebih berat dan mudah lelah. Upaya mengatur kembali pola hidup normal sudah pernah dilakukan, misalnya dengan tidur lebih cepat. Namun, itu hanya bisa bertahan sehari,” kata Iqbal.
Manajemen waktu
Kisah sedikit berbeda dialami Nadia Swastika (26), guru bahasa di sebuah sekolah dasar di Bekasi. Setelah sebulan menjalani WFH, perubahan yang ia alami adalah waktu bangun tidur menjadi sedikit lebih siang. Selebihnya, ia tetap bekerja sesuai jam kerja yang ditetapkan, yaitu pukul 08.00-16.00.
”Kuncinya adalah manajemen waktu. Kalau ini waktunya bekerja, aku akan duduk di meja kerja. Kalau waktu bekerja selesai, aku akan istirahat. Aku berusaha konsisten dengan linimasa yang sudah kubuat,” kata Nadia.
Kendati demikian, bekerja di rumah membuat Nadia kehilangan rutinitasnya. Berjalan kaki dari rumah ke kantor tidak lagi ia lakukan, begitu pula berjalan-jalan dari satu kelas ke kelas lainnya. Ia kini lebih sering menghabiskan waktu untuk bekerja di dalam kamar tanpa aktivitas fisik yang berarti.
”Badan jadi tidak segar karena jarang bergerak. Setiap hari hanya duduk di depan laptop. Karena itulah, aku berusaha jalan-jalan di kawasan perumahanku dan berjemur selama 15-20 menit,” kata Nadia.
Tidak siap
Psikolog Mira Amir mengatakan, pandemi Covid-19 berdampak pada perubahan perilaku setiap individu. Perubahan ini berlaku secara cepat dan masif sehingga tidak ada orang yang siap menghadapinya. Itu sebabnya perubahan ritme hidup harian kerap tidak dapat dihindari.
”Bekerja di rumah juga membuat kita kehilangan hal kecil yang biasanya dilakukan di kantor, misalnya berjalan ke ruang rapat atau menghampiri teman di meja kerjanya. Hal seperti itu membuat kita kehilangan rutinitas dan ritme kehidupan bisa bergeser. Tubuh perlu beradaptasi,” kata Mira.
Sementara itu, perubahan pola tidur, menurut Mira, terjadi karena individu merasa cemas. Kecemasan ini berkaitan dengan wabah Covid-19 dan akibat wabah yang berada di luar kontrol individu.
Perubahan ritme kehidupan tersebut perlu diperbaiki dengan disiplin diri. Hal itu dapat dimulai dari memperbaiki pola tidur. ”Untuk mencapainya, seseorang harus memiliki kematangan emosional dan kemampuan kontrol diri yang baik. Kedua aspek itu akan membentuk regulasi diri yang baik sehingga pola tidur bisa diperbaiki,” kata Mira.
Waktu bekerja dan istirahat pun perlu dibagi dengan baik. Menurut Mira, setelah seseorang bekerja atau belajar selama 52 menit, tubuh perlu istirahat sejenak selama 17 menit. Waktu istirahat dapat digunakan untuk meregangkan badan.
Mira pun menyarankan agar orang-orang membiasakan diri merencanakan kegiatan esok hari. Hal ini untuk mencegah otak membiasakan diri dengan kondisi rumahan selama PSBB. Dengan perencanaan, diharapkan seseorang bisa merasa antusias untuk menjalani hari.