Mereka Penuhi Panggilan Kemanusiaan
Di sekitar kita, dokter dan perawat bertaruh nyawa memenuhi panggilan tugas di tengah pandemi Covid-19. Sebuah ironi ketika sebagian dari mereka malah menanggung perundungan.
Di sekitar kita, dokter dan perawat bertaruh nyawa memenuhi panggilan tugas di tengah pandemi Covid-19. Sebuah ironi ketika sebagian dari mereka malah menanggung perundungan. Meski begitu, para pahlawan ini tak menyerah untuk merawat sesama.
Hartati B Bangsa tidak kuasa menahan air mata saat mendapati pasiennya di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, meninggal. ”Saya nangis sehari semalam. Itu pengalaman paling sedih selama di sini,” kata Koordinator Medical Support untuk Relawan Ikatan Dokter Indonesia itu, Rabu (22/4/2020), di Jakarta.
Sudah sebulan Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Umum Indonesia itu bertugas di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran. Hartati, yang biasa dipanggil Tati, harus memendam kerinduan untuk pulang.
Ketika ada pasien meninggal, beberapa pasien lain panik luar biasa sehingga harus ditenangkan. Padahal, para dokter sebenarnya juga harus mengatasi kerisauan terinfeksi Covid-19. ”Kami beradu dengan maut. Kesehatan terus dipantau dan kondisi saya masih baik,” kata Tati.
Keresahan dan risiko penularan itu dihadapi semua tenaga medis saat ini. Bahkan, keresahan juga menghinggapi tenaga medis yang tidak khusus bertugas di RS rujukan untuk pasien Covid-19.
Alat pelindung diri (APD) langka. Setiap hari, tenaga medis, apalagi yang menangani pasien Covid-19, harus mengenakan APD hingga delapan jam untuk menghematnya. Buang air kecil atau besar harus ditahan kalau mereka tak mengenakan diaper. Tangan yang kerap dilumuri antiseptik pun teriritasi.
Ellyda, perawat di RS swasta di Jakarta, sudah hampir dua bulan tak mengunjungi ayah, ibu, dan kakak perempuannya. Ia tak mau mereka tertular. Meski keluarganya juga tinggal di Jakarta, Ellyda tinggal di rumah kos tak jauh dari RS.
”Saya disuruh pulang karena itu RS non-rujukan dan tidak menangani korona (Covid-19). Akan tetapi, kita tak tahu juga apa yang dihadapi,” ungkap Ellyda yang bertekad menjaga diri dan keluarganya dengan tetap menjaga jarak.
Sementara Debryna Dewi Lumanauw memperpanjang tugasnya seusai menangani Covid-19 selama sebulan, Jumat (24/4). Dokter di Ambulans 118 dan Basarnas ini berniat melanjutkan masa baktinya hingga wabah usai.
”Jangan tanya kenapa lanjut karena gue juga enggak tahu,” kata Debryna ketika membagikan foto hari pertama ia kembali bertugas lewat Instagram-nya.
Debryna memakai masker N95 dan sarung tangan yang sama-sama dobel, topi bedah, kacamata pelindung, serta penutup tubuh keseluruhan tahan air. Alat itu pun dipenuhi selotip untuk menghindari lubang. Setelah bekerja, ia mandi dua kali di dalam mobil yang dilengkapi air dan area tukar APD.
Seorang dokter, Rusdi—bukan nama sebenarnya—yang bertugas di sebuah RS jauh dari Jakarta, juga memenuhi ”panggilan” seperti yang dilakukan Debryna.
”Sudah jalan-Nya aku ditempatkan di posisi ini,” kata dokter yang memilih untuk sementara tidak menemui istri dan anaknya ini.
Rusdi tak ingin identitas diri dan tempatnya bertugas disebutkan karena ia berada di lingkungan yang tak cukup kondusif mendukung dirinya.
Kenyataannya, di sejumlah kawasan di negeri ini, penanggulangan Covid-19 belum menjadi isu yang dengan kesadaran penuh ditangani bersama- sama oleh semua pihak, termasuk aparat pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Situasi seperti itu membuat Rusdi bukan satu-satunya dokter yang merasa tak aman. Bukan hanya tak aman dari risiko terinfeksi penyakit, melainkan juga dari potensi perundungan.
Negara maju
Tidak hanya di Tanah Air, dokter dan perawat di berbagai penjuru dunia, bahkan negara maju, pun bergelut dengan kecemasan. Dikisahkan The Washington Post (21/4), Jim Mullen, misalnya, mendaftarkan diri menjadi perawat sukarelawan di Bronx, New York, Amerika Serikat, sejak awal April 2020.
Pagi-pagi, Mullen sudah dihadapkan pada situasi mengerikan. Mesin pengontrol oksigen dengan alarm memekik di mana-mana dan pasien mengeluarkan darah dari mulut ke bahunya. Perawat sukarelawan baru ini disambut pimpinannya yang menyebut tempat itu ”lubang neraka”.
Di Meksiko, dokter dan perawat dibayangi ancaman persekusi. Dikutip dari The Guardian, setidaknya 21 tenaga medis telah diserang dengan tudingan menyebarkan Covid-19. Bahkan, mereka ditolak di restoran, pasar swalayan, dan angkutan umum.
Hal yang mirip terjadi di Indonesia. Stigma dan perundungan menghampiri mereka yang justru berjuang melawan Covid-19. Jenazah perawat RS Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, Jawa Tengah, yang hendak dikebumikan, ditolak warga. Perawat di beberapa kota juga diusir dari indekos.
Halik Malik dari Humas Pengurus Besar IDI menjelaskan, sekitar 9.000 dokter di Indonesia dilibatkan untuk menangani Covid-19. Sudah 24 dokter meninggal terkait dengan penyakit itu. Berdasarkan informasi Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 16 perawat juga meninggal karena diduga terinfeksi Covid-19.
Rasa kemanusiaan
Meski begitu, tenaga medis dan paramedis tak menyerah untuk tetap membaktikan diri dalam tugas kemanusiaan ini.
Koordinator Rekrutmen Relawan PB IDI Penanggulangan Covid-19 Bidang Hubungan Antarlembaga Putro S Muhammad mengemukakan, minat dokter menanggulangi Covid-19 amat tinggi. Tiap hari, ada dokter menghubungi PB IDI yang juga membuka pendaftaran secara daring. Pengunjung situs pendaftaran ini ribuan orang.
”Pandemi menggelitik rasa kemanusiaan. Kita adalah bangsa gotong royong. Setiap bencana terjadi, bantuan tanpa diminta sudah hadir. Terlebih bencana tak kasatmata ini. Memicu panggilan batin untuk terlibat,” katanya.
Sukarelawan medis ini juga terdiri dari perawat, radiografer, dan petugas analisis laboratorium. ”Rata-rata motivasi mereka bukan fasilitas. Malah, ketika diberi tahu dapat sekian rupiah, mereka kaget karena tak mengharapkan honor,” kata Putro.
Garda terdepan seharusnya bukanlah pekerja medis, melainkan masyarakat. Mereka diminta tetap di rumah dan memakai masker agar tak terpapar. ”Dengan demikian, kami tak menjadi tameng utama. Ketika sistem diaplikasikan, tentu beban tenaga medis berkurang,” ucapnya.
Sukarelawan medis dilengkapi konseling kejiwaan sejak kedatangan hingga selesai bertugas. ”Harus dipikir psikisnya. Banyak (sukarelawan medis) yang pulang ditolak, terutama di daerah. Diharapkan ada sosialisasi dari pemerintah,” kata Putro.
Merawat mental
Di dalam pergulatan merawat pasien, tenaga medis tak melulu bermuram hati. Mereka juga berusaha mempertahankan kesehatan mental dengan bersenda gurau, bernyanyi, memasak, dan tentu berolahraga.
Alexander Randy, dokter spesialis penyakit dalam di RS Khusus Daerah Duren Sawit, yang turut menangani Covid-19, misalnya. Ia mengusir jenuh dengan membaca buku, mengikuti kelas daring, dan bermain gim video.
Di RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, tenaga medis membuat roti, membawa gitar, bermain tenis meja, dan berkaraoke. ”Saya sebenarnya senang karaoke. Penginnya lagu ’Pamer Bojo’ dari Didi Kempot. Dangdut juga asyik,” kata Tati sambil terbahak.
Banyak yang hobi karaoke hingga Tati tak sempat memilih lagu kesukaannya itu. Tak masalah karena mereka bernyanyi bersama-sama. Kebersamaan meringankan beban dan menguatkan daya tahan.
Semangat Tati dan rekan-rekannya masih menyala. Mereka mengusung tekad untuk membawa kesembuhan bagi pasien-pasiennya. ”Memang ada kekhawatiran besar ketika diminta bertugas. Saya selalu wanti-wanti, mari masuk dan keluar bersama dengan sehat.” (IAN/DAY)