”Streaming” Film, Alternatif Hiburan Terbaik Selama Pandemi Covid-19
”Streaming” film jadi kegiatan rutin banyak orang saat pandemi. Kendati tidak bisa disamakan dengan menonton film di bioskop, kegiatan ini cukup mengobati kerinduan publik akan hiburan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengubah banyak kebiasaan manusia. Termasuk salah satunya dalam mencari hiburan. Penutupan bioskop untuk menghindari penularan virus korona tak menyurutkan penggemar film untuk menonton. Platform daring kini jadi pilihan sebagian masyarakat untuk menonton film saat pandemi.
Kendati sensasi yang dirasakan berbeda dengan menonton langsung di bioskop, platform tersebut mengobati kerinduan warga yang rindu akan hiburan.
Mahasiswa Aldian Alfaridz (19) di Jakarta, Minggu (8/11/2020), mengatakan, sudah beberapa bulan terakhir berlangganan platform video on demand (VoD) Netflix. Selain langganan VoD, dia juga mengakses secara legal di laman internet.
”Saya belum tertarik pergi ke bioskop karena tidak tahu apa yang mau ditonton. Toh, selama ini saya masih bisa nonton dari rumah. Mungkin saya baru akan ke bioskop jika film A Quiet Place Part II rilis,” kata Aldian.
Menurut penikmat film Tyas Dwi Arini (26), pilihan untuk berlangganan layanan streaming film Netflix baru masuk akal setelah pandemi. ”Karena enggak ada cara lain untuk menonton, kan? Apalagi untuk penggemar film,” kata karyawan swasta asal Yogyakarta ini. Sebelum pandemi, setidaknya setiap dua pekan sekali ia pergi menonton film di bioskop.
Namun, ada banyak aspek film yang tidak bisa dinikmati secara maksimal melalui layanan streaming, pengalaman audio dan visual jelas menjadi kekurangan utama.
Atmosfer menonton pun tidak bisa terasa seintensif nonton di bioskop. Praktikalitas menjadi keunggulan utama menggunakan layanan streaming di rumah.
Namun, dari semua alasan tersebut, pandemi Covid-19 yang mendorong orang enggan ke bioskop meski keinginan mencari hiburan tetap tinggi. Terlebih saat pandemi, masyarakat di sejumlah kota terpaksa lebih banyak berdiam di rumah karena pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Seperti Tyas yang mengaku tidak mau mengambil risiko terpapar Covid-19 dengan pergi ke bioskop dalam waktu dekat.
Meski demikian, selama delapan bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, sejumlah kota telah melakukan penyesuaian. PSBB yang diterapkan ketat, kini mulai diperlonggar meski penularan virus korona dan jumlah mereka yang terinfeksi masih tinggi.
Ada banyak aspek film yang tidak bisa dinikmati secara maksimal melalui layanan streaming, pengalaman audio dan visual jelas menjadi kekurangan utama.
Ada beberapa kota yang telah mengizinkan bioskop beroperasi kembali, antara lain Yogyakarta, Jakarta, Pontianak, Ternate, Bandung, dan Balikpapan. Protokol kesehatan yang ketat pun berlaku. Kendati demikian, menurut jajak pendapat Kompas pada 26-28 Oktober 2020, minat warga ke bioskop masih rendah. Jajak pendapat dilakukan terhadap 522 responden berusia minimal 17 tahun di 34 provinsi.
Hanya 10,3 persen responden yang akan pergi menonton jika bioskop kembali dibuka di kota mereka. Hampir 70 persen responden tidak akan ke bioskop, sementara 10,8 persen lainnya ragu-ragu.
Tontonan legal
Keengganan masyarakat untuk menonton film langsung di bioskop karena tingginya risiko terpapar Covid-19 membuat alternatif hiburan kini beralih ke platform daring.
Ibu rumah tangga di Balikpapan, Raras (29), memilih menonton film di rumah melalui platform digital. Selain layanan VoD, ia juga mengakses laman pemutaran film legal seperti bioskoponline.com. Ada beberapa film yang ditawarkan di situs ini, seperti Story of Kale: When Someone’s in Love, Kucumbu Tubuh Indahku, dan Pendekar Tongkat Emas. Publik yang ingin menonton bisa menyewa film secara daring selama 48 jam dengan membayar Rp 5.000-Rp 10.000.
”Aksesnya murah dan mudah. Saya bisa nonton di rumah dengan bebas. Sesekali saya hentikan filmnya karena harus mengurus pekerjaan rumah, lalu saya lanjutkan lagi nonton-nya. Pengalaman streaming memang berbeda dengan di nonton langsung di bioskop, tapi ini mengobati kerinduan saya (ke bioskop) di masa pandemi,” kata Raras.
Endang (40), karyawan swasta asal Jakarta Barat, belum berani mengajak istri dan anaknya pergi ke bioskop. Akibat penasaran dengan film Story of Kale: When Someone’s in Love yang populer di Twitter, ia mencoba layanan streaming di Bioskop Online.
”Nonton-nya lebih santai, bisa sambil tiduran dan selonjoran di kasur. Selain itu, kan bisa diskip dulu terus nanti bisa dilanjutkan lagi,” kata Endang.
Apresiasi terhadap pekerja film menjadi alasan utama Endang untuk menggunakan layanan berbayar ketimbang mencari film bajakan. ”Layanan streaming menyediakan film yang berkualitas dengan harga terjangkau. Caranya juga gampang dan tidak ribet,” ujarnya.
Kemudahan menonton
Sutradara Fajar Nugros mengatakan, hal yang krusial dalam kesuksesan layanan streaming adalah kemudahan bagi para penggunanya. Terlebih lagi, dari sisi transaksi berlangganannya. Semakin mudah transaksinya, akan semakin mudah masyarakat melirik layanan streaming.
Menurut dia, layanan streaming legal dan berbayar adalah sebuah bentuk variasi cara menikmati film bagi penonton selain bioskop. ”Ke depannya tentu saja (layanan streaming) adalah variasi produk bagi produser dan sutradara dalam berkarya,” kata Fajar.
Pada 2020 ini, Fajar bersama rumah produksi Starvision merilis serial Yowis Ben The Series yang didistribusikan melalui sejumlah layanan streaming, seperti WeTV dan Iflix. Menurut dia, model distribusi ke layanan streaming menjadi alternatif yang masuk akal selain ke stasiun televisi.
”(Yowis Ben The Series) dapat sambutan baik karena kami juga mendesainnya dengan serius. Hal ini juga karena harus menawarkan hal yang berbeda dari produk televisi dan yang lain juga dari filmnya,” kata Fajar.
Terancam pembajak
Sayangnya, di balik semua kemudahan menikmati tontonan film secara daring selama pandemi Covid-19 ini, tetap saja ada pihak-pihak yang justru tak menghargai kreativitas sineas dan penggiat film dalam menyediakan hiburan di tengah masih khawatirnya orang ke bioskop. Film-film yang ditayangkan secara daring masih saja ada yang membajak.
Dalam wawancara khusus dengan harian Kompas, Kamis (8/11/2020), sutradara dan pendiri rumah produksi Visinema Pictures Angga Dwimas Sasongko mengatakan, harga jual tiket film sudah kompetitif. Ini agar film jadi hiburan yang inklusif bagi publik.
”Penikmat film bajakan itu bukan berarti menonton film secara gratis. Ada ongkos kuota internet yang dikeluarkan untuk mengunduh film. Padahal, film sekarang itu sudah inklusif dan bisa diakses dengan gampang, misal melalui laman Bioskop Online. Saya tidak paham kenapa film-film masih dibajak,” kata Angga.
Menurut riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada 2017, kerugian produser akibat pembajakan mencapai Rp 1,495 triliun per tahun. Ini dihitung dari survei di Jakarta, Medan, Bogor, dan Deli Serdang. Sementara kerugian secara nasional bisa mencapai Rp 5 triliun.
Dewan Pembina Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Mira Lesmana mengatakan, pembajakan harus ditangani serius. Ada kerugian nyata yang dialami industri film dan kreatif. Penanganan serius tidak hanya untuk pembajakan film, tapi juga untuk berbagai industri yang mengalami hal serupa.
”Kita harus menindak tegas para pembajak dan bersama bergerak mengubah pola pikir masyarakat. Kita perlu terus beri pemahaman tentang pentingnya menghormati hak kekayaan intelektual,” kata Mira dalam keterangan tertulis.