Cinta Luar Biasa Penonton Muda
Pensi atau pentas seni yang dibikin anak-anak sekolah punya keunikan tersendiri. Para penampilnya kadang harus rela berkompromi. Namun, ada kecintaan besar yang harus dipelihara para musisi ini.
Ajang pentas seni, yang biasa disingkat pensi, identik dengan acara musik yang diadakan sekolah—setingkat SMP atau SMA. Mereka mengundang band atau musisi terkenal yang kadang rentang usianya terlampau jauh. Kompromi kadang terpaksa terjadi. Tapi, ada cinta yang besar berasal dari pendengar muda ini.
Kahitna adalah band yang terbentuk di pertengahan dekade 1980-an. Para personelnya sudah menjadi om-om, punya anak berusia remaja. Namun, mereka masih rajin main di pensi yang dibikin dan ditonton anak-anak berusia muda. Tanggapan dari sekolah-sekolah masih laris, dan mereka menikmati menjalaninya.
”Pensi selalu punya energi positif yang selalu bikin kami semangat berkarya. Melihat respons fans yang umurnya belasan sampai 20-an awal itu bikin jenuh, lelah, hilang seketika. Cinta mereka sungguh luar biasa,” kata Yovie Widianto, pentolan Kahitna yang kini berusia 55 tahun.
Lagu-lagu tenar mereka selalu dilahap dan dihayati dengan khidmat oleh penonton. Sebut saja ”Setahun Kemarin”, ”Tak Mampu Mendua”, ”Cinta Sudah Lewat”, atau ”Sampai Nanti”. Khusus lagu ”Cantik”, penonton punya cara sendiri meresponsnya. Setiap vokalis menyanyikan kata ”Cantik”, penonton selalu membalas dengan ”Apaaa” seperti merasa dirinya yang dipanggil.
Baca juga: Mencari ”Merdeka” di Hari Merdeka
Selain ditonton anak sekolahan, tak jarang juga penampilan Kahitna di ajang pensi juga ditonton oleh para orangtua murid. Bapak dan ibu itu bisa jadi adalah penggemar mereka sejak lama. Berarti dalam satu rumah, tinggal dua generasi penggemar Kahitna. Lagu-lagu bertema cinta, mau kasmaran atau patah hati, beresonansi dalam kalbu banyak orang.
”Menurut saya, ada faktor X di musiknya Kahitna yang relevan bagi anak-anak muda, bahkan sampai sekarang. Di sisi lain, ada faktor jam terbang juga, jadi kami siap tampil untuk audiens beragam usia,” kata vokalis Kahitna, Hedi Yunus.
Faktor X itu barangkali adalah musik yang renyah dan lirik dekat dengan keseharian pendengarnya, berapa pun usianya. Siapa, sih, yang enggak pernah patah hati? Ada juga, dong, yang diam-diam jatuh cinta sama sahabat sendiri. Tema-tema itu terserak di katalog lagu-lagu Kahitna.
Grup Maliq & D’Essentials pun tak pernah enggan main di acara garapan anak sekolah. Band yang telah terbentuk selama lebih dari dua dekade ini bisa dibilang mengawali karier mereka dari pensi. Mereka sudah wira-wiri di acara anak sekolah sebelum album perdana keluar. Hingga sekarang, pensi masih mereka anggap seru.
”Penonton yang datang rata-rata seumuran SMA, remaja. Itu, kalau kita bisa menangani pangsa SMA, itu biasanya umurnya panjang. Umur SMA itu biasanya kalau suka sama satu band kecintaannya bertahan lama, seumur hidup gitulah,” kata pemain drum Widi Puradiredja.
”Basis penggemar kami yang dulu SMA sampai sekarang masih setia, masih mengikuti. Nah, untuk melihat apakah suatu band masih relevan bagi anak muda masa kini, salah satu ukurannya adalah masih main di pensi. Syukurnya, kami masih rutin main di acara anak SMP, SMA, dan kampus,” lanjut Widi.
Kecintaan yang besar ini ditangkap band rock Seringai. Mereka pernah membuat lagu berjudul ”Berhenti di 15” yang kira-kira bercerita bahwa selera musik yang akan menemani sepanjang hidup adalah musik yang bersemayam ketika didengar waktu remaja. Seperti Widi, Arian 13 vokalis Seringai pun sepakat bahwa penonton remaja perlu dipelihara.
Menurut Arian, membina hubungan baik dengan pentas seni sekolah mendatangkan banyak manfaat di masa depan. Salah satu bentuk manfaatnya adalah ketika panitia musik zaman sekolah sudah berkuliah dan hendak membuat acara, sangat mungkin mereka mengundang band yang pernah mereka undang sebelumnya.
Baca juga: Media Sosial Bikin Asyik Agustusan
”Lebih lanjut lagi kalau mereka sudah bekerja di satu perusahaan besar, misalnya, lalu mau bikin acara. Mereka memutuskan mengontak Seringai karena tahu enak diajak kerja sama. Hubungannya jadi jangka panjang. Kan, ada juga, tuh, band yang jutek atau kecentilan. Yang kayak gitu pasti akan mereka ingat dan ke depan enggak dapat apa-apa,” kata Arian.
Mau kompromi
Tapi, namanya acara anak sekolahan, tak jarang penampil diberikan syarat tertentu. Alasannya bisa terkait citra sekolah, atau beririsan dengan kematangan siswa. Penyanyi Danilla, misalnya, pernah diundang main di pensi, tapi disyaratkan tidak boleh merokok di panggung. Syarat itu bisa dikompromikan.
”Kalau tampil di pensi, sebisa mungkin gue enggak (merokok) karena penontonnya anak-anak sekolah. Yang lucu pernah diminta pakai kostum ’yang pantas’. Awalnya bingung maksudnya apa. Ternyata yang dimaksud itu supaya tato gue enggak kelihatan karena ada guru-guru ikut menonton, ha-ha-ha,” ujar Danilla.
Selama beberapa kali main di pensi, Danilla merasa para panitia bekerja dengan baik dan sangat tanggap. ”Walau relatif kurang berpengalaman, cara kerja dan melayani mereka justru sangat menyenangkan, dan terasa akrab,” katanya.
Baca juga: Roda empat dalam pusaran prestise
Kalaupun ada pelayanan yang kurang tanggap, penampil bisa memahaminya. Arian mengaku beberapa kali memberikan masukan ke panitia pensi terkait kebutuhan bandnya. ”Kami enggak mau terlalu kaku atau keras karena, toh, mereka juga sambil belajar. Ada capeknya juga, sih, kalau panitia kerjanya lambat. Tapi, ya, sudahlah, enggak masalah,” kata Arian.
Seringai ataupun Danilla tidak memberikan harga khusus untuk acara yang dibikin pelajar. Bayarannya sama dengan orderan dari promotor profesional. Berbeda dengan Maliq & D’Essentials. Grup ini memberlakukan tarif yang berbeda jika main di pensi sekolahan.
Bayaran Maliq & D’Essentials jika tampil di acara yang dibikin siswa SMP, SMA, atau mahasiswa lebih murah dibandingkan dengan tampil di festival pada umumnya. Namun, jika pensi itu tergolong besar dengan banyak sponsor, tarifnya menyesuaikan pula. ”Secara umum, kami ada rate khusus main di pensi,” kata Widi.
Urusan bayaran ini juga punya keunikan khusus. Firman Hidayat, manajer Kahitna, bilang bandnya kerap mengalah tampil meski panitia tidak sanggup memenuhi tarif. ”Ketika ada sekumpulan anak-anak muda punya tekad luar biasa dan siap berjuang, kami pasti mendukung. Walau sekarang ini, panitia pensi rasanya lebih ready secara finansial,” kata Firman.
Kahitna menghargai tekad dan kejujuran para pelajar itu. Beberapa band lain juga bersedia berkompromi dengan metode pembayarannya, yang kadang di luar kebiasaan.
”Kami pernah hampir tidak dibayar oleh panitia karena tidak sanggup. Akhirnya diganti dulu dengan STNK motor dan mobil panitia. Mobil itu sampai berbulan-bulan nginep di rumah vokalis kami,” kata Widi.
Seringai punya pengalaman lain. ”Sekolah ini sebelumnya belum pernah bikin pensi, jadi penyelenggaraannya agak kacau. Bayaran untuk kami sempat tertunda dua hari. Sebagai jaminan, panitia berinisiatif mengumpulkan dan menyerahkan 20 telepon genggam, ha-ha-ha. Salut juga mereka masih mau menunjukkan rasa tanggung jawab,” ucap Arian.
Kendala kadang-kadang bukan cuma urusan uang. Manajemen waktu juga kerap jadi biang kerok. Ujung-ujungnya, durasi band yang semestinya tampil satu jam terpaksa dipangkas jadi cuma tiga lagu. ”Kadang-kadang kasihan juga mereka susah payah ngumpulin uang untuk mengundang kami. Jadi kadang enggak tega sendiri,” ujar Widi.
Di luar serba-serbi pengaturan yang semi amatir itu, Seringai, Maliq & D’Essentials, Danilla, sampai Kahitna masih rajin menyempatkan diri tampil di acara sekolahan. Banyaknya festival musik bersponsor besar tak membuat mereka melupakan ajang belajar para penonton muda ini.
Menurut Widi, ajang pensi dan segala keunikannya bisa juga dianggap sebagai tempat latihan bagi band dan manajemen menghadapi kendala di lapangan, termasuk kendala teknis. ”Pasar SMA ini cukup sensitif karena mereka bisa suka banget, atau kalau tidak suka, ya diam saja. Ekspresif gitu. Saya sangat setuju pensi harus selalu ada, dan kualitas eksekusinya harus meningkat,” kata Widi.