Ini Musik Dunia
Sebuah komposisi musik tanpa lirik itu menjadi musik instrumentalia. Ketika kelompok musik Cilay Ensemble mencipta komposisi musik dengan lirik hanya satu kata, mereka menyebutnya, ini musik dunia.
Sebuah komposisi musik tanpa lirik itu menjadi musik instrumentalia. Ketika kelompok musik Cilay Ensemble mencipta komposisi musik dengan lirik hanya satu kata, mereka menyebutnya, ini musik dunia.
Satu kata yang dimaksud, seperti yang dijadikan judul untuk komposisi lagunya, yaitu ”Muaro”. Ini dalam bahasa Minang, yang bermakna sebagai muara atau wilayah titik temu antara sungai dan laut.
Kelompok musik Cilay berbasis di Jakarta sejak 1987. Di saat pandemi Covid-19 ini, mereka diminta menampilkan komposisi lagu Muaro di kanal Youtube #budayasaya yang dikelola Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pertunjukan daring Cilay Ensemble dirilis pada Selasa (28/4/2020). Khusus untuk komposisi Muaro, baru-baru ini dinominasikan dalam Vox Pop Independent Music Awards 2020. Pengumumannya disampaikan pada 23 April 2020 di Amerika Serikat.
”Kami terkalahkan oleh Kanada dengan selisih tujuh poin saja,” ujar Cilay ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (30/4/2020).
Ketika komposisi Muaro dimainkan, tiga perempuan memegangi mikrofon layaknya penyanyi. Para pemusik lainnya sibuk memainkan alat musik masing-masing. Mereka memainkan rebana berukuran besar dan kecil, alat tabuh kendang, kibor, biola, dan sebagainya. Ada nuansa musik tradisi Minang atau Sumatera Barat yang rancak dan dinamis. Ada sentuhan warna musik modern yang silih berganti.
Sementara tiga perempuan penyanyi tadi tak kunjung menyanyi. Tiba saatnya mereka bersenandung dan melantunkan syairnya hanya dengan satu kata, yaitu muaro. Syair kata itu diulang-ulang tanpa kata lainnya. Setelah lantunan syair itu usai, kembali warna musik paduan tradisi Minang dan modern menggema. Di kanal #budayasaya mereka membawakan dua komposisi lagu lainnya, Maituang dan Gedebi. Seperti Muaro, keduanya memiliki keunikan sama, yaitu tanpa lirik.
Menurut Cilay, musiknya itu seperti minikata di dalam teater. Musik garapannya tidak membutuhkan lirik di dalam menyampaikan pesan-pesannya. Cilay menyebut itu genre world music atau musik dunia, musik hasil perpaduan alat-alat musik tradisi Nusantara dan modern Barat.
Ketukan
Di dalam pertunjukan daring #budayasaya, Cilay Ensemble menampilkan pementasan yang berbeda dibandingkan kelompok seni lainnya. Pertunjukan daring atau dalam jaringan itu dikemas untuk merespons pandemi Covid-19 dengan menjaga jarak sosial dan tetap di rumah.
Pertunjukan daring diharapkan melalui pementasan di rumah atau personelnya bermain secara terpisah-pisah. Kemudian tampilan audio dan visualnya dipadukan. Tetapi, Cilay Ensemble tidak bisa melakukan itu.
”Warna musik kami tidak memungkinkan untuk dimainkan secara terpisah-pisah. Walaupun kami bisa menggunakan partitur, saya khawatir dengan beat atau ketukan tidak bisa sama karena memiliki udara yang berbeda,” ujar Cilay.
Jumlah personel Cilay Ensemble sebanyak 14 orang. Permainan musik tabuh, seperti rebana dan kendang, cukup dominan untuk warna musiknya. Rebana biang khas Betawi atau rebana berukuran besar untuk menghasilkan nada rendah dimainkan cukup intens. Begitu pula rebana kecil dan kendang.
Untuk komposisi Maituang dan Muaro digunakan rekaman yang pernah dibuat tahun 2014. Mereka membuat rekaman baru untuk komposisi Gedebi. Komposisi Gedebi ditampilkan di dalam pertunjukan daring #budayasaya hanya rekaman audio. Diberikan ilustrasi visual tentang alam yang sunyi.
Kekuatan universal
Cilay kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia menempuh studi dan lulus dari Akademi Seni Karawitan Indonesia di Padang Panjang tahun 1986. Pada tahun itu pula sempat pentas di Vancouver, Kanada, untuk Music Minangkabau at Expo 86. Di tahun berikutnya, 1987, Cilay mulai mendirikan kelompok musik Cilay Ensemble yang bermarkas di Bukit Duri, Jakarta.
Cilay Ensemble memang menampakkan warna musik etnik Sumatera Barat yang dinamis dan rancak. Sentuhan gesekan biola dan melodi elektrik menciptakan keunikannya tersendiri.
Lirik yang minikata itu justru memberikan kekuatan yang universal. Cilay Ensemble sudah banyak diundang pentas di negara-negara lain. Di antaranya di tahun 1992, tampil di Austria untuk The Work of Music Festival Graz. Tahun 1993, tampil untuk The Work of Music at Festival Rudolstadt, Jerman.
Tahun 2000, Cilay Ensemble mengisi pentas Grand Opening Ceremonial Expo 2000 Hannover, Jerman. Tahun 2002, tampil untuk Musical Work Diaspora Music Village London, Inggris.
Baik komposisi Muaro, Maituang, maupun Gedebi ternyata memiliki pesan sama. Pesan itu seperti termaktub di dalam komposisi Muaro yang bermakna sebagai muara atau tujuan hidup manusia yaitu kehidupan abadi di akhirat nanti. ”Semoga komposisi musik kami ini membuat manusia sadar untuk melakukan hal-hal kebaikan di dunia ini. Itu bekal untuk kehidupan di akhirat nanti,” ujar Cilay.
Untuk judul, Maituang itu dalam bahasa Minang memiliki arti kata menghitung. Menghitung yang dimaksudkan di dalam memainkan komposisi ini adalah tentang motif musiknya.
”Sebelum menemukan judul komposisi musik ini, kami menghitung motif musiknya sampai 40 motif. Kami merekam di otak kami masing-masing, dan ketika selesai akhirnya kami memberi judul Maituang,” ujar Cilay.
Komposisi Gedebi ciptaan Cilay dan Mogan Pasaribu itu jauh lebih unik. Cilay mengatakan, kata ”gedebi” diciptakan tanpa arti. Namun, warna musiknya sama dengan dua komposisi terdahulu, yaitu tentang jalan akhir yang menjadi muara atau tujuan hidup manusia.
Melalui garapan Cilay Ensemble, musik menjelma menjadi dunia rasa dengan bahasanya tersendiri. Bahasanya melampaui kata-kata verbal. Bahasanya melampaui sekat-sekat sosial.
Konseptualisasi musik dunia ini selaras dengan seni kontemporer yang mengutamakan gagasan dan kontekstual kekinian. Di saat manusia menghadapi ancaman rasisme, musik dunia menjadi bahasa universal untuk menghentikannya. (NAWA TUNGGAL)