Galeri di Aplikasi Gawai
Masa pandemi Covid-19 merangsang normal baru dan menghadirkan inovasi-inovasi baru. Di bidang seni rupa, inovasi baru itu ditandai munculnya aplikasi gawai layaknya seperti gim.
Masa pandemi Covid-19 merangsang normal baru dan menghadirkan inovasi-inovasi baru. Di bidang seni rupa, inovasi baru itu ditandai munculnya aplikasi gawai layaknya seperti gim, tetapi diubah menjadi ruang pamer atau galeri virtual: The Cube Virtual Space.
Aplikasi itu hasil kerja kolaborasi Rega Octavian, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, dan Nala Nandana, salah satu dosen di universitas tersebut. Mereka menciptakan aplikasi The Cube Virtual Space dengan versi Android dan Windows yang membutuhkan ruang memori 150 MB.
Aplikasi ini sudah digunakan untuk pameran virtual pertama kali dengan tajuk pameran ”Kita Hari Ini”, dan dirilis pada 15 April 2020. Ketika menelusuri ruang pamer virtual itu, kita bisa menyaksikan sekitar 90 lukisan dari 70-an perupa muda terutama asal Bandung.
Karya-karya itu seolah-olah ada di dalam sebuah galeri dengan tiga lantai. Setiap lantai galeri virtual ini juga terbagi ke dalam berbagai ruang. Untuk berpindah lantai, seperti layaknya di dalam sebuah gim, kita harus mencari dan menaiki tangga yang tersedia.
Tidak hanya lukisan yang bisa disaksikan. Di salah satu ruang bisa dijumpai video. Kali ini isi video mencantumkan nama-nama peserta pameran.
”Ketika memasuki The Cube Virtual Space, kita seperti memasuki sebuah rumah. Untuk melihat-lihat isinya, terserah kita untuk memasuki setiap ruang yang ada,” ujar Rega, seusai menjadi pemateri diskusi Seputar Virtual—Nuart Talks, Selasa (12/5/2020), yang menggunakan fasilitas Zoom.
Berapa lama waktu mengunjungi galeri virtual itu juga terserah kita. Rega melihat di saat-saat tertentu para penikmat karya lukisan di suatu galeri membutuhkan situasi kesendirian.
Di ruang pamer virtual The Cube inilah, kesendirian dalam menikmati lukisan yang seolah-olah ada di galeri bisa ditemukan. Namun, Rega tengah menggagas inovasi baru lainnya untuk menciptakan avatar atau sosok imajinatif yang bisa dihadirkan dan diajak bercakap-cakap di ruang pamer virtual tersebut.
Rega juga mengolah kemungkinan menghadirkan augmented reality atau realitas tertambah untuk materi yang dipamerkan. Ini sesuai tren yang sudah berkembang belakangan ini.
Karya dengan realitas tertambah tidak semata-mata menawarkan keindahan yang ditangkap indera mata kita. Dengan menggunakan aplikasi lensa gawai di situ secara virtual karya bisa ditangkap dan berubah dari bentuk aslinya. Ini memberikan pengalaman baru untuk menikmati karya seni rupa.
Normal baru
Nala Nandana yang juga pengajar Program Studi Film dan Televisi pada Fakultas Pendidikan Seni Desain UPI memperkirakan inovasi The Cube menjadi salah satu masa depan seni penciptaan dan mengisi normal baru seusai pandemi Covid-19 nanti.
”Di kemudian hari, setiap perupa atau seniman bisa menciptakan sendiri ruang pamer virtual seperti ini. Kemudian seni virtual lainnya bisa berkembang,” ujar Nala.
Seni media baru sudah memperkenalkan karya seni rupa virtual. Berbeda dengan karya seni rupa konvensional seperti lukisan atau patung, karya seni rupa virtual tidak hadir secara fisik.
Jika lukisan bisa ditempelkan di dinding, patung bisa dipajang untuk mengisi ruang. Karya seni rupa virtual tidak bisa diperlakukan sama seperti itu.
Nala memberikan pewacanaan menarik. Ini merespons gejala karya seni rupa konvensional sekarang memasuki dunia komersial virtual, tak ubahnya barang-barang komersial lainnya. Misalnya, karya seni rupa dalam bentuk foto lukisan atau patung dipasarkan melalui jaringan internet.
”Konteks karya seni rupa virtual itu berbeda. Ini bisa dilihat salah satunya pada proses jual-belinya sebagai karya digital,” ujar Nala.
Karya seni rupa virtual belum menjadi realitas. Nala mencontohkan seperti pertunjukan video mapping sebagai karya seni instalasi pertunjukan sebagai hasil pengembangan karya seni virtual.
Kurator BDG Connex Rifky Effendy di dalam diskusi itu memaparkan program pameran karya seni rupa secara virtual dengan metode lainnya di Bandung. Seperti di galeri Orbital Dago yang dikelolanya, pameran virtual dikelola dengan memanfaatkan media sosial Instagram yang diberi tautan katalog elektronik.
”Para perupa membutuhkan keberlangsungan proses dari setiap karya mereka,” ujar Rifky.
Arisan karya
Inovasi baru lainnya juga hadir dalam bentuk cara penyajian karya seni rupa yang berbeda. Seperti program Arisan Karya yang diselenggarakan Museum Macan (Modern and Contemporary Art in Nusantara) di Jakarta. Arisan Karya edisi pertama diselenggarakan pada 29 Mei 2020.
Setiap peserta pendukung diwajibkan membayarkan uang senilai Rp 1 juta untuk mendapatkan satu dari 100 karya lukisan seniman diundang maupun partisipan. Museum Macan membuat undangan terbuka, selain menawarkan undangan partisipasi kepada sejumlah seniman.
Saat ini diperoleh sekitar 900 karya dari 430 perupa yang berasal dari beberapa daerah. Dari situ, ditentukan sebanyak 100 karya untuk Arisan Karya edisi pertama ini. Setelah konferensi pada 15 Mei lalu, 100 karya itu bisa dinikmati publik melalui situs www.shop.museummacan.org.
Pada 29 Mei 2020 dikocok penentuan perolehan karya bagi setiap pendukung yang telah membayarkan uang senilai Rp 1 juta itu. Kegiatan ini layaknya sebuah arisan yang masih cukup populer di kalangan masyarakat kita.
Di waktu hampir bersamaan, pameran karya seni rupa secara virtual dilangsungkan Yusuf Susilo Hartono. Mantan jurnalis ini memanfaatkan program Zoom dalam jaringan internet untuk menyajikan video karya yang memuat sekitar 70 sketsa dalam pameran yang diberi judul ”Move On”.
Seperti layaknya pameran konvensional, Yusuf mengundang banyak tamu untuk hadir secara virtual. Kurator Citra Smara Dewi menyampaikan catatan kuratorialnya tentang perjalanan Yusuf sebagai jurnalis yang menyempatkan diri membuat sketsa di beberapa peristiwa.
Figur dinamis seorang balerina ditampilkan pada bagian-bagian awal. Sketsa-sketsa Yusuf ini memang terlihat dinamis. Yusuf menghadirkan pula sketsa-sketsa yang lugas untuk figur-figur yang menggunakan masker atau penutup mulut. Ini merespons situasi pandemi Covid-19 saat ini.
”Pameran Move On ini untuk mengirim pesan agar kita memiliki semangat yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya,” ujar Yusuf.
Sri Hartini, sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, membuka pameran virtual karya Yusuf ini. Di dalam sambutannya, Sri Hartini mengungkapkan, institusinya telah memfasilitasi beragam pameran dan pertunjukan seni secara daring atau dalam jaringan internet untuk pandemi Covid-19 ini. Setidaknya, sejak April 2020 hingga sekarang sudah ada 86 program yang di antaranya ditayangkan lewat kanal Youtube Budaya Saya.
Pameran karya beragam seni secara virtual itu sekarang tengah menjajaki kemungkinan baru untuk menjadi normal baru. Di tengah pandemi Covid-19 inilah keberlangsungan karya seni menemukan jalannya sendiri.