Menjaga Daya Pekerja Perantau Muda
Saka mengaku belum merasa stres hingga sejauh ini. Namun, ketika mendengar kabar dan isu nasional soal pemutusan hubungan kerja (PHK) yang merupakan imbas dari pandemi Covid-19, dia mulai khawatir.
Bagi karyawan perantau muda, bekerja dari rumah merupakan privilese di tengah pandemi Covid-19, penyakit yang disebabkan virus korona baru. Ada kerinduan kepada keluarga dan masakan rumah yang menghinggapi. Namun, mereka tetap mesti menjaga dayanya demi memberikan karya terbaik bagi usaha tempat mereka bekerja.
Pekerja perantau muda biasanya berada pada kelompok usia 20-30 tahun. Kelompok ini berada pada tahap permulaan karier dan memilih bekerja di wilayah yang berbeda dari tempat tinggalnya sehingga perlu menyewa hunian, seperti tempat kos.
Saka W (26), karyawan yang berkantor di Jakarta, bekerja dari kamar kosnya selama pandemi Covid-19. Dia berharap dapat pulang ke rumah orangtuanya di Jawa Timur. Namun, dia sadar betapa pentingnya pelaksanaan kebijakan pembatasan jarak fisik saat ini.
Panggilan video bersama keluarga menjadi rutinitas Saka setiap sepekan sekali. ”Kami saling menceritakan kehidupan kami masing-masing. Panggilan video juga membantu menjaga hubungan saya dengan teman-teman yang biasanya bertemu secara fisik,” tuturnya.
Saka mengaku belum merasa stres hingga sejauh ini. Hanya saja, dia masih melatih diri untuk tidak mudah terdistraksi saat bekerja dari kamar kosannya. Namun, ketika mendengar kabar dan isu nasional soal pemutusan hubungan kerja (PHK) yang merupakan imbas dari pandemi Covid-19, dia mulai khawatir.
Ketika mendengar kabar dan isu nasional soal PHK yang merupakan imbas dari pandemi Covid-19, dia mulai khawatir.
Semasa bekerja dari tempat kosnya, Tiara Annisaa (25), pegawai yang berkantor di Jakarta, turut mengandalkan panggilan telepon untuk melepas rindunya kepada rumah. ”Mungkin saat ini kita terbatas secara sosial. Karena teknologi, kita tetap bisa menjaga hubungan sosial dengan setiap orang,” katanya.
Ketika bekerja dari kamar kos, Tiara berusaha menyadari tanda-tanda stres yang dialaminya. Jika dia sudah merasakan gejalanya, dia akan memasak, membereskan dan menyampul buku, olahraga ringan, atau mendengarkan lagu sambil bernyanyi.
Rentan
Tak hanya mengalami pembatasan pertemuan fisik, Industrial and Organizational Psychologist Ibunda.id Bunga Indira Artha menuturkan, karyawan muda yang bekerja dari tempatnya merantau juga mengalami keterbatasan interaksi dan komunikasi sosial, utamanya dengan keluarga. Hal ini membuat pekerja perantau muda rentan mengalami kesepian.
Situasi tersebut berpadu dengan stres akibat ketidakpastian rutinitas bekerja yang umumnya menghantui pekerja saat ini di tengah pandemi. ”Sebelum pandemi, rutinitas pekerja biasanya bisa diprediksi. Namun, pandemi menimbulkan perubahan yang dinamis sehinga memunculkan ketidakpastian,” kata Indira.
Di sisi lain, Indira memaparkan, pola komunikasi yang kini lebih cenderung secara dalam jaringan (daring) dapat memicu stres bagi pekerja. Stres itu muncul lantaran berkurangnya impuls-impuls komunikasi yang biasanya diterima melalui panca indra dan diproses oleh otak.
Untuk mengatasi kondisi tak mengenakkan itu, Indira menyarankan pekerja untuk tetap berpatokan pada pola rutinitas selama sebelum pandemi Covid-19, termasuk jadwal tidur dan istirahat. ”Kita perlu menyadari aktivitas-aktivitas dan pola kebiasaan kita seperti apa. Disiplin diri mulai dari kesadaran diri,” katanya.
Dalam proses bekerja, skema 45 menit dan 5 menit dapat diterapkan untuk menunjang produktivitas pekerja perantau muda. Adapun 45 menit dialokasikan untuk fokus bekerja dan 5 menit untuk istirahat, lalu diulang hingga pekerjaan selesai. Keluar kamar dapat menjadi pilihan aktivitas selama istirahat 5 menit itu.
Guna menekan stres akibat berkurangnya impuls yang diterima panca indra, karyawan dapat menyediakan wewangian atau aromaterapi saat bekerja. Memasak juga dapat menjadi terapi bagi panca indra selama pandemi Covid-19.
Dari segi perusahaan, Indira menyarankan, penanggung jawab sumber daya manusia (SDM) beserta pekerja dengan jabatan yang lebih senior memperhatikan karyawan muda perantau dan melakukan pendekatan pribadi secara afektif.
”Bagaimanapun juga, karyawan-karyawan itu tetap menjadi bagian yang menjaga kelangsungan hidup perusahaan dengan keterbatasan masing-masing,” ujarnya.
Indira menggarisbawahi, kebijakan bekerja dari tempat tinggal sering kali membuat jam kerja tak berarturan, bahkan lebih dari 8 jam sehari. Dalam hal ini, perusahaan perlu menciptakan ruang diskusi dengan karyawan terkait kesediaannya untuk bekerja dengan jam kerja tak teratur tersebut. Apabila terlalu berlebihan, perusahaan dapat mendiskusikan bersama karyawan terkait penggantiannya dengan libur.
Strategi pengelolaan keuangan pekerja perantau berbeda dengan karyawan yang bekerja dari rumah. ”Pekerja perantau ini mesti lebih disiplin dalam mengelola uang agar dapat bertahan hidup. Apalagi jika pendapatan mereka terdampak, seperti adanya pemotongan gaji,” kata Financial Expert Halofina Mohammad Teguh.
Pekerja perantau ini mesti lebih disiplin dalam mengelola uang agar dapat bertahan hidup. Apalagi jika pendapatan mereka terdampak, seperti adanya pemotongan gaji.
Harga sewa tempat tinggal, menurut Teguh, perlu menjadi sorotan utama. Apabila karyawan perantau itu merasa uang sewanya terlalu mahal jika dibandingkan dengan pendapatannya selama pandemi Covid-19, disarankan untuk segera mencari dan pindah ke tempat tinggal yang lebih murah.
Untuk disiplin secara pengeluaran, para karyawan perantau ini perlu memiliki gaya hidup minimalis yang sarat dengan penghematan dan prioritas pada kebutuhan primer.
”Misalnya, untuk makanan sehari-hari. Kita bisa masak bersama-sama di kosan untuk makan beramai-ramai. Kebiasaan ini dapat menghemat 50 persen dari alokasi dana makanan kita,” ujarnya.
Menjaga nutrisi
Menjaga kesehatan melalui nutrisi makanan sehari-hari mutlak turut menjadi kewajiban pekerja perantau. ”Konsumsi makanan dan minuman yang bergizi dan bernutrisi membuat seseorang tetap sehat, produktif, bugar, dan terhindar dari potensi terkena penyakit tak menular,” kata Tan Shot Yen, dokter sukarelawan dari Wahana Visi, saat dihubungi, Senin (11/5/2020).
Karyawan perantau ini dapat membuat menu makanan yang akan dimasak dan dikonsumsi selama sepekan. Tak hanya untuk menghemat, Tan juga menyatakan, memasak makanan sendiri dapat menjamin penggunaan bahan pangan yang segar, bersih, dan terjamin.
Baca juga: Obesitas Rentan Covid-19, Ini Tipsnya agar Tak Makan Berlebih Saat Bosan Selama Pembatasan Sosial
Pembuatan menu makanan itu perlu didampingi dengan rutinitas minum air delapan gelas sehari. Meski berada di kosan atau hunian sewa lainnya, pekerja perantau muda juga disarankan untuk beraktivitas fisik minimal 30 menit per hari.
Tak hanya psikologis, keuangan, dan kesehatan, ruang juga perlu siasat tersendiri bagi pekerja perantau. ”Ruang dan manusia saling berhubungan. Ruang akan berubah sesuai dengan kebutuhan manusia. Bahkan, ruang pun memengaruhi mood manusia,” kata Ketua Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII) Muda Jawa Barat Eljihadi Alfin.
Baca juga: Enggak Bisa Piknik? Wisata Virtual Dulu Aja Yuk!
Dengan kata lain, ketika aktivitas kerja berpindah ke kamar, utamanya kosan, perlu penyesuaian penataan. Hal ini disebabkan adanya tambahan fungsi dari ruang yang sebelumnya hanya sebagai tempat istirahat.
Dalam menyiasati ruang, Eljihadi menyebutkan, menyeleksi barang yang ada di dalam ruangan dan mengeluarkan yang tak terpakai menjadi langkah pertama. Setelah melihat ruangan agak lengang, karyawan perantau dapat memperkirakan penataannya sesuai dengan pola rutinitas dan aktivitas pekerjaannya.
Baca juga: Olahraga di Rumah Saja!
Bagi yang tinggal di tempat kos, disarankan untuk memanfaatkan ruang vertikal dan langit-langit kamar dengan memasang ambalan-ambalan guna meletakkan barang. Jika memungkinkan, letakkan barang yang berkaitan dengan hobi di dekat alat kerja untuk dimanfaatkan saat beristirahat sejenak.
Pekerja perantau muda membutuhkan asupan jiwa dan emosi yang berbeda jika dibandingkan dengan yang bekerja dari rumah. Namun, perbedaan itu dapat dilalui dengan empati dan komunikasi sehingga setiap pribadi mampu saling bergandengan tangan dalam menjaga daya untuk menghadapi tantangan perekonomian akibat pandemi Covid-19.