Pameran Seni Bersiap untuk Memasuki Dunia Baru
Kapan berakhirnya masa pandemi Covid-19 masih belum menentu. Ancang-ancang ke situasi baru pun tak terelakkan. Di bidang seni rupa, Galeri Nasional Indonesia
Kapan berakhirnya masa pandemi Covid-19 masih belum menentu. Ancang-ancang ke situasi baru pun tak terelakkan. Di bidang seni rupa, Galeri Nasional Indonesia, misalnya, sudah membuat ancang-ancang untuk memasuki cara baru dalam menampilkan karya seni.
Pandemi Covid-19 memang mendorong pameran diselenggarakan virtual, tetapi juga memberi tantangan untuk kembali menghadirkan pameran karya seni rupa yang dapat dinikmati secara langsung.
Ini disampaikan Kepala Galeri Nasional Indonesia (GNI) Pustanto, Rabu (27/5/2020), melalui ruang virtual Zoom Webinar bertema ”Bicara Rupa: Penanganan Koleksi Selama Masa Pandemi”. Di ruang perbincangan itu, Pustanto ditemani konservator koleksi GNI, Jarot Mahendra.
Jarot mempertegas, menghadirkan pameran karya seni rupa secara langsung di tengah pandemi Covid-19 itu cukup beralasan. Ia menceritakan pengalamannya. Ketika mulai bergabung di GNI pada 2011, Jarot menjumpai jumlah pengunjung hanya mencapai angka sekitar 1.000 orang dalam setahun. Setelah itu sampai sekarang bisa melonjak 200 kali lipat menjadi 200.000 pengunjung dalam setahun.
Jarot pun berupaya menelisik. Dari berbagai agenda pameran yang digelar belakangan di GNI, banyak ditampilkan karya seni rupa kontemporer. Karya seni rupa kontemporer lebih memungkinkan untuk menarik publik hadir menikmatinya.
Di antara karya seni rupa kontemporer itu banyak yang bertumpu pada ajakan untuk ikut merasakan dan mengalami bersama. Jarot mendapati kenyataan itu dikuatkan lagi oleh sejumlah tamu dan pengamat seni rupa dari berbagai negara.
Menurut mereka, GNI yang berada di ibu kota negara sudah semestinya menghadirkan karya-karya seni rupa kontemporer. Karya-karya seni rupa klasik dan modern harus diperkuat di daerah untuk menunjang kekuatan karakteristik lokal. Apalagi jika karya itu terkait dengan tradisi setempat.
Demikian ragam alasan yang mungkin masuk akal juga bagi GNI untuk membuat ancang-ancang memasuki cara hidup baru di masa pandemi Covid-19 dengan menghadirkan kembali pameran karya seni rupa secara langsung. Protokol atau tata cara baru itu sudah dipersiapkan, begitu tutur Pustanto.
Kontaminasi
Protokol cara baru untuk sebuah pameran karya seni rupa yang dapat dihadiri secara langsung memiliki beberapa prinsip. Pada dasarnya, prinsip-prinsip itu menghilangkan kontaminasi terhadap segala sesuatu yang tidak menyehatkan koleksi karya dan manusia penikmat karyanya. Saat ini terutama tertuju kepada ancaman Covid-19, virus korona jenis baru itu.
Beberapa hal untuk menyehatkan koleksi karya ternyata bisa bertolak belakang dengan tujuan menyehatkan manusianya. Pustanto mengambil contoh dari hasil diskusinya bersama para arsitek galeri dan museum seni rupa sebelumnya.
Dalam situasi normal saja, ruang koleksi karya membutuhkan udara yang tetap atau stabil. Padahal, ruang yang menyehatkan manusia haruslah memiliki sirkulasi udara mengalir atau tidak tetap.
Kemudian koleksi harus dihindarkan dari paparan ultraviolet sinar matahari. Padahal, sirkulasi cahaya matahari jelas dibutuhkan manusia. Namun, setelah pandemi, kompromi yang dibutuhkan lebih dari itu. Wabah virus mematikan Covid-19 harus dicegah kemungkinan penyebarannya.
Hal pertama dalam protokol cara baru GNI adalah menjaga koleksi karya terbebas dari kontaminasi Covid-19. Misalnya, dengan menerapkan isolasi karya sebelum dipamerkan. Isolasi berdasarkan masa inkubasi Covid-19 atau virus jenis korona baru, yaitu selama 7-14 hari. Kemudian menciptakan lingkungan terbebas dari kemungkinan hidupnya virus tadi.
Penyemprotan disinfektan ruang koleksi karya dapat dilakukan sewaktu-waktu. Kelangsungan hidup Covid-19 saat ini masih dalam penelitian lanjut, tentu saja masih tetap mengkhawatirkan.
Jarot mengutip hasil penelitian dari Kanada, di antaranya virus korona jenis baru itu menjadi lebih kuat jika bertemu dengan ion logam Zn atau seng. Jika hal ini terjadi, bisa menyebabkan masa inkubasi virus bisa tahan lebih lama.
Kemudian sifat material koleksi karya turut menentukan keberlangsungan hidup virus tersebut. Koleksi karya dengan material organik, seperti kain kanvas, kertas, atau kayu, menjadi tempat hidup yang baik bagi Covid-19. Ini cukup mengkhawatirkan ketika dipamerkan secara langsung dan terkontaminasi Covid-19 dari pengunjungnya. Koleksi itu justru bisa menjadi media penyebaran Covid-19.
Dengan demikian, protokol baru bagi pengunjung juga ditentukan. Pengunjung yang memiliki risiko terpapar Covid-19 harus dihindari. Setiap karya yang dipamerkan juga tidak boleh disentuh pengunjung. Menurut Jarot, kondisi karya seni rupa yang terkontaminasi Covid-19 akan sulit dideteksi.
Protokol berikutnya, membatasi jumlah pengunjung. Secara otomatis, antrean secara fisik dihindari. Protokol baru GNI mempersiapkan mekanisme sistem tiket daring atau dalam jaringan. Untuk menghindari penumpukan di ruang pamer, pembatasan waktu kunjung ditentukan. Ada pula alur pengunjung masuk dan keluar ruang pamer. Publikasi selengkap-lengkapnya tentang materi pameran pun diupayakan dengan baik.
Pembatasan akses tidak hanya di ruang pamer. Di toilet, pembatasan akses diperlukan supaya tidak terjadi penumpukan di ruang sempit. Fasilitas cuci tangan dengan sabun dan air mengalir lebih diutamakan ketimbang penggunaan cairan pembersih tangan. Itu untuk menghindarkan residu kimia dari cairan pembersih tangan.
Residu cairan pembersih tangan itu bersifat asam atau basa. Residu ini akan terlepas di udara dan bisa menempel di mana saja, termasuk menempel pada karya yang sedang dipamerkan. Setiap koleksi karya membutuhkan derajat keasamaan yang netral. Jika tertempel residu cairan pembersih tangan yang bersifat asam atau basa tadi, tentu berdampak buruk.
Pameran virtual
Seiring perkembangan teknologi digital dan media sosial, pameran seni rupa secara virtual saat ini juga kian merebak. Institut Drawing Bandung, misalnya, menggelar Pameran Donasi Covid-19 ”Drawing” dan Cat Air di media sosial Instagram dan Facebook di sepanjang 21 Mei sampai 12 Juni 2020 nanti.
Pameran itu diikuti puluhan seniman. Kurator Galeri Pusat Kebudayaan Isa Perkasa memberikan catatan kuratorial untuk pameran ini. Isa menyinggung persoalan ekonomi bagi para perupa yang terdampak Covid-19. Alhasil, pameran itu dimaksudkan untuk penjualan karya dengan harga yang mudah dijangkau publik.
Pameran virtual Covid Affects Art 2020 yang menampilkan karya 150 seniman juga menarik. Ini serupa katalog digital yang bisa dinikmati publik dengan mudah lewat gawai.
Di situ kurator dan pengajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI), Mikke Susanto, memberikan catatan kuratorial tertanggal 18 Mei 2020. Mikke lewat tulisan ”Adab dan Tiada Kata Menyerah” itu menggelorakan semangat para seniman untuk tidak menyerah dengan adanya pandemi Covid-19 ini. Mikke menyebutkan, tidak ada hidup yang lebih indah jika tidak dijalani dengan seni.
Pameran virtual lain, bertajuk ”Art Quarantine”, bisa dijumpai di ruang media sosial, seperti Facebook. Akun seniman Rahardi Handining tertanggal 8 Mei 2020 mengunggah lukisan untuk pameran ini yang menyertakan karya dari 14 seniman.
Pameran-pameran virtual karya seni rupa itu sendiri sebenarnya bentuk adaptasi di masa pandemi Covid-19 sekarang. Seiring waktu, proses tersebut masih terus berkembang. Salah satu adaptasi berikutnya mungkin membawa pameran virtual itu kembali ke pameran langsung.
Yang dibutuhkan, cara-cara yang selalu baru untuk menyajikan dan menikmatinya dengan sehat dan aman.