Setiap ia mendengar cerita KKN—terlebih cerita yang terkait soal asmara antarsesama peserta KKN—hatinya seperti teriris. Pasalnya gara-gara KKN, ia ditinggal oleh ayahnya sejak kecil.
Oleh
NAWA TUNGGAL, WISNU DEWABRATA, BUDI SUWARNA
·7 menit baca
Romantika selama mengikuti kuliah kerja nyata tertanam kuat di benak banyak mahasiswa yang pernah mengikutinya. Kenangan mengabdi pada masyarakat berkelindang dengan cerita tentang cinta lokasi, kecantikan gadis desa, kesurupan, hingga kisah horor di lokasi KKN. Industri budaya populer lantas mencomot romantika selama KKN dan membubuinya menjadi kisah yang sedap untuk dikunyah pasar.
Suatu siang masih dalam suasana Lebaran pada Mei 2022 di Perumahan Dumai Indah, Madiun, Jawa Timur, 40-an orang berkumpul dan berfoto bersama. Mereka adalah mantan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang dari berbagai angkatan, yang dulu pernah mengikuti program KKN di bawah bimbingan Afri Handoko (53) beberapa tahun hingga puluhan tahun lalu. Usia mereka kini terentang mulai akhir dua puluhan hingga awal empat puluhan
Di acara itu, mereka saling melepas kangen. Mereka yang berbeda angkatan saling berkenalan. Namanya juga temu kangen, mantan peserta KKN, tema pembicaraan tidak beranjak jauh dari pengalaman ketika mengikuti KKN. Ada yang bertanya apakah di lokasi KKN kamu ada yang pernah kesurupan, terlibat cinta lokasi, atau bertemu jodoh? Eh, bagaimana kabar bapak kepala desa atau si kembang desa, ya?
Temu kangen peserta KKN ini sering dilakukan. ”Selain Lebaran, biasanya kami bertemu saat ada yang menikah atau ada anaknya yang dikhitan,” kata Afri yang kini menjadi dosen tamu di Universitas PGRI Madiun ini, Jumat (12/8/2022).
Afri menjadi dosen pembimbing KKN bagi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang sejak tahun 2000. Hingga kini, setidaknya dia menghitung sudah ada 1.500 mahasiswa yang pernah dia dampingi. Sebanyak 200-an secara intensif bertanya kabar atau sekadar basa-basi minimal sepekan sekali. Lalu ada 400-an yang setidaknya menyapa sebulan sekali.
Awalnya, toko bunga Larasati, Madiun, menjadi poros pertemuan para mantan peserta KKN itu sebelum bergeser ke Perumahan Dumai Indah, tempat tinggal Romo, begitu biasa Afri disapa anak bimbingannya. Begitulah, ingatan tentang KKN telah mempertemukan mereka dan membentuk ikatan yang tak biasa hingga bertahun-tahun kemudian.
Program KKN yang digelar secara massal, terutama pada era Orde Baru, ditujukan untuk seluruh mahasiswa. Mereka disebar ke banyak desa untuk berlatih mengabdi dan memberikan pengetahuan pada masyarakat desa. Dari situ terjalin relasi yang intens antarmahasiswa peserta KKN atau antara mahasiswa dan warga. Dari situ pula, ingatan tentang KKN tumbuh dan berkembang secara luas dalam versinya masing-masing, termasuk di kalangan orang yang tidak pernah mengikuti program KKN.
Yudha (44), laki-laki asal Jawa Timur, misalnya, saat kuliah tahun 1996-2002, tidak mengikuti KKN karena sudah tidak diwajibkan oleh kampusnya. Namun, setiap ia mendengar cerita KKN—terlebih cerita yang terkait soal asmara antarsesama peserta KKN—hatinya seperti teriris. Pasalnya gara-gara KKN, ia ditinggal oleh ayahnya sejak kecil.
Syahdan, sang ayah yang masih berstatus mahasiswa mengikuti program KKN di sebuah desa pada akhir era 1970-an. Di sana, ia terlibat cinta lokasi dengan rekannya sesama peserta KKN. ”Bapak kemudian meninggalkan ibuku dan aku yang masih kecil. Makanya, setiap mendengar cerita KKN, aku teringat peristiwa itu. Jadi personal banget,” ujar Yudha.
Cerita”seksi”
Romantika tentang KKN yang bisa menyenangkan, menyedihkan, atau menegangkan sepertinya cukup ”seksi” untuk diolah sebagai bahan baku cerita dalam produk budaya pop seperti novel, film, sinetron sejak era 1970-an hingga sekarang 2000-an.
”Bagaimanapun KKN sudah menjadi label kehidupan masyarakat dari dunia mahasiswa. Ini yang kemudian membuat istilah KKN banyak disinggung lewat novel atau film,” ujar Ashadi Siregar, penulis novel trilogi kemahasiswaan, yakni Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir yang laris manis di pasaran pada era 1970-an.
Ashadi menceritakan, cerita dalam Kugapai Cintamu menyinggung soal mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sedang menempuh program Bimbingan Massal (Bimas) di mana mahasiswa terpilih diterjunkan ke desa-desa untuk memberikan bimbingan pengetahuan kepada masyarakat. Program ini menjadi cikal bakal KKN yang dirintis sejak 1971 sebagai kegiatan Pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat.
Di dalam novel itu, Ashadi menceritakan sosok mahasiswa peserta Bimas yang dilanda konflik dengan masyarakat desa sehingga ia akhirnya diusir dari desa tersebut. Kisah ini diilhami dari laporan mahasiswa KKN yang pernah dibaca Ashadi ketika ia berstatus sebagai dosen di UGM. Trilogi novel karya Ashadi masing-masing diadaptasi menjadi film drama percintaan pada 1976 dan 1977.
Cintaku di Kampus Biru (1976) dan Kugapai Cintamu (1977) menjadi film laris saat itu. Masing-masing meraih 168.456 dan 128.409 penonton menurut data Perfin yang dikutip dari situs Filmindonesia.or.id. Tiga puluh tahun kemudian, Kugapai Cintamu muncul dalam versi sinetron di Indosiar.
Roy Marten, aktor yang membintangi Cintaku di Kampus Biru dan Kugapai Cintamu, menceritakan, tema percintaan mahasiswa dan kehidupan kampus saat itu sangat diminta penonton. Apalagi kalau ceritanya dilatari dan diwarnai dinamika kegiatan luar kampus seperti KKN. Setelah kesukesan film Cintaku di Kampus Biru dan Kugapai Cintamu, lanjut Roy, ada banyak film lain yang ikut mengangkat percintaan dalam KKN.
”Cerita-cerita seputar KKN di dunia nyata saat itu juga memang sedang populer di masyarakat. Ada banyak kisah tentang KKN beredar, mulai dari cerita jatuh cinta antarsesama peserta atau dengan gadis desa, hingga cerita-cerita lain yang bersifat miring,” ujar Roy.
Roy mengaku tidak terlalu kesulitan untuk menggali cerita terkait mahasiswa dan KKN. Apa yang diceritakan Ashadi dalam novelnya sudah cukup kuat untuk dijadikan modal untuk berakting sebagai mahasiswa yang menjalani program KKN. Selain itu, Roy cukup mendengar cerita-cerita dari beberapa kenalannya yang pernah mengikuti KKN.
Film lainnya yang berkisah tentang KKN adalah Joe Turun ke Desa (1989). Film yang dibintangi, antara lain, oleh Didi Petet dan Meriam Bellina itu berkisah tentang 200-an mahasiswa dari kota yang mengikuti KKN di pelosok Sukabumi, Jawa Barat. Polah mereka bak wisatawan yang hendak tamasya saja. Termasuk, Joe yang kerap cengengesan dan sok tahu.
Film yang disutradarai Chaerul Umum sebenarnya sentilan buat mahasiswa yang datang ke desa tanpa tahu mesti berbuat apa. Alih-alih mengabdi pada masyarakat, para mahasiswi KKN justru bikin heboh warga karena tampilannya yang wow. Sementara itu, yang mahasiswa sibuk mengejar-ngejar kembang desa.
Film terakhir yang menyinggung soal KKN adalah KKN di Desa Penari (2022). Film yang disutradarai oleh Awi Suryadi ini berkisah tentang enam mahasiswa peserta KKN di sebuah desa yang angker. Adegan soal kegiatan KKN muncul mulai ketika mahasiswa survei lokasi, perjalanan ke desa tujuan, hingga ketika mereka tiba di desa.
Film itu lebih asyik menceritakan kisah horor yang dialami para mahasiswa di lokasi KKN hingga film selesai. Aktivitas KKN yang sejatinya bertujuan membangun desa justru tidak pernah diceritakan atau digambarkan dalam film. KKN tampaknya hanya dipakai sebagai kendaraan untuk mengantarkan penonton memasuki kisah horor yang diceritakan dialami oleh mahasiswa KKN. Apa pun ceritanya, film ini meledak di pasaran dan tercatat sebagai film bioskop terlaris di Indonesia dengan meraih 9,3 juta penonton.
Ashadi Siregar melihat, ada perubahan sosiologis di dalam konteks KKN untuk sastra tulis atau sastra visual seperti film. Pada era 1970-an Bimas dan KKN mewarnai konteks realitas kehidupan mahasiswa, entah romantika di kampus atau di desa sewaktu KKN. Romantika terkait KKN itu lantas merembes ke produk-produk budaya pop.
Saat ini, lanjut Ashadi, melalui film KKN di Desa Penari, terlihat KKN bergeser dari konteks realitas kehidupan mahasiswa menuju konteks fantasi dunia horor. KKN sebagai referensi dunia mahasiswa dengan kehidupan ilmiah pun berinteraksi dengan sisi kehidupan hantu.
Dari program KKN, lanjut Ashadi, memang banyak kisah yang bisa dijadikan cerita novel atau film. Kalau akhirnya kisah KKN dikawinkan dengan horor dalam film dan sukses merebut penonton seperti yang dilakukan oleh film KKN di Desa Penari, itu terjadi karena film horor memang sedang booming. Selain itu, karena sebagian besar penonton film di bioskop termasuk kelompok sosial yang memiliki referensi cukup kuat tentang KKN.
Apa Anda punya cerita KKN yang bisa difilmkan? (DOE/BAY/MHF)