Pembajakan Film, Masalah Usang yang Tak Kunjung Usai
Pembajakan film yang terjadi puluhan tahun di Indonesia bagai benang kusut yang sulit terurai. Sudah saatnya mengakhiri praktik ilegal ini demi pertumbuhan industri perfilman nasional.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembajakan film sudah lama meresahkan sineas. Bukan cuma karya yang dicuri, melainkan juga tenaga, pikiran, dan uang. Masalah ini langgeng selama beberapa dekade terakhir. Teguran dan pemblokiran situs film bajakan tampaknya tidak lagi cukup.
Pada 1986, sejumlah produser film membahas pembajakan dengan kaset video. Melalui pengacara Henry Yosodiningrat, mereka menyurati Kepala Polri karena kasus ini dianggap berskala nasional; mengancam keberlangsungan industri film Tanah Air. Surat juga disampaikan ke Komisi I DPR. Peristiwa ini ditulis Kompas, 19 April 1986.
Pembajakan film, seperti Arie Hanggara (1985) dan Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986), diduga dilakukan secara profesional dan besar-besaran. Video bajakan beredar tak lama setelah film rilis. Bahkan, ada video bajakan yang keluar lebih dulu sebelum film resminya tayang di bioskop, misalnya Melintas Badai (1985).
Sutradara Melintas Badai, almarhum Sophan Sophiaan, menelusuri kasus ini. Ia malah menerima telepon bahwa pembajak punya ”backing orang gede”. Henry Yosodiningrat juga menerima telepon bernada teror. Salah satu penelepon yang mengaku sebagai pengusaha sewa video mengatakan, usaha Henry memerangi pembajakan akan sia-sia.
Saat itu, Kepala Polri Anton Soedjarwo menegaskan kasus pembajakan film harus diusut tuntas. Ia berjanji akan mengirim surat kepada Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman agar kasus ini diperhatikan. Hukuman yang dijatuhkan juga jangan terlalu ringan. Menurut Rancangan Undang-Undang Pokok Perfilman saat itu, pembajak terancam hukuman badan 2 tahun ditambah denda Rp 30 juta (Kompas, 10/5/1986).
Produser film kala itu (1986) diminta aktif melapor ke Polri. Alasannya, kasus pembajakan masuk dalam delik aduan. Tanpa pengaduan, polisi tidak bisa bertindak. Kasus pun sulit diteruskan ke pengadilan. Hal ini berlanjut hingga 2020.
Harus mengadu
Hampir empat dekade berlalu, tetapi perangkat hukum untuk pembajakan film masih lebih kurang sama. Pembuat film harus mengajukan aduan kepada pihak berwajib atas karya-karyanya yang dibajak. Mereka harus menempuh proses panjang, mendatangkan saksi ahli, hingga melengkapi dokumen-dokumen. Tidak semua korban pembajakan punya energi, waktu, dan sumber daya untuk itu.
”Sebenarnya semua film Indonesia dan film Visinema Pictures pernah dibajak. Tapi, tidak mungkin semua kasus dikejar karena sumber daya terbatas. Tidak mungkin melakukan itu (mengadu) terus-menerus karena kami tetap harus bekerja,” kata CEO dan pendiri rumah produksi Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko, pada wawancara khusus, Kamis (5/11/2020).
Kendati demikian, ia menilai jalur hukum harus ditempuh. Pembajakan akan terus langgeng jika tidak ada yang membawa pelaku ke pengadilan. Karya intelektual dilindungi dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Visinema telah mengadukan pembajakan atas film Keluarga Cemara (2018) dan Story of Kale: When Someone’s in Love (2020). Pembajak film pertama ditangkap tim siber Mabes Polri baru-baru ini. Pelaku berinisial AFP merupakan ”pemain besar”.
”Dia adalah big fish (pemain besar) yang lihai berpindah-pindah server. Untuk pemain kecil, hati-hati saja, terlebih untuk pembajak yang mengunggah film di media sosial. Itu gampang dilacak,” ucap sutradara Story of Kale: When Someone’s in Love itu.
Adapun pelaku pembajakan Story of Kale: When Someone’s in Love masih dikejar. Identitas pelaku sudah dikantongi. Lebih lanjut, Angga menilai pemerintah perlu campur tangan memperkuat perlindungan karya intelektual. Penegak hukum dinilai punya kemampuan mengusut kasus pembajakan. Namun, perlu didukung perangkat hukum.
”Saya berharap kasus pembajakan tidak lagi masuk delik aduan, tetapi delik biasa. Itu agar polisi bisa langsung bertindak. Kita bisa mencegah pembajakan dari awal. Hal ini butuh komitmen politik dari pemerintah,” kata Angga.
Kerugian
Story of Kale: When Someone’s in Love hingga kini ditonton secara legal sebanyak 200.000 kali. Jika publik membayar Rp 10.000 dari Bioskoponline.com, pendapatan kasar film sebanyak Rp 2 miliar. Artinya, pendapatan negara dari pajak sebesar Rp 200 juta. Film yang sama ditonton ilegal sekitar 1 juta kali. Kerugian ditaksir mencapai Rp 10 miliar. Negara seharusnya menerima pajak Rp 1 miliar. Jadi, kerugian akibat pembajakan tidak hanya dialami sineas, tetapi juga negara.
Pada 2017, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia meriset pembajakan film di Jakarta, Medan, Bogor, dan Deli Serdang. Responden mencapai 800 orang berusia 15 tahun hingga di atas 35 tahun.
Mayoritas responden lulusan SMA. Pendapatan mereka berkisar Rp 1,3 juta-Rp 2 juta per bulan. Mereka mampu membayar tiket bioskop, DVD, berlangganan TV kabel, dan platform legal pemutar film. ”Kebiasaan menonton film hasil bajakan tidak ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan ataupun ekonomi. Mereka sebenarnya sanggup membayar produk legal, tetapi mereka melihat lingkungan sekitar terbiasa mengonsumsi konten ilegal. Internet memudahkan mereka mengakses hasil bajakan,” kata peneliti LPEM UI Chaikal Nuryakin (Kompas.id, 5/5/2018).
Menurut penelitian di empat kota tersebut, total kerugian produser bisa mencapai Rp 1,495 triliun per tahun. Adapun kerugian secara nasional diprediksi mencapai Rp 5 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesa (Aprofi) Edwin Nazir pada Jumat (6/11/2020) mengatakan, pembajak film harus ditindak tegas. Uang yang hilang akibat pembajakan sebenarnya bisa dipakai untuk kemajuan industri.
”Pendapatan itu bisa dipakai untuk bikin film-film yang lebih bagus dan berskala besar. Sineas juga bisa bereksplorasi membuat karya yang berbeda sehingga pilihan genre film semakin beragam. Ini bisa terjadi jika tidak ada pembajakan,” kata Edwin.
Biaya produksi film Indonesia tergolong kecil dibandingkan dengan biaya produk serupa dari negara lain. Edwin mencontohkan, anggaran satu film Korea Selatan sekitar Rp 80 miliar. Aggaran film Hollywood bisa lebih besar lagi.
Di kalangan produser Indonesia saat ini, anggaran produksi film secara kasar dibagi jadi tiga kategori. Ketiganya adalah anggaran minimalis (maksimal Rp 4 miliar-Rp 5 miliar), menengah (Rp 5 miliar-Rp 15 miliar), dan besar (di atas Rp 15 miliar). Angka ini fluktuatif mengikuti kondisi ekonomi nasional dan global.
Angga Dwimas mengatakan, pendapatan film yang tidak dibajak seharusnya untuk keberlangsungan industri kreatif. Pembuat film dapat berkarya, begitu pula pelaku industri kreatif yang terlibat, baik desainer, kru film, penyewa kostum, penyedia katering, hingga sopir di lokasi shooting.
”Sudah saatnya semua insan perfilman bersuara agar semua pihak sadar strategisnya perfilman nasional. Supremasi hukum harus ditegakkan. Ini untuk melindungi hak kekayaan intelektual anak bangsa,” kata Ketua Badan Perfilman Indonesia Chand Parwez Servia melalui keterangan tertulis.
Pembajakan film sudah terlalu lama ada. Sudah terlalu banyak kerugian yang dipupuk sejak beberapa dekade lalu. Masalah ini boleh jadi usang, tetapi tidak kunjung usai.