Jauh sebelum masa pandemi, di halaman budaya Kompas Minggu ini saya menulis sebuah esai bertajuk ”Ilusi Globalisasi, Mantra Visual dan Mimikri yang Mengelabui” (2009), mengungkapkan bahwa kemajuan dunia audiovisual di era digital memang tak selamanya menjadi rahmat. Melekat dalam media-media modern itu sebentuk kecanggihan yang penuh godaan manipulasi; melalui ketajaman mata kamera dan seperangkat teknologi di studio, sebuah peristiwa nyata bisa dikemas sedemikian rupa sehingga hadir lebih estetis, lebih imajinatif dari realitas yang sebenarnya.
Kehadiran teknologi informasi memicu perubahan segala lini. Dan gawai adalah keniscayaan tak terelakkan; secara serentak dan seketika dapat menghubungkan manusia dari belahan bumi mana pun melalui streaming ataupun suguhan peristiwa secara daring—mengubah konsep ruang dan waktu; disadari atau tidak, menghadirkan realitas baru; sebentuk realitas virtual.
Seturut itu, Covid-19 merundung masyarakat, berikut penerapan social distancing (pembatasan sosial) dan kewajiban prokes (prosedur kesehatan). Tidakkah hakikatnya pandemi sejagat ini kian menegaskan keberadaan realitas virtual, selain realitas senyatanya yang kasatmata dan realitas imajiner (dunia imajinasi pemicu kreativitas). Pada galibnya, realitas virtual bukanlah tiruan keduanya.
Dunia rekaan virtual yang bahkan lebih nyata dari kenyataan menampilkan sebuah rekayasa audiovisual yang kerap bersifat ’manipulatif’, mengaburkan batas yang fiksional dan yang faktual. Penyedia layanan aplikasi berlomba-lomba menawarkan ’dunia fantasia’ tak terbayangkan kepada para pengguna media sosial. Misalnya, seseorang kini bisa berduet nyanyi dengan siapa saja melalui gawai lalu ditonton jutaan orang. Dengan mudahnya siapa saja bersalin rupa menjadi tua atau muda, perempuan menjelma laki-laki atau sebaliknya; menyerupai aktor/aktris idamannya. Bahkan dapat menghapus serta mengganti latar belakang foto, berikut hal menakjubkan lainnya.
Pada dunia simulacra kini yang menghamba digitalisasi ini, bagaimanakah kehidupan kreatif kesenian, khususnya susastra, apakah mengalami dinamisasi atau stagnasi? Pada esainya di Kompas Minggu (8/8/2021), Hasan Aspahani mempersoalkan perihal belum mengemukanya inovator dalam ekosistem kesusastraan, utamanya karya puisi. Tulisannya menyiratkan nada prihatin sesuai seruan tajuknya, ”Wahai, Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian?”
Binhad Nurrohmat, dalam tanggapannya (Kompas Minggu, 22/8/2021) ”Fundamentalisme Puisi”, juga menyoal ada atau tidaknya serta bagaimana reka-baru (innovation) dalam dunia susastra, seraya mengungkapkan bahwa konteks reka-baru puisi pada masa ini berbeda dengan masa lain, misalnya zaman Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Diungkap pula sejauh mana peran pihak legitimator sebagaimana HB Jassin dalam meneguhkan sosok-sosok sastrawan atau penyair ’terpilih’ itu untuk ditahbiskan menjadi ikon-ikon zaman.
***
Di sisi susastra, realitas virtual yang membanjiri keseharian kita dengan labirin kenyataan (melampaui rasa, nalar, dan imajinasi); pada hakikatnya menohokkan tuntutan tentang kebutuhan akan suatu bahasa ungkap baru yang lahir dari suatu cara pandang baru pula. Banyak nilai yang harus dikaji ulang; segala yang dulu dipandang baku dan memuaskan, kini tak kuasa memenuhi hasrat pencaharian akan kesejatian ”kebenaran”. Bahkan, dalam peristiwa bahasa pun, yang dulu terbaca mencekam, kini boleh jadi terbaca datar dan wajar saja.
Perubahan cara pandang itu hanya mungkin diraih apabila telah rekah kesadaran baru betapa berlapisnya realitas yang dihadapi hari ini. Upaya pencarian dan pembaruan itu tidak cukup hanya dengan mengedepankan inovasi (reka-baru) sebatas penggalian stilistik, estetik, ataupun ragam tematik, melainkan menyarankan pentingnya paradigma baru.
Percepatan perubahan yang dipicu laju kemajuan teknologi informasi itu mendorong terjadinya ’chaostic sosial kultural’, di mana identitas diri tertransformasikan menuju sebuah wilayah sosial kultural yang tak berjuntrung atau tak jelas arahnya, bahkan tak tertutup kemungkinan banyak pribadi teralienasi, kehilangan sikap kritis dan terbawa dalam beragam bentuk amnesia sosial. Tampilan audiovisual dalam gawai bersifat ritmis dan sugestif, lambat laun ’menyulap’ pemirsa, dari sang subyek yang merdeka berubah menjadi obyek yang tersandera; melahirkan masyarakat yang kian obsesif dan delutif.
Rekahnya kesadaran baru itu didasari kenyataan sekaligus pertanyaan, tentang bagaimana rasa kemanusiaan bekerja dalam diri manusia di era digital ini. Ketika peristiwa kematian belum luas ditayangkan dan diviralkan di media sosial, sebuah esai Czeslaw Milosz, pemenang Nobel dari Polandia, yang mengisahkan bagaimana ia menyaksikan seorang gadis remaja Yahudi yang tewas ditembak tentara Nazi, terasa dramatis. Akan tetapi, boleh jadi kini tulisan tersebut, jika dibaca ulang, tak sepenuhnya seberpengaruh dulu. Atau malahan menimbulkan sensasi rasa yang tak jauh beda dengan ketika pemirsa ”menikmati” tayangan kekerasan yang setiap hari hadir di televisi atau aneka kanal media sosial.
Demikian pula halnya puisi Catetan Th. 1946 atau Kerawang-Bekasi karya Chairil Anwar, atau sajak-sajak pamflet WS Rendra, dan sejumlah puisi penyair kanon lainnya, boleh jadi hadir menyapa khalayak luas era realitas virtual ini dengan sentuhan cita rasa yang tidak sedalam sebagaimana dihayati masyarakat pada era-era sebelumnya.
Tertaut hal ini, walau puisi itu sebuah dunia rekaan, namun pada dasarnya tidak berjarak dari keseharian. Imajinasi yang utuh dalam puisi tersusun dari aneka serpihan pengalaman, remah angan dan juga pengharapan—bagian tak terpisahkan dari cara kita bersikap menghayati hidup dan keseharian. Puisi adalah dunia yang kompleks, bukan rumit akibat kerancuan berbahasa ataupun bernalar dalam menghayati lapis demi lapis kenyataan. Sang ”aku” dalam sajak tak pelak masih memiliki kemerdekaan, tetapi tipisnya batas antara ruang publik dan ruang pribadi menyulitkan siapa pun untuk menjadi sosok individual yang sepenuhnya soliter.
Penyair yang tanggap, dengan kesadaran dan cara pandang baru atas realitas kini yang berlapis itu, barulah terbuka kemungkinan kreatifnya untuk menciptakan karya-karya yang tidak semata dipicu oleh pengalaman berbahasa (intrisik), melainkan juga oleh sensitivitasnya akan suatu percepatan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan sosial-globalnya (ekstrinsik). Melalui bahasa puisinya yang otentik, berkarakter, serta universal berupaya mengungkapkan renungannya secara sistematis melalui sarana artistik serta intelektual dalam suatu dialektika di mana ’sang aku’ adalah cerminan masyarakat, pelaku yang sesungguhnya yang mengalami dan menghayati perubahan.
Warih Wisatsana
Penyair dan kurator