Wajah Baru Restoran
Tak lama lagi, restoran bakal dibolehkan beroperasi kembali meskipun secara terbatas karena pandemi Covid-19 belum usai. Para pelaku bisnis kuliner pun menanti dengan perasaan campur aduk.
Tak lama lagi, restoran bakal dibolehkan beroperasi kembali meskipun secara terbatas karena pandemi Covid-19 belum usai. Para pelaku bisnis kuliner pun menanti dengan perasaan campur aduk. Akankah orang bakal langsung menyerbu atau tetap tak datang karena masih tebersit kerisauan?
Sejumlah pengojek daring menunggu pesanan mereka di depan J Steak, Jalan Mahakam, Jakarta, Kamis (4/6/2020). Hanya dua pegawai restoran Jepang itu yang menyiapkan makanan beku dan saus. Sejak pandemi berlangsung, J Steak hanya menyediakan steik rib eye.
Beberapa pengemudi lain menunggu pesanan diantar ke mobilnya. Hanya staf J Steak yang boleh masuk. Di dalam J Steak, kursi-kursi dinaikkan ke atas meja. ”Ya, begini kiat kami tetap bertahan,” ujar Dhitya Maulana, salah satu pendiri J Steak.
Asa untuk membuka kembali restorannya masih menyala dalam benak Dhitya. Ia bersiap untuk menjalani normal baru dengan penyesuaian layanan. ”Belum tahu pasti kapan, tapi kami punya bayangan. Pengunjung tak pegang menu di meja. Makanan harus dipesan di depan,” ujarnya.
Kapasitas J Steak sekitar 50 orang juga bisa diisi separuhnya. Tamu harus diberi jarak dan diimbau membayar nontunai. ”Prosedur kesehatan pasti dipatuhi. Rasanya seperti mulai dari awal dengan norma dan wajah baru restoran,” kata Dhitya.
Sementara, chef Ragil Imam Wibowo, tengah mencermati protokol pembukaan kembali restoran. Pemilik Nusa Indonesian Gastronomy ini masih menimbang-nimbang seperti apa restorannya jika kembali menerima tamu yang bersantap di tempat. Banyak pertanyaan terlintas.
”Ada juga standar negara lain yang bisa diikuti. Saya pribadi pilih kondisi teraman untuk semua. Ya, restoran. Ya, pengunjung,” ujarnya.
Bulan lalu, Ragil dan beberapa pembicara mengisi webinar bertajuk ”Chef Talk” yang membahas dampak pandemi terhadap restoran. Mereka sepakat, model bisnis mau tak mau berubah.
Ragil mengakui, wajah restoran bakal tak sama. Paling kentara adalah tata letak. Kapasitas restoran tak bisa terisi 100 persen. Hanya 50 persen dari kapasitas yang diizinkan untuk dipakai. Pertanyaannya, jika kapasitas restoran besar, apakah tetap memberlakukan perhitungan itu. ”Misalnya, kapasitas 180 orang. Apa iya 90 orang boleh masuk bersamaan. Di sejumlah negara, kapasitas yang diizinkan 1-1,5 tahun ke depan hanya 30 persen,” papar Ragil.
Di Jakarta, tempat makan mandiri direncanakan sudah bisa buka per 8 Juni 2020. Konsumen boleh makan di tempat setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) disesuaikan. Restoran atau tempat makan disebut mandiri jika memiliki tempat usaha sendiri dan tak beroperasi semisal di dalam mal.
Raymond Stefanus, Kepala Seksi Usaha Pariwisata Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemprov DKI Jakarta, menyampaikan protokol umum dan khusus. Tempat cuci tangan dan pembersih tangan, misalnya, harus disediakan. Larangan menaruh sendok dan garpu di satu wadah di meja diterapkan, kursi diberi jarak 1 meter, dan tamu yang makan maksimal separuh dari kapasitas restoran.
”Selain itu, ada orang atau tim restoran yang memastikan pelaksanaan protokol. Mereka disarankan membatasi waktu kunjungan dengan pertimbangan physical distancing,” ujar Raymond.
Berdasarkan tabel jadwal pembukaan masa transisi fase satu seperti dipaparkan Gubernur DKI Anies Baswedan, restoran mandiri akan dibuka 8-28 Juni 2020 lalu dievaluasi.
Canggung
Dedi Fahruli (43), warga Tangerang Selatan, Banten, meyakini bakal merasa canggung jika sudah bisa pergi ke rumah makan. ”Mungkin meja dan kursi diberi tanda X. Pesan makanan langsung di kasir. Jarak pengunjung jauh. Kayak apa restoran sudah menyibak tampilan barunya,” katanya sambil tertawa.
Berdasarkan Peraturan Wali Kota Tangerang Selatan Nomor 19 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019, layanan makan di tempat bisa disediakan maksimal 50 persen dari jumlah kursi dan meja. Payung hukum yang berlaku hingga 14 Juni 2020 itu kemudian dievaluasi untuk diperpanjang atau tidaknya.
Di Solo, Jawa Tengah, Obonk Steak & Ribs beroperasi dengan protokol Covid-19 yang dianjurkan pemerintah. ”Jarak antarkonsumen minimal 1,5 meter. Satu meja isi empat orang cuma boleh diisi dua orang. Semeja isi enam orang cuma boleh diisi empat orang,” tutur Joice Sitawati (43), pemilik Obonk Steak & Ribs.
Joice tak pernah menerima juklak atau protokol Covid-19 untuk restoran yang buka di masa pandemi. Jika pemerintah setempat memiliki protokol Covid-19 untuk menghadapi normal baru, pengelola restoran akan lebih dimudahkan.
Terkait penerapan normal baru, Joice kemungkinan melanjutkan protokol Covid-19. Hanya saja, ia berencana membatasi pengunjung karena ada kemungkinan pergerakan orang semakin bebas. ”Mungkin 70 persen dari jumlah kursi,” katanya. Meski ia jelas merugi, semua itu demi kebaikan pegawai, tentu juga konsumen.
Di Paris, Perancis, pengalaman normal baru dipaparkan Nina Hanafi, pemilik Djakarta Bali. Restoran itu hanya boleh beroperasi dengan meja dan kursi ditempatkan di luar. Menu tak lagi diedarkan, tetapi ditulis di papan dekat meja kasir. Selain itu, menu bisa diakses daring via kode QR, yang dipindai ponsel.
Tetap meyakinkan
Chef Chandra Yudasswara mengungkapkan, bisnis restoran secara daring memang meyakinkan, tetapi restoran klasik tak akan hilang. ”Orang tetap ingin pegang gelas dingin, sembari melemparkan pandangan ke meja-meja di sekitarnya dan menikmati atmosfer restoran,” ujarnya.
Dari pandemi ini, lanjut dia, bisnis restoran bisa mengambil pelajaran, misalnya menyiapkan dana cadangan untuk jangka panjang. Praktik ini jarang dilakukan, misalnya menyiapkan dana untuk enam bulan atau satu tahun. ”Pertahankan karakter dan keunikan restoran. Semua ombak pasti berlalu,” kata Chandra optimistis.
Hal itu sejalan dengan analisis sejumlah pakar. Forbes, dalam artikel berjudul ”Why Restaurants Will Not Just Survive But Thrive After The Pandemic”, Jumat (1/5/2020), menyebutkan, restoran memiliki sejarah panjang beradaptasi dengan waktu-waktu buruk seperti perang, pandemi, teror, hingga bencana alam. Ini karena bisnis restoran menuntut kecintaan membara para pelakunya. Jadi, ketika restoran sudah dibuka, itu tanda paling meyakinkan bahwa semua akan kembali baik-baik saja.
The Guardian, dalam ”Restaurants Will Never Be The Same After Coronavirus-But That May Be A Good Thing”, Selasa (14/4/2020), melansir, pandemi memberi kesempatan untuk menyoroti ekosistem restoran bahwa mereka berdiri di tanah yang bergoyang.
”Restoran tak bisa lagi melihat bisnis model mereka berkelanjutan,” sebut artikel itu. Krisis akan memaksa restoran untuk kembali berpikir secara mendasar tentang apa maknanya menjadi sebuah restoran.