Film Tari Pupuh Ranggawarsita
Film tari menawarkan hasil percakapan antara tubuh dan kamera. Bagian yang sangat terperinci atau hal detail menjadi kunci bahasa mereka.
Film tari menawarkan hasil percakapan antara tubuh dan kamera. Bagian yang sangat terperinci atau hal detail menjadi kunci bahasa mereka. Film tari Being a Prosecutor garapan sutradara Deny Ardianto dengan koreografer Otniel Tasman menebar daya pikat itu.
Film ini terinspirasi narasi pupuh atau puisi tradisional ”Serat Jayengbaya” karya pujangga Ranggawarsita (1802-1873). Dengan durasi sekitar 12 menit, inti narasinya dari salah satu petikan Dadi Jeksa atau Menjadi Jaksa (Being a Prosecutor).
Film tari ini dibuat pada Juli hingga Agustus 2019. Pernah ditampilkan di Solo, Jakarta, Bangkok, Barcelona, dan London. Menyusul 9 Juni 2020 ini, dijadwalkan untuk tampil dalam festival dua tahunan America Dance Film’s (ADF’s) Movies by Movers 2020 di Durham, Amerika Serikat.
Deny Ardianto mengaku, film tari belum sepopuler genre film lainnya. Namun, justru genre film tari ini menyimpan energi besar bagi Indonesia yang memiliki kekayaan jenis tarian dan nilai-nilai tradisi lokal.
”Film maker kita sebenarnya memiliki kekayaan visual dari ribuan jenis tarian tradisi yang tidak dimiliki bangsa lain,” ujar Deny Ardianto, dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jumat (5/6/2020).
Film tari berbeda dengan sebuah tarian yang ditampilkan kemudian direkam menjadi sebuah video atau film. Jika demikian halnya, itu menjadi film dokumenter sebuah tarian. Di dalam film tari, karya koreografi haruslah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pengambilan gambar secara detail oleh kamera.
”Selama karya koreografi diciptakan untuk kebutuhan kamera, itulah film tari,” demikian Deny mengurai ringkas.
Negosiasi antara sutradara dan koreografer atau penari mutlak diperlukan. Detail pengambilan visual menjadi hal utama dan kelebihan nilai artistik sebuah film tari. Namun, bangunan narasinya menjadi hal pokok lain yang tidak boleh dilewatkan.
Ambiguitas seorang jaksa
Film tari Being a Prosecutor memiliki bangunan narasi tentang ambiguitas seorang jaksa. Di dalam hukum modern, seorang jaksa menuntut terdakwa bersalah berdasarkan hasil kerja penyidikan polisi. Melalui pembuktian di persidangan, hakim kemudian memutuskan dakwaan tersebut.
Di film ini, di mana letak ambiguitas seorang jaksa? Deny menafsir ulang pupuh Dadi Jeksa secara bebas menjadi sebuah naskah. Kontekstual naskahnya dikaitkan dengan fenomena sosial yang sedang terjadi, yaitu fenomena penangkapan jaksa oleh polisi atas dugaan kejahatan mereka.
Menurut Deny, di dalam diri jaksa ada kemuliaan dan keluhuran profesi sebagai penjaga benteng keadilan. Namun, ada pula kerakusan yang membuat seorang jaksa memperjualbelikan hukum dan keadilan.
Di tangan koreografer Otniel Tasman, adegan naskah Deny dinegosiasikan. Otniel bertutur, narasi karya koreografinya menggambarkan seorang jaksa dalam ambiguitas rasa bersalah, kemudian jaksa itu menghukum dirinya sendiri. Otniel memerankan sebagai jaksa yang menuntut terdakwa bersalah dan harus dipenjara, padahal ia tahu terdakwa itu tidak bersalah.
Alkisah, Otniel menyadari kesalahan pada dirinya dan ingin menghukum dirinya sendiri. Ia membuat adegan menyeret sebuah peti jenazah ke makam. Ia menggali sendiri sebuah makam untuk menguburkan peti jenazah itu. Dan, Otniel bersemayam di dalam peti jenazah itu. ”Saya menyeret peti untuk memakamkan diri sendiri,” ujar Otniel.
Penafsiran bebas
Film tari Being a Prosecutor dengan ide penciptaan mengangkat basis narasi budaya tradisional Jawa, dengan ruang penafsiran yang dibebaskan.
Deny mengajak audiensi untuk saling berkomunikasi dan berdiskusi. Ia menawarkan ruang-ruang alternatif untuk dijelajahi dalam proses penciptaan karya seni.
Di awal tahun 2020, karya ini juga diundang untuk tampil di Frame Rush-A place for Screendance Film Festival di London, Inggris. Kemudian ditampilkan dalam (C)Screen-Spring Dancefilm Festival di Barcelona, Spanyol.
Pada September 2020, Being a Prosecutor dijadwalkan tampil di sebuah festival film tari di Hong Kong. Film ini hasil produksi skema Penelitian Penciptaan dan Penyajian Seni 2019 UNS. Deny melibatkan dosen peneliti lainnya, antara lain Bedjo Riyanto dan almarhum Putut H Pramana.
Deny juga melibatkan The Rockies Film untuk memproduksi film-filmnya. Saat ini mereka sedang disibukkan produksi film pendek yang juga mengambil inspirasi narasi berbasis nilai budaya tradisional Serat Centhini hasil gubahan Ranggawarsita pula.
Deny mempersiapkan judulnya, Morning Coffee. Narasi kontekstualnya dikaitkan kisah seorang wanita menyikapi pandemi Covid-19 dengan tetap berdiam diri di rumah.
Penafsiran bebas sebuah narasi bagi Otniel, memiliki keterkaitan dengan karya-karya sebelumnya. Properti peti jenazah di dalam film tari Being a Prosecutor juga pernah dipakai Otniel dalam karya Klinik Tusuk Konde, 9-11 Februari 2019.
Otniel membuat konsep karya seni itu dengan menempatkan dirinya sebagai dokter ahli jiwa yang membuka klinik psikiatri. Selama 2 x 24 jam Otniel menerima ”pasien” sebanyak 60 orang.
Setiap pasien dipersilakan masuk ke suatu ruang. Di situ Otniel menggunakan properti peti jenazah pula. Otniel duduk di dalam peti jenazah itu dan mempersilakan pasiennya juga masuk dan duduk di dalam peti itu bersamanya.
Layaknya seorang dokter ahli jiwa sungguhan, Otniel membuka konsultasi klinik kejiwaan. Kesepakatan untuk menjaga kerahasiaan dijalin sebelumnya.
”Di situ saya hanya bertanya dan mendengar. Saya melihat klinik Tusuk Konde memiliki manfaat bagi masyarakat yang membutuhkan sekadar untuk didengar,” ujar Otniel.
Di balik karya ini, Otniel menaruh pesan bahwa setiap orang bisa menjadi psikiater bagi dirinya sendiri. Keberadaan Otniel dan ”pasiennya” di sebuah peti jenazah bukan semata menghadirkan sensasi atau sebuah keseraman. Peti jadi simbol ruang kejujuran, ruang matinya kepura-puraan.
Begitu pula, peti jenazah di dalam karya film tari Being a Prosecutor. Otniel mengebumikan kepuraan-puraan, kebohongan, manipulasi, dan intrik, yang selama ini menguasai bidang hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya.