Kasih Putih di Hari Fitri
Tradisi Lebaran berupa mudik hingga mengenakan busana senada dalam suatu keluarga kali ini tak ada lagi. Pandemi Covid-19 mengubah kebiasaan, yang lebih rekat dengan kepentingan diri dan duniawi itu
Tradisi Lebaran berupa mudik hingga mengenakan busana senada dalam suatu keluarga kali ini tak ada lagi. Pandemi Covid-19 mengubah kebiasaan, yang lebih rekat dengan kepentingan diri dan duniawi itu, ke arah kesadaran saling berbagi. Idul Fitri kali ini kembali pada esensi.
Waktu berbuka masih jauh, tetapi Reni Prima Castri (33) sibuk menyendok kolak pisang dari panci untuk dimasukkan ke dalam plastik, yang nantinya dimasukkan dalam paket nasi kotak. Di teras rumah, sang suami dengan tekun menimbang beras setiap 2,5 kilogram yang dialokasikan untuk zakat fitrah.
Malam takbiran tahun ini tak ada anak-anak bertakbir keliling karena anjuran untuk bertakbir di rumah masing-masing. Oleh karena itu, keluarga kecil ini berencana berkeliling untuk membagikan paket nasi kotak dan zakat kepada tetangga sekitar yang membutuhkan, sebagian tunawisma, dan tukang becak yang dijumpai di jalan.
”Sama sekali, aku enggak nyiapinprintilan Lebaran kayak tahun-tahun sebelumnya. Apalagi baju seragam, wes ora mikir. Seadanya saja. Malah kepikiran orang-orang yang sekarang ini buat makan saja susah, kan. Juga beberapa pegawaiku yang jangan sampai berkurang penghasilannya,” ungkap Reni yang merupakan seorang wirausaha di bidang busana muslimah, Sabtu (23/5/2020).
Hal serupa juga dilakukan seorang pegawai negeri, Fitri Permanasari (33). Dia membatalkan rencana mudik ke Yogyakarta berlanjut hingga Madura dengan mengendarai mobil pribadi seperti tahun-tahun sebelumnya. ”Sekitar 75 persen anggaran mudik dialihkan untuk berderma setelah tahu enggak akan mudik. Apalagi baju Lebaran, enggak beli sama sekali. Anak-anak juga dikasih pengertian,” ujar Fitri yang menetap bersama suami dan kedua anaknya di kawasan Cibubur.
Meski naik kendaraan pribadi, ongkos mudik biasanya tetap tinggi. Belum lagi menyiapkan ”salam tempel” untuk keponakan yang jumlahnya banyak. Kebutuhan membawa buah tangan untuk orangtua dan rekan kerja di Jakarta juga merupakan anggaran tersendiri.
Alokasi dana tersebut, lanjutnya, beralih untuk disumbangkan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan saat ini. Sumbangan itu pun mulai dia berikan sejak April hingga jelang Lebaran. ”Selama masih begini, rasanya enggak ada salahnya untuk terus menyisihkan buat orang yang lebih perlu. Paling enggak untuk lingkungan sekitar,” kata Fitri.
Begitu pula dengan keluarga Yulia Rachmawati (28) yang tinggal di kawasan Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat. Keluarga ini memilih merayakan Lebaran dengan sederhana. Tidak ada open house, tidak ada juga baju dan mukena baru. Kue-kue kering dan hidangan Lebaran, seperti sayur pepaya, opor, rendang, dan ketupat, pun secukupnya saja. Hanya untuk konsumsi keluarga.
Sebagai gantinya, tahun ini Yulia dan keluarga, termasuk kedua orangtuanya yang tinggal bersama di Rawalumbu, mengalokasikan lebih banyak dana untuk bersedekah dan berbagi dengan sesama. Salah satunya diambil dari pos dana open house dan pos dana tunjangan hari raya yang biasanya dibagikan untuk keluarga besar.
”Kalau aku pribadi memang ada (alokasi) untuk keluarga di daerah yang memang perlu. Terus juga di lingkunganku itu ada yayasan keagamaan yang bantu menyalurkan ke orang-orang yang tidak mampu, terutama yang terdampak covid. Jadi, kami berikan ke sana juga,” kata Yulia, Selasa (26/5), di Bekasi.
Selebihnya, Yulia secara rutin membantu kurir-kurir ekspedisi yang kerap mengantar barang ke rumahnya. Begitu juga pengemudi ojek daring. ”Sejak di rumah, kita jadi sering banget kirim-kirim barang. Jadi, sekalian bisa bantu juga,” kata Yulia yang juga ikut menggalang dana di lingkungannya untuk membantu penjagaan selama karantina.
Menemukan kemanusiaan
Tak hanya di Tanah Air, Olenka Priyadarsani (39), warga Indonesia yang tinggal di Crawley, Inggris, mengungkapkan, Ramadan dan Lebaran tahun ini ada yang hilang, tetapi ada juga hal yang ditemukan.
”Membuat kita berpikir lebih jauh dari hanya memakai baju seragam atau mencari tempat untuk reunian. Kita dipaksa memikirkan umat, memikirkan tetangga sebelah yang kekurangan, kawan yang kehilangan pekerjaan, membantu orang yang tak dikenal. Kita diberi kesempatan mengeluarkan zakat berlipat. Kita diberi kesempatan untuk bercumbu dengan hal-hal surgawi,” tuturnya.
Waktu Idul Fitri biasanya juga digunakan orang untuk mengeluarkan zakat mal (harta), selain zakat fitrah. Kali ini, menurut Olenka, lebih mudah dilakukan karena penerima zakat jauh melonjak. Di Inggris, imbuh dia, sejak awal pandemi, beberapa masjid berkomitmen menyalurkan zakat dan sedekah khusus untuk mereka yang penghasilannya terdampak Covid-19.
Dia menuturkan pengalaman ketika Ramadan dan perlu keluar rumah untuk berbelanja kebutuhan harian. Dia melihat tunawisma di emper toko. Karena kasihan, dia ulurkan selembar uang sekian poundsterling. ”Si bapak terpana. Mungkin biasanya orang kasih uang receh. ’Kamu yakin? Tuhan memberkatimu, sayang!’ katanya. Hari itu saya rasanya mantap saja. Pas ambil uang di ATM, pas puasa, pas juga si bapak penampakannya enggak seperti tunawisma junkies,” tuturnya.
Pandemi, bagi Olenka, mengajarkan dirinya tentang kesederhanaan. Bahwa barang mewah, mobil keren, dan baju bermerek sama sekali tidak penting. Selama masih ada atap dan makanan, selain keluarga tentunya, sudah cukup membuat bersyukur.
”Rasanya malu kalau kita masih hidup bermewah-mewah. Tidak sampai hati. Uang yang biasa mengalir untuk beli baju baru, acara halalbihalal, dan berbagai macam hidangan dialokasikan untuk donasi serta sedekah kepada keluarga, tetangga, teman, bahkan orang asing yang membutuhkan,” kata Olenka.
Antusiasme orang untuk berbagi dirasakan nyata oleh Rusdi (48) yang 18 tahun bekerja sebagai satpam di RW 014 kompleks Bukit Cinere Indah, Depok, Jawa Barat. Di saat pandemi ini, Rusdi justru merasa dilimpahi berkah.
Ketika Lebaran lalu, ia tak menyangka masih mendapatkan tunjangan hari raya penuh satu bulan gaji ditambah ”uang ketupat” dari 189 warga kompleks, yang jumlahnya malah lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya.
Tak hanya uang, Rusdi beserta 11 satpam dan petugas kebersihan juga memperoleh bahan pokok hingga kue-kue dari warga kompleks. ”Tahun lalu, uang ketupat terkumpul Rp 83 juta, sekarang Rp 94 juta. Setiap satpam dapat Rp 5,5 juta. Malah ada saja warga yang masih transfer sumbangan, padahal sudah lewat batas waktu,” kata Ketua RW 014 Syarifuddin Syahri.
Bagi Rusdi, kedermawanan warga itu di luar dugaan. Ia tak berharap berlebihan di masa seperti ini. ”Sebab, semua orang juga sedang susah sekarang. Apalagi, di sini banyak yang pensiunan. Kami benar-benar terima kasih kepada warga,” kata Rusdi.
Gerakan dunia
Fenomena ini sebelumnya juga terjadi di Wuhan, China, saat perayaan Tahun Baru Imlek pada akhir Januari 2020. Dikutip dari situs berita daring China, Global Television Network, donasi daring melonjak hingga 71 juta yuan pada malam tahun baru tersebut. Kala itu, masyarakat di Tiongkok juga gagal pulang kampung untuk merayakan tahun baru bersama keluarga karena aturan lockdown.
Pada Paskah pertengahan April lalu, perayaan juga tak semarak seperti biasa. Namun, warga dunia, seperti di Hongaria, Kanada, Amerika Serikat, dan Perancis, tetap merayakan dengan menyumbangkan makanan ke shelter bagi para tunawisma.
Mengacu pada survei McKinsey & Company yang dilakukan kepada 711 responden pada 25-26 April 2020, 67 persen menyebutkan sedang memangkas pengeluaran pada masa pandemi ini. Uang yang dikeluarkan juga lebih pada kebutuhan pokok, bahkan 67 persen mengaku mengurangi pembelian pakaian.
Sementara itu, dari data milik Kitabisa.com, pelantar urun dana daring di Indonesia, terjadi kenaikan nyata dalam gerakan donasi di masa pandemi. Psikolog dari Universitas Indonesia, Bagus Takwin, pun berpendapat gejala sosial di tengah masyarakat ini merupakan sesuatu yang positif. Bahkan, tanpa disadari, antusiasme berderma juga dapat melepaskan tekanan dalam diri selama menghadapi pandemi.
”Efek dari membantu sesama memunculkan kebahagiaan. Saat melihat orang yang dibantu merasa senang, otomatis itu menular juga pada yang memberikan. Ini berguna sekali di masa seperti ini saat orang mudah merasa stres yang malah dapat mengganggu imunitas,” kata Bagus.
Pada akhirnya, makna kemenangan yang sejati dari Lebaran adalah lebur dalam jalinan kebersamaan tak bersekat atas nama kemanusiaan. Makna ini pun kian terhidupi di masa pandemi.