Kembali ke Jantung Rumah
Masa krisis membuat orang lebih memperhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuh. Alasan kesehatan dan keselamatan di masa mendatang mendorong mereka mengolah makanan sendiri dan menanam bahan pangan sendiri.
You are what you eat. Ungkapan tersebut seperti menemukan penegasan di masa pandemi Covid-19 ini. Banyak orang mulai memberikan perhatian lebih atas apa yang tersaji di atas piring. Pengejawantahannya menuntun kita kembali ke jantung rumah: dapur.
Daging ayam kampung utuh tampak berenang di atas kuah kekuningan berminyak. Lumuran cabai merah melapisi segenap sisi dagingnya. Terbayang rasa pedas yang menyertainya. Taburan kacang tanah goreng melengkapi penampilannya yang menerbitkan air liur.
Ayam betutu Gilimanuk, demikian kata pembuatnya, Nuran Wibisono (32). Sudah 15 cabai rawit, di samping cabai merah keriting, dan masih kurang pedas! Penulis ini memasak menu istimewa tersebut sebagai pamungkas dari tantangan yang dibuatnya, yakni 30 Hari Memasak untuk Rani, yang diunggah dalam blog pribadinya. Rani adalah istri Nuran.
“Ini sekalian untuk tantangan 30 Hari Menulis sebenarnya. Jadi, sejak awal Mei sampai akhir Mei saya memasak setiap hari,” tutur Nuran, Rabu (3/6/2020).
Sebelum pandemi, Nuran sudah sering memasak meskipun tidak setiap hari. Begitulah pembagian kerja rumah tangganya, karena dia hobi memasak sejak kecil. Saat wabah memaksa tinggal di rumah, dia pun semakin rajin memasak.
Setiap hari, menunya berbeda. Untuk sekali bersantap, bisa dua hingga tiga macam masakan. Di antaranya ada tumis buncis daging dan tahu cabai garam, penyet terung, soto banjar, ayam cola, quiche, rujak madura, oseng mercon, mangut pe, hingga pecel dan daging age.
Selain bisa menghilangkan stres saat “terkurung” di rumah karena ada kesibukan tambahan, memasak sendiri bagi Nuran juga lebih hemat. Yang terpenting, imbuh dia, memasak sendiri membuatnya lebih sadar akan apa yang dikonsumsi tubuh. Dia lebih perhatian terhadap kebersihan bahan makanannya, dari semula suka teledor.
“Yang agak sulit, menyesuaikan resep untuk dimakan berdua karena biasanya resep dibuat untuk 4-5 orang. Di masa krisis begini, membuang makanan adalah membuat kesalahan,” katanya.
Dia punya blog favorit untuk mendapatkan resep-resep, di samping buku masakan yang sudah dimiliki. Menelepon sang bunda untuk meminta resep juga dilakoni karena ibunya memiliki usaha katering.
Ketrampilan terbatas
Masa krisis akibat pandemi membuat orang, terpaksa atau tidak, untuk kembali ke dapur dan memasak makanan sendiri. Laman Deutsche Welle (24/4/2020) melansir artikel menggelitik, judulnya “Coronavirus pandemic reveals Germans’ poor cooking skills”. Artikel itu mengutip Federasi Industri Makanan dan Minuman Jerman (BVE) yang menyebutkan, kebiasaan warga Jerman mengandalkan makanan cepat saji atau makanan yang telah dimasak sebelumnya membuat ketrampilan memasak mereka terbatas.
“Orang terpaksa mengandalkan pengetahuan memasak mereka sekarang. Mereka berdiri di supermarket dan bertanya pada diri sendiri, ‘Oke, bagaimana aku membuat burger sendiri?’,” kata BVE General Manager Christoph Minhoff.
Orang kini mau tidak mau mengasah ketrampilan mereka bergelut di antara wajan, panci, dan bermacam bumbu. Seperti Erin Metasari, warga Tangerang Selatan, yang lebih sering memasak sejak 2,5 bulan lalu untuk meminimalkan pesanan makanan. “Banyak resep simpel di internet. Belajar otodidak saja. Seru, karena anak ikut membantu,” ujarnya.
Dia memasak, antara lain, egg sando, nasi liwet goreng, puding saus dalgona, dan udang goreng mentega. Ia paling suka egg sando, semacam roti lapis pakai telur, keju, dan kornet. “Semua meleleh di dalam roti. Bikinnya mudah, enak, dan kenyang,” ucap Erin.
Saat awal pandemi, Erin sempat membeli bahan makanan dari pasar tradisional. Ia lalu memesan kebutuhan tersebut secara daring atau di toko terdekat. Kemungkinan terdapat virus pada pesanan diantisipasi dengan menyemprot kemasan menggunakan disinfektan dan mencuci isinya.
Nurhidayat Bimantoro, warga Sidoarjo, Jawa Timur, punya banyak waktu senggang di rumah yang dimanfaatkan untuk memasak. “Sejak pertengahan April lalu, saya bekerja di rumah. Ada waktu untuk mencoba resep selain bikin masakan sehari-hari,” katanya.
Ia mencari resep di internet. Dia membuat puding, kue, steik, otak-otak, pecak terung, beef bowl, sup miso, dan kopi dalgona. “Favorit saya beef bowl. Anak-anak bilang enak. Rasanya seperti masakan di restoran,” katanya.
Selain berhemat, mereka bisa makan dengan porsi lebih banyak. Bahan-bahan yang dibeli dicuci dan kemasannya dilap dengan disinfektan untuk mencegah keluarga itu tertular Covid-19.
Penyanyi Abigail Cantika juga lebih memperhatikan makanan yang disantapnya, apalagi sejak dua tahun terakhir dia menganut pola hidup vegan. Dia senang mengolah beberapa jenis sayuran, seperti genjer dan kangkung. “Kalau kebetulan sedang ada banyak bahan, gue lebih memilih untuk memasak sendiri. Kalau beli di luar lewat pesan antar, kan, kita enggak tahu bagaimana prosesnya sampai pesanan datang. Kita juga enggak lihat bagaimana proses memasaknya,” ujarnya.
Dia khawatir jika saat memasak, karyawan rumah makan tidak disiplin mengenakan masker atau mencuci tangan dengan sabun. Membayangkan kondisi itu, Abigail kerap parno alias paranoid. Jadi, dia memilih untuk lebih sering memasak sendiri.
Masakan rumahan
Hal senada diungkapkan dua ibu, Shintya Febrinadewi dan Martha Tobing, yang menemukan kegemaran baru, yakni memasak dan mencoba beragam menu. Selain alasan kesehatan, bagi mereka masak sendiri juga lebih hemat.
“Lagipula karena bekerja dari rumah dan anak-anak sekolah dari rumah, semua punya banyak waktu luang. Sebelumnya anak-anak makan siang di sekolah pakai katering. Sekarang saya setidaknya harus masak tiga kali sehari, sebelumnya hanya setiap sore,” ujar Febrinadewi.
Martha juga memilih memasak sendiri demi menjamin kebersihan makanan yang dikonsumsi keluarga. Dia sangat hati-hati, terlebih beberapa waktu lalu anaknya sempat sakit diare akut lantaran terinfeksi bakteri dan virus di pencernaannya.
Pegiat kuliner Kevindra Soemantri menilai, ada berkah tersembunyi dalam masa pandemi ini. Banyak kuliner Tanah Air, terutama masakan rumahan, yang kembali muncul dan dikonsumsi banyak orang.
“Tadinya makanan rumahan itu hanya dinikmati keluarga sendiri. Resepnya juga diturunkan di kalangan keluarga. Kini masakan itu berkesempatan dikenal dan dinikmati lebih luas,” katanya.
Menurut Harvard Business Review (26/5/2020), memasak bakal menjadi salah satu dari tiga tren perilaku yang akan membentuk ulang dunia pasca Covid-19. Mengutip studi oleh Hunter, firma komunikasi pemasaran makanan dan minuman di Amerika Serikat (AS), sebanyak 54 persen warga AS memasak lebih sering dibandingkan sebelum pandemi. Sebanyak 35 persen warga mengatakan lebih menikmati memasak dibandingkan sebelumnya.
Dari pekarangan
Sebelum sampai ke dapur, orang kini bahkan sudah memulai langkah untuk menentukan apa yang masuk ke dalam tubuhnya dari pekarangan. Ini tergambar dari aktivitas berkebun pun kian digandrungi.
Anton Ismael tengah menekuri potongan-potongan panjang daging kemerahan berlumur ketumbar yang terhampar di atas panggangan. Serakan daun salam membuat asap menguarkan aroma harum. “Nih, gue lagi ngasap daging,” kata fotografer kondang tersebut, Jumat (5/6).
Tak jauh dari tempat dia memanggang, terhampar aneka tanaman. Sudah sekitar lima bulan terakhir, Anton menekuni kebun di atap rumahnya. “Sebelum pandemi, gue sudah melakukan pembenihan. Dari situ gue belajar bahwa gila, ya, dalam benih ukuran 1 milimeter itu nantinya bisa didapatkan energi bagi tubuh untuk bergerak dan berpikir. Pohon itu bisa tumbuh lama, kadang dibiarkan begitu saja juga bisa hidup. Dari benih, dia tumbuh, lalu mati, menjadi pupuk. Oh my God, ini jadi hal yang sangat spiritual buat gue,” tuturnya.
Di kebun atap dan halaman rumahnya di Cipete, Jakarta Selatan, kini tumbuh tomat, sawi, pakcoy, cabai merah, cabai keriting, cabai rawit, lidah buaya, terung hijau, terung ungu, terung hitam, pare, buncis, kacang panjang, okra, serai, jahe, jeruk purut, jeruk nipis, bawang merah, bawang putih, rosemary, daun mint, dan masih banyak lagi.
Pandemi ini di mata Anton seakan membuktikan bahwa sistem kita sangat rapuh. Ketergantungan kita pada orang lain sangat tinggi. Kalau tidak kuat alasnya, sistem itu pada akhirnya bisa ambruk.
Ini pula yang mendorong dia memanfaatkan hasil kebun untuk dikonsumsi di rumah. “Gue bukan tipe yang sok makan dari kebun sendiri saja. Mengolah makanan sendiri sebisa mungkin, tetapi tidak bisa 100 persen. Gue berusaha mengurangi minyak, masakan diasap atau dipanggang,” ujar Anton.
Di Lebak Bulus, aktris dan model Agni Pratistha berseri-seri. Tak lama lagi dia bisa panen dari kebun sendiri. Sejak akhir Maret lalu, Agni dan anak-anaknya menanam okra, labu, tomat, kedelai, dan jagung. Anak-anak Agni menentukan benih yang ditanam. Semua masih ditanam di pot,” katanya.
Sekarang tanaman itu baru berbunga. Sebulan lagi bisa panen. Semua biji didapat dari buah yang mereka makan, lalu disemai sendiri.
Dari prosesnya, Agni dan anak-anaknya belajar lebih menghargai makanan. Mereka juga merasakan kerja keras petani. “Budidaya ternyata butuh waktu lama. Cari informasi di internet, jahe saja bisa setahun baru dipanen. Anak-anak jadi mengerti kenapa makanan tak boleh dibuang,” paparnya.
Bertahan hidup
Pada awal masa pandemi, ketika semua orang berlomba menimbun makanan, Aryo Bagaskoro (37) justru tercenung. Karyawan bidang produksi video ini berpikir, setelah sebulan dua bulan makanan itu mungkin habis. Lalu apa?
“Saya seharusnya belajar menanam bahan makanan. Ada skenario apokaliptik di kepala saya. Jadi, keputusan untuk berkebun ini mode survival. Bagaimana jika nantinya tidak bisa membeli makanan, baik karena enggak ada makanannya atau enggak ada uangnya. Setidaknya kalau ada ketrampilan menanam, tetap bisa bertahan hidup,” ujar warga Bekasi tersebut, Rabu (3/6).
Baru dua pekan ini dia mulai menanam benih kacang panjang, bayam, bayam merah, kangkung, sawi caisim, pakcoy, tomat, terung, dan cabai. Benih yang mulai berkecambah itu ditaruh di polybag yang disusun di atas rak. “Kalau bisa produksi makanan sendiri, saya tidak lagi tergantung pada Pak Toro, si tukang sayur, kalau dia enggak jualan,” tutur Aryo sambil tertawa.
Lantaran tak bisa pulang ke Bogor dari Yogyakarta, Irsalina N Oktafiani akhirnya berkebun. Awalnya dia ingin membudidayakan tanaman yang cepat dipanen. Kangkung, misalnya, bisa dipanen setelah 25 hari. “Ternyata pandemi belum selesai, jadi kami juga menanam tomat, cabai, mentimun, murbei, kacang panjang, dan terung,” ucapnya.
Dia memanfaatkan lahan seluas 6 meter persegi yang dibagi empat petak. Satu rak bambu dibuat untuk meletakkan pot-pot kecil untuk persemaian. Tanah diambil di tepi sungai, lalu dicampur kotoran kambing, sekam, dan sabut kelapa.
Pegiat Jakarta Berkebun, Kurnia Yusup, mengamati, minat berkebun meningkat sejak pandemi. Indikasinya dari kian riuhnya media sosial anggota komunitas. Kerisauan orang keluar rumah mendorong mereka berkebun. “Kualitas makanan pun bisa dipantau karena dibudidayakan sendiri,” katanya.
Pangan adalah isu masa depan, lanjut Kurnia. Populasi penduduk dunia yang meledak akan menimbulkan masalah kebutuhan pokok tersebut. “Maka, harus dibiasakan mandiri memenuhi pangan di pekarangan sendiri. Terbukti, sekarang pun sudah kelihatan pentingnya berkebun,” imbuhnya.
Fenomena ini terjadi di hampir segenap penjuru dunia. Reuters melansir artikel “Home gardening blooms around the world during coronavirus lockdowns” pada 20 April 2020 yang menyebutkan melejitnya penjualan bibit sayuran dan buah-buahan di berbagai negara. Pada pekan-pekan awal pandemi, toko-toko menerima permintaan benih hingga empat kali lipat dibanding biasanya.
“Mudah-mudahan semua orang makan lebih baik, berkebun lebih baik, dan lebih mandiri dalam pangan,” sebut artikel itu.