Akulah Prabu Korona Bhirawa
Masa pandemi Covid-19 terus bergulir dan tak kunjung memberi kepastian kapan akan berakhir. Pandemi turut menguji seni tradisi dalam menjejak lini masanya dari abad ke abad.
Masa pandemi Covid-19 terus bergulir dan tak kunjung memberi kepastian kapan akan berakhir. Pandemi turut menguji seni tradisi dalam menjejak lini masanya dari abad ke abad. Akankah seni tradisi tetap liat di masa kelabu ini?
Sebagai salah satu kelompok seni tradisi, grup Wayang Orang Bharata di Jakarta mempertontonkan keliatan tersebut. Difasilitasi jaringan media National Geographic Indonesia dan badan usaha milik negara Pertamina, Wayang Orang Bharata pertama kalinya pentas di rentang masa pandemi ini.
Pementasan dilakukan secara virtual di jaringan internet dengan aplikasi Zoom, Sabtu (27/6/2020), dengan durasi padat sekitar 20 menit. Yang dipentaskan berupa siaran gabungan dari adegan pemain di rumah masing-masing.
Cara pentas ini unik. Para pemain tidak berada di satu lokasi yang sama. Penyiaran pementasan diramu untuk disuguhkan dengan tidak jauh berbeda ketika pentas bersama di panggung.
Yang pertama
Penganugerah rekor dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) Jaya Suprana menyebut pementasan secara virtual ini sebagai mahakarya pementasan seni tradisi wayang orang pertama di planet Bumi ini. Mungkin saja benar. Di balik itu, situasi pandemi Covid-19 yang membentuknya.
Para pemain membuat adegan pentas di rumah mereka masing-masing yang berada di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Kawasan itu menjadi kompleks Padepokan Wayang Orang Bharata.
Pementasan di Zoom itu hasil enam kali latihan dalam rentang sekitar dua bulan. Penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu, Teguh Ampiranto, menguraikan, semua peralatan yang digunakan harus sama. Memadu seni tradisi dan sains terkini butuh kecakapan dan kesesuaian teknologi.
Usai pementasan, lalu digelar perbincangan dengan dipandu Mahandis Yoanata Thamrin, selaku Managing Editor National Geographic Indonesia. Para pementas wayang orang diminta mempertontonkan situasi di sekelilingnya.
Selama pentas, mereka berada di depan sebuah layar berwarna hijau. Layar hijau itu kemudian disingkap. Situasi rumah mereka kemudian terpapar jelas. Pentas di panggung dibatasi ruang dan jumlah kursi penonton. Pementasan virtual wayang orang lewat Zoom memang dibatasi untuk 1.000 pemirsa.
Ada penonton asal Singapura yang sangat aktif merespons pementasan wayang orang tersebut. Ada pula penonton termuda berusia 6 tahun, bernama Rania. Rania menceritakan dirinya pernah diajak neneknya menonton Wayang Orang Bharata pentas di panggung studio mereka di bilangan Senen, Jakarta Pusat. Ketika menyaksikan pementasan secara virtual, ia sangat terkesan dan ingin turut pentas.
”Sirnaning Pageblug”
Wayang Orang Bharata menyuguhkan lakon berjudul ”Sirnaning Pageblug” atau Sirnanya Pandemi. Dramaturgi ini serupa dengan harapan publik kini, yakni keinginan terbebas dari pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda.
Teguh Ampiranto menghadirkan carangan atau lakon wayang yang keluar dari jalur standar atau pakem. Wayang orang memang tak ubahnya wayang kulit yang mengambil kisah pokok dari epos Mahabharata atau Ramayana.
Wayang orang memiliki pengembangan gerakan asal dari gerakan wayang kulit. Ada gerakan yang patah-patah. Selain itu, riasan atau dandanan wayang orang masih mengacu pada karakter riasan wayang kulit.
Ada keleluasaan dalam mengambil jalan kisah pewayangan. Seperti kali ini, sutradara atau dalang Teguh menghadirkan tokoh yang tidak pernah ada sebelumnya, yaitu Prabu Korona Bhirawa, diperankan Supriyadi.
Teguh mengilustrasikan Prabu Korona Bhirawa itu sebagai raksasa yang mengganggu ketenteraman manusia, layaknya virus korona jenis baru atau Covid-19 sekarang. Prabu Korona Bhirawa memiliki kehendak buruk hendak meminta Wara Sembadra (diperankan Fitri Ampiranti) untuk menjadi istrinya.
Padahal, Wara Sembadra sudah menjadi istri Arjuna (diperankan Adi Rusmantyo). Niat Prabu Korona Bhirawa tak terbendung. Wara Sembadra akhirnya jatuh sakit.
Arjuna berusaha menyembuhkan istrinya dengan pencarian air suci atau air amarta. Prabu Korona berusaha menghalangi Arjuna. Terjadilah perang tanding antara Arjuna dan Prabu Korona Bhirawa. Arjuna menang. Dewi Sembadra pulih seketika. Mereka hidup bahagia. ”Seperti itulah harapan kita sekarang. Kita mengharapkan pandemi Covid-19 segera berakhir dan memberi ketenteraman hidup,” ujar Teguh, yang juga akrab disapa Kenthus Wayang Orang Bharata ini.
Menikmati wayang orang
Butuh kiat dan dorongan hati dalam menikmati pementasan wayang orang dengan dramaturgi sederhana dan kisah klasiknya yang terlihat klise atau terus berulang. Pertama, mengenal riwayat wayang orang untuk memantik rasa bangga. Riwayat wayang orang tidak lepas dari sejarah penting Kerajaan Mataram yang terbelah dua menjadi Yogyakarta dan Surakarta pada 1755. Di situ disepakati Perjanjian Giyanti.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said (1975-1975) kemudian hadir sebagai raja untuk Kerajaan Surakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I atau dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi (1717-1792) memimpin Yogyakarta.
Kedua raja itu memiliki tanah kelahiran yang sama, yaitu Kartasura. Kedua raja inilah yang kemudian dikenal memelopori bentuk kesenian wayang orang. Ini terus berkembang sebagai seni tradisi hingga sekarang. Kejadian di abad ke-18 di Jawa itu ternyata bisa ditautkan dengan fenomena yang berlangsung di Barat. Pementasan wayang orang mirip opera di Barat.
Komponis Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791), dikenal sebagai Maestro Opera, sering menggabungkan pentas seni musik dengan drama teater. Tak ubahnya opera, wayang orang juga bisa dilihat sebagai penggabungan seni musik dan drama teater Di dalam opera, dialog itu dinyanyikan. Begitu pula di dalam wayang orang, dialog acapkali dengan tembang, baik diiringi musik gamelan maupun tanpa musik gamelan.
Ada persinggungan bentuk dan masa yang bertautan antara wayang orang dan opera di Barat. Hal kedua, seperti diungkap Teguh, ada tawaran dasar filosofi yang selalu kontekstual. Misalnya dari kemunculan dua karakter bertolak belakang, seperti Arjuna dan Prabu Korona Bhirawa. Arjuna memiliki karakter halus sehingga gerak tariannya halus. Prabu Korona dengan karakter kasar memiliki gerak tarian gagahan yang bertolak belakang dengan gerak tarian Arjuna yang halus.
Menariknya, adegan tarian pada saat ingin saling menyerang. Keduanya membuat gerak tari yang sama. Di sinilah pesan filosofi kontekstual. Manusia diberi kesetaraan dan kesamaan hak. Namun, semua akan memetik karma atau buah perbuatan masing-masing.
Wayang Orang Bharata dengan pentas di layar Zoom mengajak kita menjenguk hingga ke kedalaman rasa seperti itu. Semua yang terjadi, seperti pandemi Covid-19 itu, juga buah perbuatan manusia. Yang pasti, seni tradisi membuktikan keliatannya dalam meniti zaman pagebluk.