Di laman resminya, Dior mencantumkan komitmennya untuk bekerja sama dengan para ahli dan perajin lokal untuk melindungi tenun endek sebagai aset budaya.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan
·5 menit baca
Koleksi busana musim semi dan musim panas 2021 Dior di Paris Fashion Week layak membuat warga Indonesia berbangga. Dari 86 tampilan yang dihadirkan, kain tenun ikat endek dari Bali mendominasi sebagai salah satu material bahannya. Dior sengaja menghadirkan tenun ikat sebagai penghormatan terhadap sejarah awal produksi kain.
Pergelaran Dior ini semakin magis dengan penampilan paduan suara berikut labirin kata-kata yang hidup di panggung megah dengan instalasi serupa jendela kaca patri katedral gotik di Jardin des Tuileries, Paris, Perancis, Selasa (29/9/2020). Jendela kaca patri kontemporer tersebut dihiasi gambar karya penting dalam sejarah seni dari Giotto hingga Piero della Francesca.
Ingin menjadi bagian dari saksi kekayaan pluralistik budaya dunia lewat suara perempuan, Direktur Kreatif Dior Maria Grazia Chiuri sengaja memadukan dua teknik produksi kain kuno. Di laman Dior, teknik yang dipakai di jantung koleksinya tersebut disebut sebagai: ikat endek dari Bali dan chiné yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-16.
Kedua teknik tersebut terdiri dari pewarnaan benang pakan (benang yang disisipkan melintang di antara untai benang lungsin) sebelum proses menenun yang kemudian menghadirkan siluet unik. Awalnya dibuat di Asia, Dior menyebut bahwa kain leluhur sarat lambang ini telah menghidupkan berbagai variasi dan penemuan kembali.
Kehadiran motif tenun endek kemudian berhasil memberikan wajah berbeda pada koleksi Dior. Meskipun tidak menyebutkan nama-nama motif dari sembilan motif kain endek yang digunakan, motif kuno bunga geringsing tampak hadir di antara tumpukan motif lainnya. Beragam motif itu dipadupadankan serupa kolase dalam satu tampilan.
Kolase perpaduan antara tenun ikat endek dan chiné juga hadir seperti terlihat pada salah satu tampilan mantel mengembang yang memunculkan garis trapeze yang menjadi favorit Chiuri. Garis trapeze pada mantel berbahan benang sutra ini merupakan kekhasan adibusana Dior yang diciptakan tahun 1959 oleh desainer Yves Saint Laurent.
Mantel jaket tersebut semakin terasa spesial karena dapat dikenakan bolak-balik pada kedua sisinya. Satu sisi menggunakan material kain teknik chiné yang menciptakan pola warna pastel yang kabur dan samar. Ibarat perjumpaan yang memesona, sisi lainnya menghadirkan wastra kebesaran ala Bali yang cocok dipakai sehari-hari: endek.
Penegasan feminitas
Baik teknik chiné maupun ikat endek dipilih karena pengerjaannya sangat halus. Kehadiran tenun juga merupakan cara Dior untuk mengekspresikan dan menegaskan feminitas. Pendekatan dan dialog yang dilakukan Dior dengan perajin tenun perempuan di Bali memungkinkan warisan budaya tenun ini menyebar ke seluruh dunia.
Dalam koleksi kali ini, Chiuri juga mengubah siluet Dior secara paradoksal dengan tetap menghormati warisan pendahulunya. Siluet baru Dior ini sangat jauh dari tampilan Dior sebagai rumah mode yang ide konstruksinya cenderung sangat kaku. Pikiran lantas diterjemahkan menjadi potongan. Bentuk didefinisikan ulang untuk memicu sensasi.
Siluet baru itu, antara lain, hadir dalam wujud jaket yang dipadukan dengan kemeja dan celana. Dengan semangat ini, antara lain hadir struktur jaket bar berupa atasan mirip jas yang diinterpretasi ulang dari siluet Dior musim gugur dan musim dingin 1957.
Kemeja pria juga diciptakan kembali menjadi tunik atau gaun. Gaun kemeja berlambang Dior dipasangkan dengan celana panjang atau celana pendek bergaris lebar. Jaket menggelembung menjadi gaun, kemeja memanjang menjadi tunik, dan celana panjang semakin lebar. Koleksi juga dilengkapi dengan syal dari kain perca motif bunga, dihiasi dengan potongan renda untuk efek kolase romantis, hingga aksesori tas yang terbungkus tenunan endek.
Maria Grazia Chiuri harus berinteraksi dengan banyak perempuan lain terkait tema tertentu dalam proses membayangkan dan menghadirkan koleksi tersebut. Hal ini dilakukannya terutama ketika menghadapi tantangan mode di waktu pandemi yang serba tidak pasti dan tidak menentu.
Dalam pencarian ini, ia bertemu dengan perancang busana asal Italia, Nanni Strada. Sejak 1960-an menjadi desainer, Strada menciptakan karakter busana yang kuat dalam hal konsep dan desain. Dari Strada, Chiuri belajar tentang konstruksi busana yang merepresentasikan kenyamanan di tiap bagian tubuh.
Pertemuan tersebut, antara lain, melahirkan mantel nyaman yang menghadirkan motif-motif endek yang pada dasarnya juga merupakan gaun. Berpotongan demikian longgar, gaun-gaun itu benar-benar sesuai dengan prinsip pembebasan tubuh yang digaungkan Chiuri.
Kolase kreatif
Perempuan lain yang ditemui Chiuri adalah seniman Italia, Lucia Marcucci. Sebagai seniman, Marcucci menggunakan kolase sebagai elemen kreatif. Aspek kolase ini yang kemudian diadopsi dan benar-benar merepresentasikan koleksi musim semi dan musim panas Dior 2021.
Kolase tersebut tidak hanya terkait dengan bentuk, tetapi juga pembelajaran tentang material kain yang digunakan. ”Di mana elemen dari beberapa budaya muncul bersamaan untuk merayakan sejarah tekstil. Dan bagaimana sejarah ini merefleksikan sejarah kemanusiaan,” kata Chiuri yang juga adalah ahli ergonomis mode terkemuka.
Bagi Chiuri, koleksinya adalah hasil refleksi konseptual dan berlapis. Dengan komitmen turut melestarikan warisan dunia, koleksi ini sekaligus memberi penghormatan kepada keanekaragaman keahlian dari penenunnya. Di laman resminya pula, Dior mencantumkan komitmennya untuk bekerja sama dengan para ahli dan perajin lokal untuk melindungi tenun endek sebagai aset budaya.
Mereka juga menyatakan komitmen untuk memastikan teknik tenun yang berharga ini terus berjalan. Laman Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris menyebutkan, koordinasi dan kerja sama antara KBRI Paris dan Christian Dior telah dilakukan secara erat untuk memastikan penggunaan kain endek tersebut sesuai dengan aturan budaya dan adat Bali.
Setelah Dior melirik endek, perkumpulan para pencinta tenun Cita Tenun Indonesia (CTI) mencatat tingginya minat masyarakat untuk melirik tenun endek. Konsumen, antara lain, mencari tenun endek ini di Galeri CTI yang juga menjual produk tenun.
Sejak 2009, CTI sudah menggelar pelatihan bagi perajin tenun di Bali. ”Endek dipakai oleh Dior itu positif, tetapi harus ada benefit untuk perajin tenun ikat endek Bali dan Pemerintah Indonesia. Sebaiknya ada pelatihan dan pendampingan dari Dior untuk meningkatkan kualitas dan diversifikasi kain untuk musim dingin,” kata Sekjen CTI Intan Fauzi.
Menurut Intan, pemerintah juga harus memberi perlindungan hukum atas sembilan motif endek yang digunakan Dior. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas hak cipta seni tenun endek harus dijamin. Sejak 2010, CTI bersama Pemerintah Indonesia telah berinisiatif mengajukan tenun sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. Namun, di persidangan, masih ada 11 poin yang harus ditindaklanjuti oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.