Lembaran kain dengan serakan pola di atasnya telah dikenal ratusan tahun silam. Melintas zaman, teknik menghias kain dengan ikat celup kini hadir sangat dekat dengan keseharian kita.
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK
·4 menit baca
Lembaran kain dengan serakan pola di atasnya telah dikenal ratusan tahun silam. Melintas zaman, teknik menghias kain dengan ikat celup kini hadir sangat dekat dengan keseharian kita. Bahkan, sekarang ini siapa pun bisa berkreasi dengan shibori.
Pada Pameran Shibori Indonesia-Jepang tahun 2018 disebutkan, shibori telah dikenal sejak abad ke-7 di Jepang, lalu menyebar ke seluruh dunia (Kompas, 21/10/2018). Sebenarnya di Indonesia pun telah dikenal teknik ikat celup (tie dye) untuk menghias kain semacam ini, seperti di Jawa dikenal sebagai jumputan atau di Kalimantan sebagai sasirangan.
Tekniknya kurang lebih sama dengan shibori ala Jepang, yakni kain diikat dengan berbagai cara, lalu dicelup ke dalam pewarna. Bagian yang diikat tidak akan terkena pewarna sehingga muncul berbagai corak yang indah.
Di Jepang, teknik shibori lebih kompleks dan kini tak lagi banyak orang yang mengerjakannya. Sebaliknya di Indonesia, ikat celup semacam itu justru banyak dikerjakan perajin dan pasarnya pun menjanjikan karena dibuat untuk pemakaian sehari-hari.
”Pembuatannya simpel, tidak memakan banyak waktu. Di masa tinggal di rumah seperti sekarang, membuat shibori bisa dilakukan untuk mengisi waktu,” ujar Deya Ayu Defrillia, pendiri dan Direktur Kreatif Seratan Studio, Selasa (21/4/2020).
Seratan Studio sering memberikan pelatihan membuat shibori untuk berbagai kalangan, dari perusahaan, komunitas, hingga ibu-ibu arisan. Deya, yang memiliki latar belakang pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Jakarta, awalnya membuat shibori untuk dipakai sendiri.
”Saya cari baju putih di rumah, seperti kaus dan kemeja, yang mulai menguning. Daripada dibuang, saya coba bikin dengan shibori,” katanya.
Dia menyarankan untuk memakai kain katun 100 persen karena lebih baik dalam menyerap warna. Kain dibersihkan dulu (mordanting) untuk membuka pori-pori kain agar warna terserap dengan baik.
Setelah itu, kita bebas berkreasi dengan desainnya. Untuk bentuk-bentuk yang sederhana, bisa dipakai kelereng, tutup botol, batu, biji saga, atau manik-manik. Isian itu kemudian diikat dengan karet, tali rafia, atau kalau ingin ikatan lebih tipis dan halus bisa memakai benang. Bisa juga kain dilipat lebih dulu baru diikat. Letakkan secara acak atau dengan pola tertentu.
Untuk bentuk-bentuk yang lebih kompleks, perlu cetakan khusus yang harus dipesan dulu. Bisa pula dengan bantuan alat, semacam pipa, penjepit, atau bilah kayu. Ada banyak teknik mengikat dalam shibori dengan beragam corak yang tercipta dari cara tersebut, seperti lingkaran, gelombang, geometris, dan jaring-jaring.
Kain yang telah diikat kemudian dicelupkan ke dalam pewarna. Pewarna bisa memakai pewarna sintetis atau pewarna alami dari indigo, kunyit, kayu secang, dan kayu tingi.
Warna kemudian dikunci (fiksasi) dengan tawas, ikatan dibuka, lalu kain dijemur hingga kering. Seluruh proses memakan waktu 2-3 jam.
Seratan Studio mengolah kain shibori ini menjadi beragam produk, yakni produk mode/fashion dan home decor. Produk mode antara lain kaus, luaran, selendang atau scarf, tas, dan aksesori. Adapun produk home decor berupa taplak, sarung bantal, dan hiasan dinding.
Eksperimen
Kaja Shibori di Yogyakarta juga memproduksi berbagai produk dari shibori, terutama untuk busana, seperti blus, kemeja, kaus, rok, celana, dan selendang, serta aksesori, seperti tas kecil (pouch) untuk kosmetik dan tas kepit (clutch) rajut berbalut shibori.
Untuk melengkapi teknik dasar yang sudah dikenal, pemilik Kaja Shibori, Heppy Kurniasari, mencoba bereksperimen dan berkreasi sendiri. ”Saya lihat video di Youtube atau berselancar di Google, lalu dikombinasikan dengan eksperimen sendiri, termasuk pengalaman suami saya saat menjadi sukarelawan trauma healing ketika gempa Yogyakarta pada 2006 dengan pelatihan jumputan,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta.
Sebelum berkecimpung dengan shibori, Heppy berjualan batik dengan kulakan dari tempat lain. Namun, dengan kulakan, dia sama sekali tidak bisa mengontrol proses dan hasil akhirnya. Setelah mencari-cari, dia terpikat pada shibori dan memulai usahanya pada 2014. ”Dengan shibori ini, saya setidaknya bisa mengontrol pembuatan kainnya,” imbuh Heppy.
Sebelumnya, Kaja Shibori membuat produk shibori yang warna-warni. Namun, permintaan banyak datang untuk kain shibori yang berwarna dasar biru. Kadang-kadang saja dia membuat shibori dengan warna merah, kuning, dan hijau.
Umumnya, warna biru gelap paling dikenal saat bicara tentang shibori. Warnanya sangat kontras dengan warna putih pada corak yang tertutup ikatan. Kini rentang warna biru yang bisa dipakai untuk shibori sangat luas, mulai dari yang paling gelap sampai paling terang.
Heppy tak jarang menggambar lebih dulu pola atau motif yang diinginkan untuk tercetak di atas kainnya, terutama untuk menghasilkan pola yang lebih rumit. Titik-titik mana yang diinginkan ada pola akan digambar atau ditandai agar polanya lebih tertata.
”Orang sudah semakin familiar dengan shibori, malah sudah banyak yang bisa membuat sendiri,” katanya.
Bahan-bahan yang diperlukan pun bisa ditemukan di sekitar rumah. Untuk pewarna, Heppy menyarankan untuk mencari yang mudah didapatkan di sekitar rumah juga. Di Yogyakarta, lanjut dia, tidak sulit mencari pewarna kain karena banyak pembuat batik di daerah tersebut.
Banyak pelatihan membuat shibori digelar, bahkan untuk anak-anak. Tak sekadar pengisi waktu di rumah, membuat shibori atau ikat celup ini bisa menjadi keterampilan tambahan. Apalagi jika ditekuni, kelak bisa berbuah menjadi usaha yang menghasilkan.