Militansi K-Popers di Dunia Maya, Kekuatan Besar yang Tersembunyi
Mereka semula dianggap remeh dan menyebalkan oleh warganet. Kendati demikian, K-popers punya kekuatan untuk membangun sentimen publik.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Basis penggemar K-pop sangat besar, solid, dan tersebar di penjuru dunia. Gerakan militan mereka tidak hanya menghasilkan topik populer di media sosial. Mereka punya andil besar mengangkat isu publik, seperti RUU Cipta Kerja, Black Lives Matter, hingga berhasil ”mengerjai” Donald Trump saat kampanye.
Penggemar K-pop atau K-popers jadi salah satu pihak yang vokal menolak RUU Cipta Kerja. Menurut data Drone Emprit, pembahasan RUU Cipta di Twitter berlangsung sejak 4 Oktober 2020 dengan kata kunci Omnibus Law, OmnibusLaw, Ciptaker, dan Cipta Kerja. Hanya ada satu kluster besar dari pembahasan ini, yakni kontra terhadap RUU Cipta Kerja. Adapun akun K-popers, badan eksekutif mahasiswa (BEM), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan aktivis termasuk dalam kluster ini.
Andil besar K-popers dalam penolakan RUU ini terjadi pada 5-10 Oktober 2020. Catatan dari Drone Emprit menyatakan, mereka mengangkat sejumlah tagar, seperti #MosiTidakPercaya, #TolakOmnibusLaw, #GagalkanOmnibusLaw, dan #JegalSampaiGagal. Tagar ini menjadi topik populer internasional pada 6 Oktober 2020.
K-popers memahami isu RUU Cipta Kerja dengan membaca. RUU ini kemudian ditolak karena dinilai tidak berpihak ke kepentingan publik.
K-popers Yogyakarta, Yuta (17), bukan nama sebenarnya, turut meramaikan gerakan yang sama. Selain mengunggah tagar di Twitter, ia turut menandatangani petisi daring menolak RUU Cipta Kerja. Ia mengaku tindakannya merupakan bentuk bela negara.
”Semua fandom K-pop bekerja sama untuk tidak memopulerkan konten K-pop di masa itu. Kami berpikir ini sedang ada masalah (dengan RUU Cipta Kerja). Jangan sampai yang trending malah konten K-pop lain,” kata Yuta saat dihubungi dari Jakarta, Senin (9/11/2020).
K-popers asal Magetan, Zika (15), bukan nama sebenarnya, juga salah satu aktor yang meramaikan penolakan RUU Cipta Kerja. Ajakan ”demonstrasi” daring ini ia dapat dari teman-teman di Twitter dan Whatsapp. Menurut dia, ini salah satu cara memperoleh keadilan publik.
”Mencari keadilan memang susah, tetapi apa salahnya membantu (di media sosial)? Saya lumayan rajin menaikkan tagar. Biasanya ada pembagian jam (untuk menaikkan tagar) bagi K-popers. Saya ikut yang pukul 07.00-10.00 dan pukul 15.00 hingga esok paginya,” tutur Zika.
Solidaritas
Militansi K-popers didorong solidaritas yang kuat antar-fandom (kelompok penggemar grup K-pop). Mereka direkatkan oleh kecintaan yang sama pada K-pop. Mereka merasa terhubung karena sama-sama berjuang mendukung idola masing-masing, misalnya dengan streaming musik idola, membeli album, dan lainnya. ”Ada rasa seperjuangan dan tenggang rasa dalam komunitas K-pop,” kata Zika.
Mencari keadilan memang susah, tetapi apa salahnya membantu di media sosial? Saya lumayan rajin menaikkan tagar.
Mudah bagi K-popers untuk memopulerkan suatu isu di Twitter. Menurut Yuta, itu karena basis K-popers sangat besar dan tersebar di mana-mana. Ajakan berpartisipasi di suatu kegiatan atau isu pun kerap disambut positif. ”Banyak yang bilang K-popers itu seperti ’preman’ Twitter,” ujarnya menambahkan.
Aksi K-popers turut membatasi pembicaraan populer yang merugikan pihak tertentu. Topik yang sedang tren mereka unggah kembali dengan kata kunci sama, tetapi dilengkapi dengan video yang tidak relevan, yakni video K-pop. Berkat ini, topik merugikan bisa disamarkan dan sulit dicari makna aslinya.
Aksi mereka yang terakhir ini, misalnya, bisa terlihat saat media sosial di Indonesia diramaikan oleh isu tentang video porno dengan pelaku yang diduga mirip artis. Pencarian dan topik tentang artis yang diduga ada dalam video tersebut di media sosial kemudian dialihkan oleh para K-popers ini dengan unggahan-unggahan mereka sehingga video porno tersebut justru tak menyebar lebih luas lagi.
Hal serupa dilakukan K-popers di Amerika Serikat saat demonstrasi Black Lives Matter. Mereka membanjiri aplikasi polisi iWatch Dallas dan aku Twitter Dallas Police Department dengan berbagai macam konten K-pop. Aksi ini menyebabkan aplikasi Dallas Police Department itu crash.
Contohnya ada di gerakan mereka terhadap Trump. Terlepas dari etis tidaknya tindakan mereka, kita harus mengakui bahwa ada kekuatan publik yang harus diperhitungkan.
Ini dilakukan K-popers untuk melindungi pengunjuk rasa dari kekerasan polisi. Dallas Police Department sebelumnya meminta masyarakat agar melaporkan aksi unjuk rasa BLM yang dinilai ”ilegal” melalui aplikasi iWatch Dallas secara anonim (Kompas, 8/7/2020).
Mengerjai Trump
Para pengguna Tiktok dan K-Popers mengklaim sebagai dalang prank yang terjadi Juni 2020 terhadap Presiden AS Donald Trump. Mereka menyabotase kampanye Trump di BOK Center, Tulsa, Oklahoma dengan memesan tiket dalam jumlah banyak tanpa niat untuk hadir. Ada 19.000 kursi di sana, tetapi kurang dari 6.200 kursi yang akhirnya terisi (Kompas, 22/6/2020).
Seorang mahasiswa dan pendukung partai demokrat di AS mengatakan, ia punya alasan khusus untuk berpartisipasi pada prank atau lelucon. Itu karena Tulsa punya sejarah kelam terhadap rasisme dan kekerasan terhadap orang berkulit hitam di AS 100 tahun lalu.
Padahal, warga AS sedang menyoroti kasus rasisme setelah kematian lelaki berkulit hitam, George Floyd, di bawah lutut polisi. Sorotan itu berubah menjadi gerakan nasional bertajuk Black Lives Matter.
”Saya mendengar prank itu dari penggemar BTS. Begitu saya melihatnya di Tiktok, saya rasa ini akan jadi besar,” katanya seperti dikutip dari Reuters.
Kekuatan besar
Pakar budaya digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan, jumlah K-popers yang besar dan tersebar menjadi kekuatan penekan ketika dibutuhkan. ”Contohnya ada di gerakan mereka terhadap Trump. Terlepas dari etis tidaknya tindakan mereka, kita harus mengakui bahwa ada kekuatan (publik) yang harus diperhitungkan,” ujarnya.
K-popers dinilai sudah mengerti posisi tawarnya di dunia maya. Adapun realitas di dunia nyata akan terpengaruh dari dunia maya. Menurut Firman, kekuatan massa K-popers tidak bisa diremehkan.
Mereka semula dianggap remeh dan menyebalkan oleh warganet. Alasannya karena sering mengunggah konten seputar idola-idola mereka. Kendati demikian, K-popers punya kekuatan untuk membangun sentimen publik.
”Di era pascakebenaran, substansi kebenaran bukan yang utama, tetapi jumlah pendukung. Sentimen publik yang besar akan menciptakan tekanan dan menggerakkan (massa). Ini adalah kelemahan sekaligus peluang dari dunia digital,” ucap Firman.