Si Dingin Pelipur Gundah
Tanpa susu sapi dan bahan-bahan artifisial, es krim dan gelato nabati justru memikat hati. Kuncinya ada pada rasa.
Es krim dan gelato nabati sedang menapaki tangga popularitas. Penggemarnya pun meluas, tak hanya para pelaku pola makan vegan. Tanpa susu sapi dan bahan-bahan artifisial, es krim dan gelato nabati justru memikat hati. Kuncinya ada pada rasa.
Selasa (1/9/2020) siang yang panas ‘lumer’ di jajaran gelato vegan yang tersaji di Orvia, Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Utara. Ada teh hijau ibu, rujak, bandrek cokelat, martabak kacang dan kue jahe ayah. Uap dinginnya menguar, mengantar kesegaran ke indra penciuman. Rasanya tak sabar segera menyendok masuk ke mulut.
Seperti warna teh, teh hijau ibu berwarna cokelat muda samar. Teksturnya tampak ringan, tidak terlihat padat dan lengket. Saat menyentuh palet lidah, rasa teh melati segera tercecap. Ringan, menyegarkan, dengan jejak melati yang khas.
Begitupun pada gelato rujak yang berwarna lebih cokelat. Saat disendok, rasa kacang khas bumbu rujak segera menyeruak, berkelindan dengan rasa manis yang kokoh dan cuilan buah-buah segar. Jejak pedasnya menyentil sebagai after taste. Huhah…!
Tak ada jejak rasa ‘gemuk’ atau ‘enek’ di dua varian itu. Manisnya pun pas, tidak berlebihan. Termasuk pada martabak kacang yang dalam benak berbahan berat seperti telur dan tepung. Pun pada bandrek cokelat dan kue jahe ayah. Gelato yang dingin ini justru mengantar kehangatan jahe.
Kelima varian gelato vegan milik Orvia itu memang berada di jajaran favorit konsumen yang 80 persennya justru didominasi konsumen umum. Sejak awal, Orvia tidak mengkhususkan produknya untuk pasar vegan.
“Kita lebih ingin mengangkat rasa Nusantara karena kita bikin gelato untuk semua orang. Bukan untuk pasar vegan atau orang yang punya kendala sensitivitas atau alergi pada jenis makanan tertentu. Ini vegan yang tidak seperti vegan. Dari rasanya, orang nggak akan paham kalo ini vegan,” ujar pemilik Orvia, Avidyarahma.
Bahan utama yang digunakan adalah susu kedelai dan susu kacang mede. Selain itu, tidak ada pengawet, perasa dan perwana artifisial, juga meniadakan gula dan garam rafinasi. Bahan-bahan yang digunakan semuanya lokal dengan kualitas terbaik, seperti filosofi gelato dari negeri asalnya Italia.
Saat memulai produksi gelato vegan tahun 2015, Avi memulainya dengan bahan dasar pisang. Setelah itu dia berkreasi menggunakan susu almond, kedelai, mede, hazelnut, hingga macademia, sampai menemukan kecocokan pada susu kedelai dan mede. “Teksturnya lebih creamy,” kata Avi yang menimba ilmu di Gelato University, Bologna, Italia.
Dari semula hanya empat rasa, Avi terus berkreasi hingga menemukan banyak varian baru. “Riset paling lama teh melati ibu. Sampai 9 bulan,” katanya.
Menurut Avi, tidak semua bahan secara harfiah bisa ditransfer ke gelato. Ada beberapa bahan yang bila dimasukkan justru menghasilkan rasa berbeda. “Seperti rujak, kita menyederhanakan dengan elemen yang ada pada rujak. Segarnya, asem, manis, sama pedasnya. Itu aja yang di-highlight,” katanya.
Menurut Avi, dibanding tahun lalu, tahun ini ada ledakan respons yang cukup besar pada gelato vegan. “Tahun lalu, banyak orang masih takut dengan kata-kata vegan. Tahun ini beda banget, orang malah mau coba,” katanya.
Ledakan respons juga terjadi di Oma Elly. Di restoran Italia ini, permintaan es krim nabati terus naik sejak April 2020. Pemilik Oma Elly, Andry Susanto, kadang sampai harus turun tangan. “Informasinya menyebar dari mulut ke mulut,” tutur Andry.
Pembelinya tak hanya konsumen vegan dan vegetarian, tetapi juga konsumen non-vegan dan non-vegetarian. Andry memang tak memposisikan es krimnya sebagai santapan vegan atau vegetarian. “Dibuat enak supaya semua suka. Universal. Saya enggak ngorbanin rasa. Itu nomor satu,” ujarnya.
Es krim nabati buatan Andry itu dibuat sesuai standar dengan istilah artigianale di Italia yang merupakan salah satu kiblat es krim dunia. Kata itu diterapkan dengan menggunakan bahan natural 100 persen. Andry yang pernah belajar membuat es krim di Italia, tak memakai pengembang dan bahan olahan sama sekali.
“Saya ikut ketentuan bikin es krim di Italia, tanpa susu dan krim. Bedanya paling gampang, kalau makan es krim ini meski banyak enggak enek,” kata Andry yang neneknya berdarah Italia.
Saat ini, Oma Elly sudah memiliki 15 varian rasa. Antara lain cokelat, pisang, teh hijau, mangga dengan ketan thailand, mint, stracciatella dan mojito. Varian favorit konsumen adalah beetroot, kelapa vanila, melon, dan kelapa kopi. Per 500 gram, harganya Rp 125.000. “Rasa sudah ketemu yang pas. Paling mahal buat saya membuat resep. Susah menentukan komposisinya,” katanya.
Saat mulai membuat es krim nabati April lalu, hanya ada tiga varian. Mesin gelato kecil pertama Andry hanya berkapasitas 1 liter per 40 menit. “Bikin resep dari nol. Paling penting pantang mundur karena setiap resep baru lulus setelah dicoba hingga 10 kali. Seperti rasa mint. Pernah direndam atau diblender, rasanya kayak odol,” ujar Andry.
Tak dinyana, respons konsumen luar biasa hingga Andry harus meminjam mesin gelato besar dari Italia agar bisa mengejar produksi. Andry mengangkut mesin itu dengan biaya jutaan rupiah karena harus menggunakan truk dan forklift, serta mempekerjakan buruh bangunan. “Pasang instalasi listrik dan air juga. Syukurlah, produksi memadai,” ucapnya.
Kini, kapasitas produksi mesin gelato yang dimiliki Andry sudah mencapai 150 liter per hari. Andry bahkan berencana meluncurkan delapan rasa baru menggunakan susu almond seperti cashew, dark chocolate, hojicha, earl grey, kopi, alpukat, dan stroberi.
“Kalau dihitung per porsi atau 100 gram, harganya sekitar Rp 25.000 hingga Rp 30.000,” katanya.
Menurutnya, permintaan es krim yang melejit, didorong oleh makin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat. “Sekarang, makanan nabati memang makin booming. Sebelumnya, es krim dipandang enggak sehat karena dianggap berkalori tinggi,” katanya.
Memberi pilihan
Ossiatzki (53) memulai usaha kudapan dingin segar khas Italia, gelato dan sorbet dengan jenama Ziato sejak tahun 2016. Sejak awal Ossiatzki juga tak terlalu fokus pada pasar tertentu. Konsumen diberi pilihan berupa produk berbahan dasar nabati dari susu kacang almond, juga produk berbahan hewani berupa susu sapi kualitas premium.
“Semua produk gelato kami, baik berbahan utama susu sapi maupun susu kacang almond, sama-sama pakai pengental nabati dari bahan rumput laut. Gula yang kami gunakan juga gula tebu. Memang jadi costly untuk gelato nabati,” ujar Oki, begitu ia biasa disapa.
Gelato nabati memang jauh lebih mahal ongkos produksinya, terutama karena bahan baku yang digunakan. Harga susu kacang almond bisa tiga kali lipat dari harga susu sapi, terutama untuk jenis premium.
“Kami punya tiga tingkatan harga gelato, mulai dari kelas populer, premium, dan yang tertinggi supreme. Untuk kemasan 160 gram harga gelato berbahan susu sapi mulai dari Rp 46.000, Rp 76.000, dan Rp 88.000. Nah, untuk gelato berbahan nabati harganya sekelas dengan gelato biasa kelas supreme, Rp 88.000,” ujar Oki.
Saat ini, Ziato memiliki lebih dari 50 jenis varian rasa. Namun, gelato nabati dibatasi 10 rasa, sesuai jumlah yang diminati. Selama pandemi Covid-19, permintaan gelato dan produk sorbet “Ziato” lewat pemesanan daring meningkat tajam hingga dua kali lipat.
Hal serupa terjadi pada Glatuk yang juga langsung menarik minat konsumen dengan produk es krim vegan dan varian cita rasa Indonesia berbahan dasar lokal. Pilihannya, nabati dan non nabati.
Untuk tahap awal, Glatuk memperkenalkan enam rasa, yakni Bali Chocolate, Papua Vanilla Cereal, Speculoos, dan Lemongrass untuk produk berbahan dasar susu. Dua rasa lain, Arumanis Passion Fruit dan Kopyor Coconut adalah produk vegan.
Menurut Co-founder Glatuk, Leonard Utama, munculnya pilihan vegan ini dimaksudkan agar Glatuk dapat menjangkau banyak kalangan. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan di tengah pandemi, membuat mereka berhati-hati mengolah berbagai varian rasa.
“Tak hanya berbahan dasar tumbuhan, tapi kalorinya juga disesuaikan,” ujar Leonard.
Angka kalori tertera di atas kotak pembungkus es krim. Arumanis Passion Fruit yang menggunakan bahan utama mangga arumanis, mengandung 78 kalori. Sedangkan Kopyor Coconut dengan bahan utama santan dan taburan kelapa, mengandung 84 kalori.
“Kalau untuk yang vegan seperti Arumanis, malah keluar manisnya hanya dari mangga saja,” kata Leonard.
Meski tanpa bahan dasar susu dan tanpa krim, tekstur Arumanis Passion Fruit sangat lembut dengan rasa manis yang kuat. Di akhir cecapan, ada rasa sedikit lengket seperti serat mangga, namun tak mengganggu cita rasa. Ah segarnya…
Butuh terapi kebahagiaan di tengah pandemi yang tak kunjung usai? Cobalah nikmati es krim dulu..