Masa pandemi Covid-19 membuka lembaran baru untuk sebuah parade tarian. Para seniman tari dari berbagai wilayah Nusantara tidak sekadar bergantian menyuguhkan pesona gerak tubuh secara virtual, tetapi menebar pula
Oleh
NAWA TUNGGAL
·4 menit baca
Masa pandemi Covid-19 membuka lembaran baru untuk sebuah parade tarian. Para seniman tari dari berbagai wilayah Nusantara tidak sekadar bergantian menyuguhkan pesona gerak tubuh secara virtual, tetapi menebar pula pemaknaan yang baik tentang pandemi di sepanjang parade tari jarak jauh ini.
Sebanyak 40 seniman tari terseleksi dari 233 pendaftar tampil dalam sebuah parade tari secara virtual di akun Youtube Budaya Saya selama lima hari berturut-turut, 27 April-1 Mei 2020. Ini mewarnai pertunjukan dalam jaringan atau daring yang dikelola Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
Seniman tari asal Bali, I Nyoman Krisna Satya Utama, pada hari kelima parade tersebut menampilkan karya koreografinya. Ruang sempit berbatas tembok di rumah justru menjadi inspirasi pengelanaan gerak tubuhnya.
Nyoman Krisna memberi telaah atas situasi pandemi untuk inspirasi karyanya yang diberi judul Cross. Baginya, kini tubuh tidak lagi mencari pengalaman baru di tempat yang jauh, tetapi membaca yang paling dekat, yaitu rumah. Rumah justru menjadi hal baru bagi tubuh.
Rumah itu tempat yang paling aman, di mana semua manusia membutuhkannya.
Seniman tari asal DKI Jakarta, Abdul Haris Kamaruddin Tallam, menghadirkan karya koreografi yang diberi judul Karung19. Seperti Nyoman Krisna, Abdul Haris menampilkan tarian dengan telaah tentang rumah sebagai tempat yang paling aman.
”Rumah itu tempat yang paling aman, di mana semua manusia membutuhkannya. Terkurung, sunyi, tetapi tetap terjaga,” ujar Abdul Haris.
Seniman tari asal Bali lainnya, I Ketut Gede Agus Adi Saputra, mempunyai sinopsis menarik untuk karya koreografinya yang diberi judul Jro. Ia menyinggung virus korona jenis baru atau Covid-19 yang menjadi wabah saat ini.
Ketut Gede mengutip nilai tradisi turun-temurun di Bali untuk menyikapi wabah atau gering-mrana tersebut.
”Wabah tidak boleh diumpat. Kalau diumpat, mereka datang berlipat,” ujar Ketut Gede.
Wabah harus dimaknai sebagai peluang untuk belajar menahan diri. Seperti berdiam di rumah, manusia menahan diri dan kembali belajar memupuk rasa saling menghormati seisi alam ini.
Ketut Gede menambahkan, wabah layak diberi penghormatan khusus ketika mereka datang. Di Bali, wabah dalam bentuk apa pun itu diberi sebutan jro.
Banyak lagi pemaknaan yang baik tentang wabah atau sikap mengisolasi diri di rumah selama masa pandemi Covid-19 ini. Seniman tari asal Jawa Tengah, Mugiyono, menampilkan karya koreografi yang diberi judul RuangMakan.
Mugiyono mengilustrasikan konsep karyanya itu tentang betapa ruang makan di rumah kini menjadi ruang penting untuk saling berkomunikasi secara fisik bagi setiap keluarga.
Sebuah tarian kehilangan daya tariknya ketika dimensi rasa dan makna itu hilang. Parade tari jarak jauh ini mempertontonkan semburan pemaknaan yang berharga dari para seniman tari. Mereka ada di parade tari pada akun Youtube Budaya Saya yang diberi tajuk ”Distance Parade – Streaming Online Dance Performance”.
Ruang
Tim kreatif memilih tema ”Ruang” untuk parade tari jarak jauh ini. Salah satu anggota tim kreatif untuk parade ini, Hartati, mengungkapkan, para seniman tari dibatasi setidaknya berusia 20 tahun dan diminta mengekspresikan diri secara bebas.
”Karya seni tari di dalam parade ini tidak dibatasi dengan nilai akar dan tradisi. Itu yang kemudian memicu perdebatan, lalu mempertanyakan gerak dan bentuk tari di parade yang kehilangan akar nilai tradisi,” ujar Hartati, mantan Koordinator Bidang Seni Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Nyaris setiap karya koreografi di dalam parade tari jarak jauh ini sebagai tarian kontemporer. Seperti di bidang seni lainnya, karya kontemporer mengacu pada dunia gagasan dan konteks atau pesan kekiniannya.
Karya-karya mereka memiliki itu semua. Bagi Hartati, bahkan sesungguhnya nilai dari akar tradisi tidaklah hilang. Namun, nilai itu bukan dari gerak dan bentuk tari tradisinya.
”Kepenarian tubuh peserta tetap terlihat masih diwarnai akar tradisi masing-masing. Tetapi, tubuh mereka sudah menjadi tubuh global yang tidak lagi mengedepankan bentuk dan gerak tari tradisi,” ujar Hartati.
Kepenarian tubuh peserta tetap terlihat masih diwarnai akar tradisi masing-masing.
Ketika mencermati satu per satu karya tari di parade itu, memang masih ada penampilan karya tari tradisinya. Seniman tari asal Lampung, Ayu Permata Sari, misalnya, menampilkan tari tradisi Tari Sigeh Punguten Semiyanak.
Ini jenis tarian tradisi untuk penyambutan tamu istimewa. Di dalam sinopsisnya, Ayu Permata menuliskan bahwa tarian ini biasanya ditampilkan di panggung besar. Tetapi, sekarang ditarikan di dalam rumah.
Biasanya, tarian ini disuguhkan untuk tamu-tamu terhormat. Kali ini tarian disuguhkan pula untuk orang-orang terhormat, yaitu orang-orang yang mau berdiam di rumah di masa pandemi Covid-19 ini.
Dari uraian Ayu Permata inilah bisa terlihat, dunia tari bukan lagi semata dunia hiburan atas bentuk dan gerak tubuh. Di situ ada pesan kontekstual.
Panggung pentas tari secara virtual ini juga memberikan berbagai kelebihan. Menurut Hartati, pementasan di panggung secara langsung paling banyak bisa menghadirkan sebanyak 300 penonton.
”Ketika dipentaskan secara virtual, ini bisa ditonton oleh ribuan orang di berbagai wilayah dunia,” kata Hartati.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disorot memberi kontribusi penting untuk pemerataan kesempatan pentas para seniman tari. Tidak mudah bagi para seniman tari dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menghadiri dan pentas di festival-festival yang ada.
Juga tidaklah sederhana untuk meraih kesempatan pentas di sebuah festival. Pentas tari secara daring untuk parade tari jarak jauh ini menjadi lembaran baru mereka. (NAWA TUNGGAL)