Bersepeda saat pandemi Covid-19 masih ganas memunculkan keraguan bagi sebagian orang. Alternatif satu ini bisa menjadi ”jalan tengah”, bugar bersepeda dengan tetap di rumah saja.
Oleh
Mohamad Final Daeng
·5 menit baca
Bersepeda. Aktivitas satu ini sedang naik daun. Kita mendengar banyak berita soal meningkatnya penjualan sepeda pascapelonggaran pembatasan sosial di berbagai kota di Tanah Air. Di jalan-jalan, kita dengan mudah menemukan pesepeda, baik rombongan maupun tunggal, terlebih saat akhir pekan. Asyik!
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, sepeda memang sedang hits-hitsnya. Hobi yang menyehatkan sekaligus menyenangkan ini banyak diminati (kembali) masyarakat berbagai kalangan. Jenisnya pun macam-macam, ada road bike, mountain bike, hybrid, hingga sepeda lipat. Soal harga, spektrumnya juga sangat lebar, mulai ratusan ribu sampai ratusan juta rupiah.
Akan tetapi, kondisi saat ini yang masih dirundung Covid-19 memunculkan pertanyaan, apakah sudah aman bersepeda? Jawabannya pun beragam. Konsensus umumnya membolehkan selama menerapkan protokol-protokol tertentu untuk menghindari penularan Covid-19. Namun, bagi yang masih ragu melakukannya, bersepeda tetap bisa dilakukan di rumah. Ya, benar, di rumah!
Tentu saja, kalau alasan bersepeda untuk bersosialisasi dengan teman, menikmati pemandangan, atau melepas suntuk di rumah, cara ini bukanlah jawabannya. Namun, kalau tujuannya menjaga tubuh agar tetap bugar, alternatif ini boleh dicoba.
Semuanya bisa kita bantu dengan alat yang dikenal dengan nama trainer. Alat ini memungkinkan kita untuk gowes di tempat. Prinsipnya mirip sepeda statis di pusat kebugaran. Namun, ini menggunakan sepeda biasa yang diubah jadi statis. Trainer sudah lazim dipakai atlet profesional ataupun penggemar serius untuk berlatih di ruangan.
Keunggulan paling gamblang dari trainer adalah fleksibilitas. Kita bisa bersepeda kapan saja, tanpa perlu khawatir panas atau hujan. Mau gowes tengah hari bolong pun tetap adem di bawah atap rumah. Keistimewaan lainnya, terutama bagi yang senang memacu kencang sepeda, adalah bebas hambatan. Tak ada yang menghalangi ”laju” kecuali kekuatan dengkul sendiri.
Di laman toko-toko daring populer, ketikkan saja ”trainer sepeda” atau ”bike trainer” pada kotak pencarian, maka muncullah ratusan pilihan barang dimaksud. Ada bermacam jenis dan harganya.
Ada rupa, ada harga
Salah satu yang populer adalah model friksi. Model ini terbagi lagi berdasarkan mekanismenya menghasilkan resistensi atau hambatan yang membuat roda terasa berat saat dikayuh meski dalam posisi statis, yaitu magnetis dan fluida.
Akan tetapi, ada pula alternatif lain, yakni murni hanya mengandalkan silinder putar. Harganya pun relatif lebih terjangkau karena tidak memerlukan perangkat magnet atau fluida untuk menghasilkan resistensi. Karena mekanismenya yang sederhana, trainer semacam ini banyak pula dibuat secara rumahan dan dipasarkan di toko-toko daring.
Cara kerja model friksi menghubungkan roda belakang dengan silinder berbahan logam. Saat pedal dikayuh, ban bergesekan dengan silinder itu untuk meniru kondisi roda yang menapaki tanah saat bersepeda normal.
Model magnetis ataupun fluida menambah resistensi roda pada silinder dengan level yang bisa diatur-atur. Adapun trainer sederhana buatan rumahan hanya menghasilkan resistensi dari silinder. Adagium ”ada rupa, ada harga” berlaku di sini.
Model friksi ini instalasinya lebih praktis dibandingkan dengan model direct drive. Trainer direct drive perlu mencopot roda belakang hingga memasang cassette (piringan gir belakang) khusus. Pada trainer friksi, as roda belakang cukup dipasangkan ke dua sisi dudukannya tanpa perlu melepas roda.
Akan tetapi, perlu diperhatikan jenis sepeda yang digunakan. Untuk sepeda lipat atau beroda kecil (hingga 22 inci), ukuran trainer-nya berbeda dengan sepeda standar seperti road bike atau mountain bike. Ada trainer yang memungkinkan produknya disesuaikan dengan segala sepeda, ada yang memerlukan bantuan adapter. Ada pula trainer yang hanya bisa dipakai untuk sepeda standar saja dan harus membeli varian berbeda untuk ukuran roda kecil, itu pun kalau pabrikannya menyediakan pilihan tersebut.
Keunggulan lain model friksi ini memastikan sepeda kokoh ”duduk” di trainer sehingga tak perlu menjaga keseimbangan selama menggowes. Hal ini berbeda dengan model roller yang mengharuskan sepeda dikayuh di atas penggelinding sehingga tangan mesti selalu siaga di setang.
Karena itu, disarankan memakai ban luar yang murah-murah saja sehingga tak terlalu sedih ketika cepat rusak.
Oleh karena itu, model friksi membuat kedua tangan bebas bergerak saat gowes. Keuntungan ini bisa dipakai untuk melatih lengan dengan gerakan-gerakan ringan, mengecek Whatsapp, mengganti lagu di playlist ponsel, atau sekadar menyeka keringat puas-puas tanpa harus berhenti menggenjot.
Ada kelebihan, ada juga kekurangannya. Trainer friksi ini berisik. Gesekan antara ban dan silinder menimbulkan suara bising yang mengganggu meski bisa ”diredam” dengan memasang headphone musik.
Lainnya, gesekan antara ban dan silinder juga membuat ban lebih cepat aus. Setelah mengayuh beberapa waktu, silinder menjadi panas dan berpotensi memengaruhi karet ban. Karena itu, disarankan memakai ban luar yang murah-murah saja sehingga tak terlalu sedih ketika cepat rusak.
Kelemahan paling besar, trainer friksi ini sensasi kayuhannya tidaklah sama dengan bersepeda biasa. Terutama yang hanya mengandalkan resistensi silinder, rasa kayuhan setidaknya separuh lebih ringan ketimbang mengayuh normal di jalan.
Ini pula yang membedakannya dengan model direct drive, yang sensasi kayuhannya dinilai paling mendekati seperti bersepeda normal, tetapi harganya juga yang paling tinggi di antara semua jenis trainer.
Akan tetapi, kekurangan trainer friksi ini bisa disiasati. Pada trainer yang hanya mengandalkan resistensi silinder, triknya adalah sedikit mengempiskan ban belakang dan mengencangkan impitan silinder pada ban.
Hal ini agar permukaan ban bisa lebih menggigit silinder sehingga resistensinya meningkat, yang otomatis membuat kayuhan bertambah berat. Meski tetap tak bisa menyamai rasa seperti mengayuh normal, paling tidak lumayan ada perubahan.
”Menipu” kaki
Jika masih kurang juga, kombinasikan cara tadi dengan ”menipu” kaki. Ya, mulailah mengayuh dengan gigi paling tinggi atau terberat. Teruskan selama 5-10 menit sampai terbiasa, lalu pindahkan ke gigi berikutnya. Tahan pada gigi itu sekitar satu menit kemudian pindah lagi ke gigi selanjutnya. Begitu seterusnya berjenjang hingga mencapai gigi terendah atau paling enteng.
Setelah itu, langsung loncat kembali ke gigi tertinggi. Niscaya, kayuhan akan terasa jauh lebih berat ketimbang saat awal memulai. Atau, bisa juga dilakukan dengan bertahap pindah ke gigi sebelumnya, masih dengan interval antargigi sekitar satu menit, hingga sampai kembali pada gigi paling tinggi. Hal ini agar kaki tidak ”kaget” dengan perpindahan kayuhan yang ekstrem.
Selain ”menipu” kaki tadi, pindah-pindah gigi pada trainer ini membawa sejumlah manfaat lain, khususnya melatih cadence (putaran kaki/irama kayuh). Di luar itu, juga berguna untuk meratakan beban pada setiap sprocket (piringan gigi). Hal ini biasanya sulit dilakukan saat bersepeda normal karena kita cenderung melaju pada gigi-gigi tertentu saja, sesuai kondisi perjalanan.