Menguji Ketahanan Seni di Tengah Pandemi
Artjog 2020 berlangsung secara daring sekaligus luring dengan penerapan ketat protokol kesehatan. Ajang ini menjadi pembuktian ketahanan dan daya kreasi para seniman yang sama sekali tak surut di tengah pandemi
Di tengah pandemi Covid-19, pameran seni rupa Artjog berlangsung dalam suasana sunyi. Tak ada ingar-bingar saat malam pembukaan, tak ada kerumunan pengunjung di ruang pameran. Namun, pameran ini membuktikan, karya seni tetap bisa memberikan kejutan, meski dilahirkan dalam situasi penuh keterbatasan.
Sejumlah gambar yang ditempelkan ke dinding itu menyajikan sosok-sosok dengan wujud aneh. Ada manusia dengan mulut buaya yang menggendong tabung oksigen. Ada orang yang di kepalanya tertancap antena televisi, juga sosok raksasa yang terperangkap di sebuah bangunan.
Di antara penampakan-penampakan ganjil itu, muncul berbagai benda yang akrab dengan diri kita beberapa waktu belakangan, misalnya masker, alat pengukur suhu pistol termo, serta pelindung wajah alias face shield.
Baca juga : Pembatasan Sosial Tidak Melumpuhkan Kegiatan Berkesenian
Apakah sosok-sosok aneh itu adalah metafora tentang perilaku kita yang penuh keganjilan di masa pandemi? Bisa jadi iya, tetapi bisa juga tidak. Sebab, pemaknaan terhadap karya seni memang bisa sangat beragam.
Yang jelas, kumpulan gambar karya seniman Agung Kurniawan itu merupakan salah satu karya yang patut diperhatikan dalam pameran Artjog 2020. Pameran yang digelar di Jogja National Museum, Yogyakarta, pada 8 Agustus hingga 10 Oktober 2020 itu mengambil tema ”Resilience”. Pameran ini diikuti 78 seniman dari sejumlah kota di Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, Artjog telah menjadi salah satu pameran terpenting dalam dunia seni rupa Indonesia. Pameran yang digelar pertama kali tahun 2008 dengan nama Jogja Art Fair itu bahkan kerap dianggap sebagai ”Hari Raya Seni Rupa Indonesia”. Tak mengherankan, penyelenggaraan Artjog tiap tahun selalu disesaki pengunjung.
Tahun ini, Artjog awalnya direncanakan digelar pada 23 Juli-30 Agustus 2020 dengan tema ”Time (to) Wonder”. Namun, kehadiran pandemi Covid-19 membuyarkan rencana itu. Pameran Artjog dengan tema ”Time (to) Wonder” pun diundur tahun depan. Sebagai pengganti, digelar pameran bertema ”Resilience” untuk melihat bagaimana resilience atau ketahanan seniman dan karya seni di tengah pandemi Covid-19.
Direktur Artjog Heri Pemad mengatakan, Artjog tahun ini awalnya direncanakan digelar secara daring. Namun, keputusan itu kemudian diubah karena pameran daring dianggap membuat pengunjung tak bisa menikmati karya seni secara maksimal.
Baca juga : Salon Artjog
”Setelah saya melihat beberapa pameran virtual atau daring di tempat lain, kok enggak ada rasanya dan kita seperti melihat animasi,” katanya dalam konferensi pers, Sabtu (22/8/2020), di Yogyakarta.
Oleh karena itu, Artjog tahun ini pun digelar dengan kombinasi daring dan luring. Selain menikmati karya secara daring melalui laman Artjog, pengunjung dapat hadir langsung. Akan tetapi, pengunjung yang hadir langsung mesti melakukan reservasi lebih dulu serta menaati protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
Pengunjung dari luar kota juga mesti menyertakan surat hasil tes cepat nonreaktif atau tes usap negatif. ”Jumlah pengunjung juga dibatasi sekitar 100 orang per hari. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, pengunjung Artjog sekitar 2.500 orang setiap hari,” ungkap Heri.
Dua dimensi
Kebanyakan karya yang ditampilkan dalam Artjog tahun ini merupakan karya dua dimensi. Kondisi ini agak berbeda dengan pameran tahun-tahun sebelumnya yang kerap menghadirkan seni instalasi ukuran besar, karya media baru yang memadukan seni dan teknologi, serta karya interaktif yang membutuhkan interaksi dengan pengunjung.
Salah seorang kurator Artjog, Bambang ”Toko” Witjaksono, mengatakan, tahun ini, karya-karya yang bersifat interaktif memang ditiadakan untuk memenuhi protokol kesehatan. ”Karya-karya yang sifatnya interaktif, terutama yang harus dipegang, sebisa mungkin ditiadakan karena alasan kesehatan,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, Artjog tahun ini juga menjadi batu ujian bagi karya seni rupa dua dimensi. Setelah hiruk-pikuk karya seni media baru di belantara seni rupa Indonesia beberapa tahun terakhir, apakah karya dua dimensi masih memiliki daya kejut?
Karya-karya yang sifatnya interaktif, terutama yang harus dipegang, sebisa mungkin ditiadakan karena alasan kesehatan
Jika kita melihat gambar karya Agung Kurniawan, daya kejut itu tampaknya masih ada. Daya kejut itu pula yang kita temui dalam lukisan ”Paused” karya Wedhar Riyadi. Tak seperti beberapa lukisan lain yang membicarakan pandemi secara gampangan, lukisan itu berhasil menghadirkan nuansa horor pageblug Covid-19 tanpa harus menampilkan gambar masker yang sudah terlalu pasaran.
Dalam lukisan berukuran 200 cm x 145 cm itu, Wedhar menyajikan sosok manusia yang duduk di kursi sambil menutupi tubuhnya dengan selubung kain. Yang menarik, obyek-obyek dalam lukisan itu ternyata terpotong-potong dan tak menyatu secara utuh. Potongan-potongan gambar itu mungkin menjadi perlambang yang pas tentang kehidupan kita yang ”tercerai-berai” dan tak lagi sinkron saat pandemi terjadi.
Karya lain bertema pandemi yang juga menyajikan sudut pandang tak biasa adalah lukisan karya Citra Sasmita. Lukisan berjudul ”Timur Merah Project V: The Verge of Mortal Ground” itu dibuat di atas kain kanvas yang biasa digunakan para pelukis tradisional dari wilayah Kamasan, Bali. Dalam lukisan yang digantung secara melingkar itu, Citra berupaya menyajikan situasi pandemi melalui makhluk-makhluk mistis yang gentayangan di hutan.
Sementara itu, perupa Eko Nugroho membangun ”museum” mini berisi karya-karya bordir ukuran besar yang selama ini menjadi salah satu ciri khasnya. Dalam karya bertajuk ”Museum of New Norm” itu, Eko menyoroti perubahan perilaku manusia yang terjadi akibat pandemi. Salah satu yang disinggung Eko adalah kondisi pandemi yang memaksa manusia menjadi sosok soliter karena mesti menjauhi orang lain secara fisik demi menjaga kesehatan.
Baca juga : Protokol Kesehatan untuk Berkunjung ke Museum pada Era “New Normal”
Namun, tentu saja karya-karya di Artjog 2020 tak seluruhnya merespons pandemi Covid-19. Sejumlah seniman tampak masih setia mengeksplorasi tema yang telah mereka tekuni sebelumnya. Melati Suryodarmo masih menyajikan refleksi soal tubuh, Uji ”Hahan” Handoko tetap menyoal pasar seni rupa, sedangkan Kemalezedine melanjutkan eksplorasinya terhadap sejarah seni lukis Bali.
Karya-karya yang tak berkait dengan pandemi itu menunjukkan, seniman dan karya seni tak perlu selalu didikte oleh situasi terkini. Kecenderungan tak latah pada tema aktual itu juga turut menjadi bukti ketahanan seni di tengah pandemi.