Google dan Oneplus, produsen ponsel yang biasa bermain di kelas flagship, mulai bermain di kelas menengah. Namun, performa mirip flagship tetap menjadi perhatian. Apa kira-kira yang harus dikorbankan demi menekan harga?
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·6 menit baca
Rabu (5/8/2020), Samsung baru saja mengumumkan ponsel terbarunya, Samsung Galaxy Note 20 dan Note 20 Ultra. Ponsel dengan spesifikasi mutakhir seperti cipset Qualcomm Snapdragon 865+ dan kamera hingga 108 megapiksel itu pun juga disertai dengan banderol superpremium, 1.300 dollar AS atau sekitar Rp 18 juta untuk seri Ultra. Melihat tampilan yang mewah, sebagian kalangan mungkin dapat menganggap harga itu sepadan.
Ponsel kelas flagship superpremium dengan harga sekitar 1.000 dollar AS memang sedang trendi pada beberapa tahun terakhir. Pada 2017, Apple iPhone X dirilis dengan harga 999 dollar AS, sedangkan Galaxy Note 8 dengan harga 929 dollar AS. Angka ini terus merangkak dengan setiap rilisan baru masing-masing.
Namun, pada pertengahan 2020, sebuah tren baru tampaknya berusaha diciptakan Google dan Oneplus. Oneplus yang biasanya bermain di kelas flagship, kini untuk pertama kali meluncurkan ponsel kelas menengahnya, yaitu Oneplus Nord, pada akhir Juli lalu. Ponsel tersebut menggunakan cipset kelas menengah Qualcomm Snapdragon 765G dan banderol 399 euro, sekitar Rp 7 juta.
Awal pekan ini, Google pun merilis ponsel kelas menengah Pixel 4A, melanjutkan tradisi yang baru dimulai pada tahun lalu dengan Pixel 3A dan 3A XL. Huruf ’A’ pada seri Pixel menunjukkan pendamping kelas menengah bagi ponsel flagship utama. Pixel 4A bahkan menggunakan cipset Qualcomm yang lebih rendah; Snapdragon 730G. Ponsel ini dijual dengan harga 349 dollar AS atau sekitar Rp 5,1 juta.
Mengapa Oneplus baru sekali ini bikin ponsel kelas menengah? Mengapa Google juga lanjut mengeluarkan ponsel Pixel kelas menengah?
Cofounder Oneplus Carl Pei menyebut ada dua alasan. Pertama, memang ada desakan dari pasar yang diterimanya bahwa ada kebutuhan ponsel berkualitas dengan harga lebih rendah, seperti masa awal Oneplus dikenal sebagai flagship killer.
”Kami melihat pesaing dan juga harga dari flagship kami. Dan kami menemukan bahwa harga maksimal 500 dollar AS,” kata Pei saat wawancaranya dengan Youtuber Marques Brownlee pada pertengahan Juli lalu.
Alasan kedua, Pei menyebut bahwa untuk pertama kalinya, cipset Snapdragon kelas menengah sudah bisa memberikan pengalaman komputasi yang sekiranya sepadan dengan cipset flagship.
”Dengan teknologi yang terus berkembang, kami menganggap ini adalah waktu yang tepat. Dengan cipset kelas menangah, kami bisa memberikan pengalaman yang halus seperti ponsel flagship,” kata Pei.
Google pun demikian. Bahkan dirumorkan bahwa ponsel utama Google selanjutnya, suksesor Pixel 4, yakni Pixel 5, tidak akan menggunakan cipset kelas flagship. Kyle Bradshaw dari laman 9to5Google.com menduga dari sejumlah analisis pada kode pemograman aplikasi milik Google, Pixel 5 akan menggunakan cipset Snapdragon 765G.
”Kami menemukan bahwa dalam kode pemrograman aplikasi Google Search terbaru, ada sejumlah nama ponsel Google yang belum dirilis, seperti Pixel 5 dan Pixel 4A 5G,” kata Bradshaw.
Pertanyaan pun timbul. Apa yang dilakukan untuk menjaga performa mirip dengan flagship, namun harga bisa ditekan?
Pei mengatakan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi karakteristik yang diinginkan dari sebuah ponsel flagship.
Melalui riset pasar dan mencari masukan dari konsumen melalui focus group, Pei menemukan bahwa yang diinginkan adalah kamera yang bagus dan performa yang lancar. Dari insights tersebutlah, Oneplus dapat menemukan komponen apa saja yang harus mendapat prioritas dari anggaran yang tersedia.
Untuk itu, bujet dianggarkan terlebih dahulu untuk kamera. Lalu, kedua adalah komponen komputasi, cipset misalnya.
Untuk pertama kalinya, ia melihat bahwa performa cipset kelas menangah pada 765G memiliki performa yang mumpuni. ”Mungkin ketika menjalankan aplikasi berat seperti game dengan kualitas grafis teratas, baru terasa perbedaannya (dengan cipset flagship),” kata Pei.
Guna meningkatkan kesan tampilan yang cepat tersebut, layar berkecapatan tinggi (high refresh rate) pun diperlukan. Ia memilih untuk menggunakan panel 90 hz yang telah biasa digunakan di layar ponsel flagship.
Di sisi lain, apa yang sekiranya dapat dikorbankan utuk menekan harga?
Pei mengatakan, salah satu yang bisa ditekan adalah sertifikasi ketahanan air atau yang biasa dikenal sebagai sertifikasi IP (IP Certification). Biasanya, tingkat ketahanan air dan debu diindikasikan pada dua angka yang mengikutinya, seperti IP68, yang menunjukkan bahwa gawai tersebut tahan dibenamkan di bawah air 1,5 meter selama 30 menit.
Sebetulnya, tidak ada biaya penerbitan sertifikasi IP dari sebuah badan atau organisasi khusus. Namun, Pei mengatakan, yang membuat mahal adalah biaya pembelian peralatan untuk menguji ketahanan air tersebut. Peralatan ini, menurut Pei, sebuah investasi jangka panjang yang sangat besar nilainya.
Selain itu, hal ini juga memerlukan tambahan tenaga kerja yang melakukan tes tersebut. Pei mengatakan, setiap ponsel yang mengklaim sertifikasi IP harus mengalami pengujian tambahan di setiap akhir proses perangkaian. ”Jadi ini membutuhkan lebih banyak orang dan memperlama proses produksi,” kata Pei.
Namun untuk Oneplus Nord, Pei mengatakan, Oneplus tetap memasang seluruh karet seal penahan air di setiap celah pada ponsel tersebut yang biasanya dapat menahan air. Namun, untuk menghemat, ia tidak melakukan pengujian yang dibutuhkan untuk mendapatkan klaim sertifikasi IP.
Total harga karet seal, layar, baterai, hingga kamera masuk ke dalam apa yang disebut sebagai bill of materials (BOM). Bisa disebut ini adalah harga setiap komponen yang dibutuhkan dalam sebuah ponsel.
Pada beberapa bulan lalu, Techinsights, perusahaan analis semikondukter Kanada, membuka dan membedah Samsung Galaxy S20 Ultra 5G untuk mendapatkan harga BOM-nya.
Setelah membedah dan menjumlahkan harga dari setiap cip, keping memori, layar, ditemukan bahwa harga BOM Samsung Galaxy S20 Ultra 5G adalah 528 dollar AS atau sekitar Rp 7,7 juta.
Dari analisis tersebut ditemukan bahwa kamera memakan porsi yang termahal, yakni 107,5 dollar AS. Kemudian, diikuti dengan komponen prosesor (81 dollar AS) dan modem jaringan telekomunikasi (26,5 dollar AS) dengan total 107,5 dollar AS. Di posisi ketiga, layar AMOLED S20 Ultra memiliki harga 67 dollar AS.
Techinsight pada Oktober 2019 juga telah membedah Apple iPhone 11 Pro Max. Mereka menemukan bahwa BOM dari ponsel tertinggi milik Apple tersebut adalah sekitar 490 dollar AS atau sekitar Rp 7,1 juta.
Prosesor dan modem pada iPhone 11 Pro Max memiliki harga 89,5 dollar AS. Kemudian kamera menjadi onderdil yang paling mahal dengan harga 73,5 dollar AS dan disusul dengan layar seharga 66,5 dollar AS.
Tentu ini terlihat timpang sekali antara BOM dan harga jual kepada konsumen. Untuk diperhatikan, Galaxy S20 Ultra dijual di Indonesia dengan harga Rp 18,5 juta. Sementara iPhone 11 Pro Max dengan konfigurasi terendah, memori 64 gigabita, dijual dengan harga hampir Rp 20 juta.
Namun perlu diingat bahwa selisih antara harga jual dan BOM bukanlah profit. Ada banyak komponen ongkos yang tidak terlihat. ”Ongkos distribusi, pemasaran, operasi, biaya sewa kantor dan toko, hingga pegawai,” kata Pei.