Seni rupa kontemporer tidak berbatas pagar sehingga bisa menyerap wujud apa saja, bahkan dari yang semula dianggap tidak lazim di dunia seni rupa.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Seni rupa kontemporer tidak berbatas pagar sehingga bisa menyerap wujud apa saja, bahkan dari yang semula dianggap tidak lazim di dunia seni rupa. Ini salah satu contoh, dari sebuah kesenangan bermain skateboard, lalu berkembang keinginan untuk membuat sendiri papan luncur itu dan memasarkannya. Kemudian menjelma ekspresi untuk mencipta karya seni rupa kontemporer yang mengisyaratkan pesan dan konteks kekiniannya.
Dialah Lucky Widiantara (45), lulusan jurusan Desain Produk Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung. Kurator dan pemilik galeri Orbital Dago, Rifky Effendy, mengetengahkan karya-karya Lucky sebagai karya seni rupa kontemporer dalam sebuah pameran tunggal.
Pameran itu diberi tajuk ”Fun Follows Function Follows Fun” (FFFFF), berlangsung 24 Juni hingga 24 Juli 2020. Kurang lebih tema pameran ini bermakna sebuah kesenangan yang mengikuti fungsi, dan fungsi itu pun mengikuti sebuah kesenangan.
Sebanyak 22 karya ditampilkan. Sebagian besar karya tiga dimensi dengan inspirasi bentuk dari papan luncur dan grafiti di atas papan selancar (surfing).
Hobi
Lucky memiliki hobi bermain skateboard sejak usia remaja, lalu berkembang ke hobi surfing atau berselancar sejak mahasiswa. Sampai sekarang, minimal sekali dalam sebulan Lucky menyempatkan diri berselancar.
Pantai Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, menjadi favoritnya, selain Sanur dan Kuta di Bali. Pengalaman berselancar di tempat lain pernah dijajalnya sampai Spanyol dan Portugal. Namun, Lucky menyarankan, tetaplah berselancar di lautan Indonesia karena lebih hangat.
”Indonesia surganya berselancar,” begitu seloroh Lucky, Rabu (1/7/2020), ketika dihubungi di Bandung.
Dari hobi bermain skateboard dan surfing itulah, Lucky tergerak untuk memproduksi sendiri kebutuhan perlengkapannya. Teman-teman di komunitasnya acapkali tertarik dan memesan agar dibuatkan. Lucky selalu menuangkan desain grafiti di papan luncur itu. Pesanan teman-temannya dari waktu ke waktu terus mengalir, hingga di tahun 2009 Lucky mulai serius membangun usahanya.
Lucky memproduksi pula papan selancar. Sejak 2009, Lucky mendirikan perusahaan yang diberi label Lucas and Sons, di Bandung. Papan selancar dengan desain grafitinya banyak diminati orang asing. Pesanan dari Singapura dan Malaysia sampai kini tetap mengalir. Bahkan, dari negara lain seperti Amerika Serikat.
”Cupid-19”
Ketika berada di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, kerja seni tak boleh terhenti. Lucky menampilkan lukisan yang diberi judul, Cupid-19. Judul ini memelesetkan Covid-19, virus korona jenis baru yang kini menjadi wabah mematikan dan tak kunjung mereda.
Lucky melukis seorang bayi sedang belajar menulis di sebuah papan luncur. Ini terinspirasi karya seniman François Boucher (1703-1770) asal Perancis yang berjudul Cupids. Allegory of Poetry.
Cupid adalah dewa cinta dalam sebuah mitologi di zaman Romawi. Ia diilustrasikan sebagai sosok anak kecil bersayap dan nakal. Sebuah busur dan anak panah selalu dibawanya. Kenakalan Cupid sebagai kenakalan jenaka, sekaligus menyiratkan keagungan cinta. Cupid dikisahkan sering memanah orang-orang yang dijumpai dan membuat orang yang terpanah itu bertaburkan cinta.
Cupid tak jarang disebut juga sebagai Dewa Amor, dewa cinta. Lukisan berjudul Cupid-19 dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 100 kali 80 sentimeter merupakan salah satu karya terbaru yang dibuat tahun 2020 ini.
Melalui karya itu, Lucky mengisyaratkan pesan di masa pandemi Covid-19, masa kesulitan akan selalu ada. Setiap orang hendaknya berprakarsa seperti telah terpanah oleh Cupid. Setiap orang hendaknya membuat diri mempunyai cinta dan mau membagi cinta itu kepada sesamanya.
Elan soal cinta terus menjalar. Lucky menampilkan karya tiga dimensi yang diberi judul Love is Compliskated, plesetan dari Love is complicated atau cinta itu rumit.
Lucky membentuk simbol cinta berupa jantung hati dengan sebuah papan skateboard. Di dalam simbol cinta itu, sepasang roda di papan skateboard tidak berada dalam satu garis dengan sepasang roda yang lainnya. Skateboard memiliki dua pasang roda di depan dan di belakang yang segaris. Ketika posisinya tak segaris, arah gerak meluncurnya sulit dikendalikan.
Begitulah cinta. Kadang kala, cinta membuat sepasang manusia kesulitan mengendalikan diri. Atau ketika cinta sudah direngkuh dan dijalani dalam sebuah ikatan, roda cinta itu masih bisa berpaling ke arah lain. Jalannya cinta bersama tidak lagi searah, tidak lagi sesuai dengan janji yang diharapkan semula.
Demikian karya-karya liris Lucky. Namun, nuansa harapan dan kegembiraan lebih kuat mencuat pada karya- karya berikutnya. Lucky menampilkan karya tiga dimensi yang diberi judul Skatocaster (2020). Ini sebuah gitar elektrik yang disusun dari empat potong bekas papan luncur. Karya berdimensi 98 x 20 x 6 sentimeter ini bisa berfungsi layaknya sebuah gitar elektrik.
Kemudian karya patung Melted Skate Trophy (2019) berdimensi 68 x 38 x 22 sentimeter. Sebuah papan luncur berdiri tegak dengan bagian bawah yang meleleh dan menjadi tatakan hingga papan itu bisa berdiri tegak. Inilah trofi juara, trofi kemenangan, trofi kebanggaan yang selalu terukir di hati Lucky.
Ada pula karya satire. Lucky menampilkan karya Skate in Concrete (2019). Empat roda papan luncur dipasang di sebuah dinding beton.
Sekuat-kuatnya roda papan luncur, tentu memiliki batas kemampuan. Sebuah dinding beton sebagai simbol beban yang melampaui kekuatan kita. Pesan moralnya, segala sesuatu selalu dihadapkan pada pilihan. Jangan sampai jatuh pada pilihan salah, pilihan yang melampaui batas kekuatan kita.
Kurator Rifky Effendy menengarai, karya-karya Lucky menandai suatu perkembangan praktik dan wacana seni rupa di lingkar luar arus utama seni rupa kontemporer. Rifky mengutip sebutan dari kritikus seni rupa Saneno Yuliman, karya Lucky itu masuk ranah ”seni rupa bawah” atau lowbrow.
Lowbrow sebetulnya sudah muncul sejak dekade 1970 di Los Angeles, Amerika Serikat (AS). Ini gerakan bawah tanah dan akar rumput untuk menyandingkan karya pop surealisme dikancah seni rupa modern.
Karya-karya lowbrow terlahir dari dunia berbeda. Karya itu bisa bermuasal dari grafiti, mural, obyek mainan, seni digital, dan sebagainya. Semangat di balik karya lowbrow adalah perlawanan terhadap hegemoni atau pengaruh kekuasaan yang membelitnya.
”Maka, pelaku seni lowbrow ini dengan sadar mempertimbangkan aspek komunikasi visual untuk memprovokasi dan menarik perhatian publik,” ujar Rifky yang menyebut contoh Andy Warhol (1928-1987) mengangkat karya Jean-Michel Basquiat (1960-1988) sebagai contoh lain gerakan lowbrow.
Warhol menunjukkan lukisan karya Basquiat itu ke galeri-galeri terkemuka di New York, AS. Karya Basquiat selama itu dipandang sebagai karya seni rupa rendah. Akan tetapi, kemudian Warhol berhasil menyandingkannya sejajar dengan karya yang diposisikan sebagai karya seni rupa tinggi.