Ramai-ramai Mencicipi Rezeki ”Skincare”
Demam ”skincare” atau perawatan kulit melahirkan formulator ”skincare” baru dari aneka latar belakang pendidikan. Pabrik ”skincare” bermunculan, baik di kawasan industri maupun kota kecil seperti Kulon Progo, Yogyakarta.
Industri skincare di Indonesia rupanya sungguh seksi. Tidak heran jika banyak orang masuk ke bisnis ini. Ada yang ingin menjadi peracik formula skincare, mengembangkan jenama lokal, bahkan membangun pabrik skincare.
Lima-enam tahun yang lalu, Valencia Nathania mengikuti program pertukaran mahasiswa di Korea Selatan, negara yang menjadi salah satu ”surga” aneka produk perawatan kulit. Selama di sana, mahasiswa jurusan bisnis itu membuka jasa titip pembelian produk kosmetik Korea yang jenis dan jenamanya banyak sekali. ”Pulang ke Indonesia, aku jadi reseller,” ujar Valencia, Rabu (19/1/2022).
Melihat peluang bisnis perawatan kulit di Indonesia cukup besar, pelan-pelan ia belajar kepada ayah seorang temannya yang memiliki latar belakang meracik ramuan produk perawatan kulit. Hasil racikan Valencia lantas dicoba oleh rekan-rekannya. Ternyata cocok.
Untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan meracik formula produk skincare, ia mengambil kursus di Lembaga Pendidikan Kosmetika dan Estetika. Lalu, ia mengambil diploma di Formula Botanica, London, Inggris, yang bisa dilakukan secara daring. Hanya dalam jangka waktu satu tahun, Valencia mendapat gelar diplomanya. ”Aku nabung untuk belajar itu. Biayanya sekitar Rp 30-an juta untuk dapat sertifikat esthetician,” ujarnya.
Dari situ, ia belajar tentang kandungan dan komposisi bahan skincare yang aman bagi kulit dan lain-lain. Pada 2019, ia percaya diri mendirikan Harlette Beauty yang menawarkan serangkaian produk dasar, seperti sabun pencuci muka, toner, dan moisturizer hasil formulasinya.
Jalan serupa ditempuh Juwanita. Karyawan di sebuah perusahaan besar itu sedang belajar menjadi formulator di Formula Botanica, London, secara daring demi mengejar impiannya menjadi peracik produk perawatan kulit. Biaya per modul sekitar Rp 18 juta dan ada beberapa modul yang harus diambil. Kalau ditotal, jumlahnya puluhan juta rupiah.
”Yang dipelajari banyak, mulai dari pemahaman jenis kulit, ingredients, sampai aturan tentang produksi skincare di setiap negara,” ujar Juwanita, Jumat (21/1/2022), di rumahnya di Cibubur. Ia membuat laboratorium mini di rumahnya, tempat ia bereksperimen membuat racikan produk perawatan kulit.
Ia berencana menekuni bisnis ini setelah pensiun. ”Saya bisa membuat formula skincare dan menjualnya. Enggak perlu punya pabrik. Sekarang banyak pabrik di Indonesia yang menerima pembuatan skincare,” tuturnya.
Tanti Nuryanti (27), ibu rumah tangga di Bandung, Jawa Barat, juga tertarik menjadi peracik alias formulator produk perawatan kulit. Dua tahun terakhir ini, ia bergulat dengan berbagai jurnal penelitian untuk menelurkan formula paling tepat bagi produk perawatan kulit perdananya. Ia berancana meluncurkan produk itu pada Mei 2022.
”Lumayan lama karena harus cari-cari dulu interaksi zatnya seperti apa. Misalnya, mau bikin produk untuk hilangkan flek atau antiaging, racikan zat-zat aktifnya apa saja yang bagus. Enggak cuma satu yang dimasukkan karena kurang efektif. Ada beberapa penunjang lainnya,” ujar Tanti, Rabu (19/1/2022).
Untuk mengetahui tren zat-zat aktif yang banyak digunakan, Tanti sering berdiskusi dengan orang-orang dari pabrik yang menawarkan jasa pembuatan produk kecantikan seperti perawatan kulit dan kosmetik (maklon). Maklon kosmetik, ujar Tanti, kini mudah ditemukan di Bandung.
Tanti cukup paham bagaimana interaksi zat-zat kimia karena ia lulusan Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia di Bandung. Ia juga pernah bekerja di perusahaan obat. Dengan pengetahuan dan pengalaman kerjanya, ia ingin merintis usaha kecantikan dengan produk yang terjangkau tapi aman.
Pabrik aneka jenama
Pasar industri kecantikan dan perawatan diri di Indonesia memang cukup menggiurkan. Situs Statista.com mencatat, pada 2021, pendapatan industri ini di Indonesia mencapai 7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 100 triliun. Sebagian di antaranya berasal dari bisnis produk perawatan kulit. Angka ini diperkirakan akan menembus 9,6 miliar dollar AS pada 2025.
Inilah yang membuat banyak orang berbondong-bondong untuk mencicipi rezeki industri ini, mulai dari sebatas pedagang, peracik, pengembang jenama, hingga pemilik pabrik.
Chrisanti Indiana, Co-Founder dan Chief of Marketing Officer Social Bella, termasuk yang jeli melihat peluang. Ia melihat, banyak tren saat ini bermula dari media sosial (medsos), begitu pula kecantikan. Gaya yang acak bisa menjadi viral hingga jenama besar pun mengikutinya.
Facebook, Twitter, Instagram, hingga Tiktok menampilkan selebritas dengan wajah, kulit, dan tubuh yang bervariasi. Konsep kecantikan menjadi lebih majemuk. ”Semakin bebas. Medsos juga menyediakan kebebasan menjadi kreator konten. Bisa saja yang tak disangka-sangka malah viral,” ucapnya.
Mereka memakai lipstik, maskara, atau bedak. Jutaan pengikut mereka serta-merta terpengaruh dan ikut membeli produk tersebut. ”Apalagi, kosmetika lokal kian menyusul produk luar negeri. Lagi-lagi tren dengan konsumen yang semakin besar minatnya terhadap produk lokal,” katanya.
Saat pandemi, minat untuk memakai kosmetik dan perawatan kulit buatan dalam negeri meningkat. Peningkatan ini, lanjut Chrisanti, antara lain, karena ada gerakan atau kesadaran kolektif untuk membantu usaha domestik agar tidak kolaps dihantam pagebluk.
”Termasuk berhasil juga untuk bidang kecantikan. Pakai merek nasional dan memujinya. Muncullah local pride (kebanggaan lokal),” kata Chrisanti yang mulai membuka toko kosmetik secara daring pada 2015. Tahun 2019, ia membuka dua toko lagi di Jakarta. Kini, tokonya sudah bertambah menjadi 31 toko yang tersebar di 19 kota.
Peluang besar di bisnis ini juga dilihat Adhistia Rizky Dewanti (31). Ketika pandemi Covid-19 melanda dan pemerintah membatasi pergerakan warga, ia melihat pasar produk perawatan kulit justru makin ramai. ”Banyak orang yang hanya di rumah memilih merawat kulit sendiri karena enggak bisa perawatan di klinik atau salon. Saya melihat peluang itu,” ucap Adhistia yang akrab dipanggil Kiki, Rabu.
Kiki berlatar belakang apoteker lulusan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia juga pemilik PT Belle Amanah Sejahtera di Kulon Progo, Yogyakarta, yang memproduksi produk kosmetik dan perawatan kulit sejak 2012. Demi menangkap peluang bisnis produk perawatan kulit yang terus membesar, ia menambah produk perawatan kulit yang dihasilkan. Ia juga berusaha meningkatkan mutu skincare buatan lokal yang, menurut dia, tidak kalah dari produk luar negeri terutama asal Korea Selatan yang membanjiri Indonesia.
Dugaannya tak meleset. Produk perawatan kulit yang diproduksinya laris manis. Belakangan, ia membuka diri menjadi maklon yang siap memproduksi produk perawatan kulit dan kosmetik hasil formula orang lain. Ternyata peminatnya bejibun. Saat ini, perusahaannya bekerja sama dengan 300-an jenama produk perawatan kulit lokal.
”Aku sekarang sibuk sekali karena orang yang ingin membuat brand sendiri maunya macam-macam dan mengajukan formula yang berbeda. Nah, aku harus memeriksa satu-satu dan merekemondasikan pemakaian atau percampuran bahan satu dengan yang lain agar aman dan manjur bagi kulit,” ungkapnya. Bagaimanapun, katanya, keamanan produk menjadi hal paling penting bagi dirinya.
Sebagai maklon, ia tidak hanya memproduksi produk milik jenama lain, tetapi juga ikut mengurusi bisnis mereka, mulai dari pembuatan kemasan, mencari vendor untuk pemasaran, hingga mengurus media sosial untuk penjualan. ”Kalau ada pertanyaan dari konsumen, misalnya, cara pemakaian yang benar, kami yang menjawabnya karena yang tahu, kan, kami,” kata Kiki yang menyebut pola kerjanya dengan pemilik jenama sebagai kemitraan.
Baca juga : Cantik Alami Tanpa Pretensi
Untuk bahan pembuatan produk perawatan kulit, lanjut Kiki, sebagian besar merupakan bahan lokal. Namun, bahan lainnya mesti impor, yakni bahan campuran untuk mempercepat kinerja komponen beberapa bahan. ”Dari riset saya seperti itu, ya. Saya belum menemukan zat pengaktif dari dalam negeri,” lanjutnya.
Yang penting bijak
Dokter kecantikan Nanang Masrani melihat industri kecantikan lokal yang tengah berkembang telah mendorong orang untuk berbondong-bondong menjadi peracik atau formulator produk kecantikan. Padahal, untuk menjadi peracik bukan perkara mudah.
Para formulator harus memiliki sejumlah pengetahuan dasar dalam meramu produk perawatan kulit. Mereka harus mengerti anatomi dan fisiologi kulit manusia karena kondisi kulit setiap orang berbeda-beda, bahkan meskipun bersaudara.
Nanang melanjutkan, formulator juga perlu menguasai patofisiologi yang mempelajari gangguan pada tubuh akibat suatu penyakit. Dalam kesehatan kulit, patofisiologi menggali, misalnya, bagaimana masalah jerawat dan pigmentasi bisa muncul. Mereka juga mesti tahu tentang ilmu kosmetik.
Mereka harus memahami bahan apa saja yang digunakan dalam kosmetik, baik berupa bahan kimia, organik, maupun herbal. Bagaimana dampak saat bahan-bahan itu berinteraksi atau diaplikasikan ke kulit juga perlu dikaji.
Ia menambahkan, lokasi tempat tinggal turut memengaruhi kondisi kulit dan kebutuhan produk perawatan kulit seseorang. Orang Indonesia, misalnya, tinggal di negara tropis sehingga lebih memerlukan produk yang bisa melindungi kerusakan kulit dari sinar UV.
Kebutuhan itu sedikit berbeda dengan orang di Asia Timur yang mendapat sedikit sinar matahari. Negara seperti Korea dan Jepang biasanya bermasalah dengan kulit kering karena mengalami musim dingin.
Jadi, banyak jalan berliku sebelum menjadi formulator serta pemain lain di industri kecantikan dan perawatan kulit lokal yang sedang mengilap.