Kebudayaan Sampah
Perubahan budaya kemasan, selain menambah jenis sampah, juga melipatgandakan volume sampah dari waktu ke waktu. Dalam tiga dekade terakhir, budaya kemasan merupakan sumber penghasil sampah paling mencemari ruang publik.
Dari seluruh kehidupan di muka bumi, hanya manusialah makhluk yang membentuk kebudayaan dan menghasilkan berbagai sampah bersamaan dengan terbentuknya kebudayaan-kebudayaan baru.
Mulai dari era Revolusi Industri hingga Revolusi Digital, permasalahan sampah tidak surut dalam agenda pengambil kebijakan dan aktivis lingkungan di beberapa negara. Mereka mencari solusi atas peningkatan jumlah sampah dan dampaknya bagi lingkungan hidup.
Sekian lama tekanan perhatian lebih pada aspek akibat, sedikit pada akar penyebab budaya sampah. Contoh sederhana ketika pemerintah berusaha mengatasi aliran sungai yang berubah menjadi aliran limbah dan sampah di sejumlah daerah. Berbagai cara dilakukan dan teknologi digunakan, tetapi hanya menyentuh persoalan di hilir, belum ke akar persoalan di hulu. Persoalan sesungguhnya tidak hanya bagaimana membersihkan sungai? Tetapi, mengapa sebagian masyarakat kita (individu, rumah tangga, pabrik) tidak berhenti mengotori sungai?
Para pemikir budaya telah lama mengkritik bahwa kapitalisme konsumen bertanggung jawab atas munculnya ekonomi serakah yang perlahan, tetapi pasti terus menggerus kesadaran manusia untuk menjadi homo consumericus. Kesadaran praktis-pragmatis yang dibawanya, misalnya, mendorong hasrat konsumsi yang tak pernah terpuaskan dan budaya konsumsi barang sekali pakai-buang. Mengubah berbagai kebiasaan manusia dari gaya hidup tradisional ke gaya hidup modern. Kebiasaan konsumsi pun berubah drastis, juga di Indonesia.
Sejarah singkat menggambarkan perubahan kemasan produk konsumsi masyarakat disertai peningkatan sampah di kota-kota di Indonesia. Pertama, budaya kemasan sederhana, ditandai masuknya makanan kaleng dan minuman kemasan, semula dalam botol kaca, sejak era 1920-an sampai 1940-an. Kedua, budaya plastik, pasca-kemerdekaan kira-kira sejak era 1950-an, ditandai munculnya penggunaan plastik di Indonesia. Era ini bahan plastik mulai menjadi bagian dari kebutuhan hidup masyarakat. Ketiga, budaya kresek dan saset, sejak era 1990-an, ditandai munculnya kemasan makanan, minuman, sampo, obat dalam bentuk mungil dan sangat praktis bagi konsumen. Gaya hidup konsumsi serba plastik dan budaya saset melipatgandakan jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat, tidak hanya di kota, tetapi juga di desa. Pada era ini, para pemulung mulai menjadi ”gerilyawan” lingkungan hidup.
Budaya saset (bersama budaya kresek) dari bahan yang tidak bisa didaur ulang telah menimbulkan dilema. Di satu sisi, budaya saset bisa disebut seperti ”kemasan untuk rakyat”. Sangat cocok dengan kemampuan ekonomi masyarakat umum di Indonesia. Diecerkan oleh pedagang kecil dan menjadi produk konsumsi bagi mahasiswa indekos, buruh pabrik, pegawai kecil, dan rakyat jelata kerena harganya murah. Serba praktis, baik bagi pedagang maupun pembeli. Tak heran budaya saset juga jadi penopang industri dan iklan.
Akan tetapi, di sisi lain, perubahan budaya kemasan, selain menambah jenis sampah, juga melipatgandakan volume sampah dari waktu ke waktu. Dalam tiga dekade terakhir, budaya saset, kresek, dan minuman botol/gelas plastik merupakan sumber penghasil sampah paling mencemari ruang publik (jalan, lapangan, saluran air/sungai/laut, pantai, pasar, tempat wisata/hiburan).
Ketergantungan masyarakat pada kemasan saset dan bahan plastik lainnya sulit diubah, selain faktor ekonomis, juga karena alasan praktis-pragmatis tadi. Gaya hidup saset kian mengukuhkan ketergantungan pada barang sekali konsumsi-buang, seperti ketergantungan pada kantong kresek. Ketika makanan/minuman saset dan gelas plastik menjadi konsumsi olahan rumahan, jumlah sampah makin bertambah.
Tentu saja sampah rumah tangga, rumah sakit, dan industri yang berbahaya juga menambah runyam. Sampah yang dihasilkan meningkat tajam dan makin menjadi ancaman berbahaya bagi kelestarian lingkungan karena sifatnya yang tidak mudah hancur. Seperti, bagaimana bekas obat kimia, limbah pabrik, sampah elektronik, dan ratusan ribu liter minyak goreng bekas setiap hari diolah/dibuang di kota-kota di Indonesia? Mengapa masih banyak yang membuangnya ke saluran air atau kali?
Keadaban publik
Ketika budaya dan ekonomi daur ulang belum sepenuhnya berkembang, pada masa pasca-PPKM ini, kebudayaan ”nyampah” harus dilawan dengan berbagai cara. Pembuangan sampah di sungai, laut, dan ruang publik yang dilakukan masyarakat berjamaah tentu harus segera dihentikan dengan denda atau sanksi hukum yang tegas. Selama ini buku pelajaran sekolah hanya sibuk mengajarkan aspek kognisi anak, mendefinisikan apa itu kebersihan dan lingkungan hidup. Tidak mengajak anak didik peduli apbila melihat lingkungan kotor (afektif) dan bergerak merawat kebersihan lingkungannya (konatif). Sekolah-sekolah sekian lama hanya mementingkan upacara dan baris-berbaris. Ke depan anak didik harus sering diajak melipat lengan baju mereka, turun ke saluran sekolah, dan membersihkannya.
Jika sekolah bertanggung jawab menumbuhkan keadaban publik, pendidikan budaya lingkungan harus berupa aksi nyata. Sesungguhnya yang terpenting anak didik dilibatkan sejak dini. Jika anak didik menganggap masalah kebersihan lingkungan bukan urusan bersama, misalnya, hanya urusan petugas kebersihan atau ”CS”, mereka akan menjadi ”bos-bos kecil” yang ingin semua beres, ingin dilayani, dan berkuasa. ”Bos-bos kecil” ini ketika besar, alih-alih peduli lingkungan bersih, malah mungkin menjadi pendukung ekonomi serakah, pengotor lingkungan, atau pelaku industri penyebab limbah.
Salah satu kendala yang dihadapi masyarakat dan pemerintah dalam menangani masalah sampah selama ini disebabkan rendahnya keadaban publik dan kebudayaan yang telah terbangun sejak awal pendidikan bahwa urusan sampah adalah urusan petugas kebersihan, bukan tanggung jawab bersama.
Miskinnya keadaban publik ditandai rendahnya kesadaran masyarakat dan pelaku industri dalam memahami hubungan dirinya dengan lingkungan. Untuk membangun koneksi lingkungan, beberapa seniman, misalnya, telah merintis mengubah sampah jadi keindahan karya seni. Ketika rasa estetik, rasa peduli, dan rasa memiliki ruang hidup meluas tidak sebatas ruang privat, saat itu kebudayaan sampah mungkin tidak mendapat tempat dalam ruang publik. Orang akan terbiasa berkata: ”Jangan Anda kotori kota kami? Jangan Anda cemari sungai kami!” Kebangkitan ”generasi pasca-konsumeris” akan mewarnai ruang publik di tengah krisis lingkungan.
IDI SUBANDY IBRAHIM
Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi