Tamasya ke Negara Tak Biasa
Negara-negara yang tertutup justru menantang bagi sejumlah pelancong untuk dijelajahi. Sejumlah pelacong Indonesia berkunjung ke Korea Utara, Kuba, dan Suriah.
Ferdinand Magellan, Vasco da Gama, dan Christopher Columbus memperlihatkan bahwa mengeksplorasi dunia adalah naluri manusia. Ketika revolusi industri kian membebaskan batas antar-negara, masih ada segelintir negara yang belum terjamah karena berbagai alasan. Pelancong Indonesia tak luput dari rasa penasaran untuk menjelajahi negara-negara itu.
Ingatan membawa Suseno Dwinanto (41) kembali pada lima hari perjalanan pada November 2019. Pemilik waralaba TX Travel di Jakarta Selatan ini membawa sembilan turis asal Indonesia melancong ke Korea Utara yang terkenal tertutup di bawah kepemimpinan Kim Jong Un itu.
Kesan misterius sudah kental terasa ketika mereka mengurus visa masuk di Kedutaan Besar Korut di Jakarta. Namun, penyerahan dokumen visa terjadi di Beijing, China, sehingga jika visa ditolak, semua harus kembali ke Indonesia. Beruntung visa bisa diperoleh sehingga mereka langsung bertolak ke Pyongyang, ibu kota Korut.
Baca juga: Cinta Luar Biasa Penonton Muda
Tiba ketika hari sudah sore, mereka dibawa agen untuk makan malam di sebuah restoran besar yang sepi lalu dibawa ke sebuah hotel bintang lima yang seperti tak berpenghuni. Rombongan turis tinggal di satu lantai, tetapi mereka tidak bisa melihat semua sisi hotel sebab bagian tertentu tertutup. Ponsel pintar dari Indonesia tidak bisa dipakai. Hampir tidak ada yang bisa dilakukan di hotel, kecuali bermain kartu. ”Terus terang malam itu aku mulai deg-degan. Takut enggak bisa pulang ke Indonesia,” kata Seno.
Selama di Korut, rombongan tidak boleh keluar hotel di luar jadwal jalan-jalan. Ada dua agen perjalanan yang mengawal rombongan. ”Aku sih yakin salah satu di antaranya tentara,” ujar Seno di Bintaro, Tangerang Selatan, Sabtu (26/8/2023).
Seno melanjutkan, turis Indonesia masuk kategori kelas satu karena Indonesia adalah negara sahabat. Mereka diberi hotel bintang lima dan bus baru dengan kursi masih dibungkus plastik. Beda perlakuan akan terasa oleh turis Eropa dan negara-negara sekutu AS yang disebut turis kelas dua. Mereka akan tinggal di hotel bintang tiga dan dibawa bus jelek.
Setelah beberapa hari jalan-jalan, Seno menyadari rute bus mereka sama saja. Mereka hanya melewati kawasan yang itu-itu saja. Selain itu, mereka dilarang memotret fasilitas militer, polisi, dan tentara. Sudut-sudut kota yang bisa dipotret ditentukan oleh agen di mana hasil foto akan diperiksa. Kalau dianggap melanggar aturan, foto itu langsung mereka hapus.
Rombongan sempat berkunjung ke Istana Matahari Kumsusan dan zona demiliterisasi dari sisi Korut. Mereka juga masuk ke Mausoleum Kim Il Sung dan Kim Jong-il di mana pengunjung mesti berbaju resmi dan tidak boleh bersuara sama sekali, termasuk langkah kaki. Warna pakaian hanya boleh tiga, yaitu hitam, abu-abu gelap, dan coklat. Untungnya, Seno yang berbaju batik akhirnya bisa masuk setelah mengklaim batik sebagai baju nasional.
Suatu hari Seno dan rombongan mencoba bercakap-cakap dengan polisi dengan memperkenalkan diri dari Indonesia. Ia lantas bercerita soal presiden pertama Indonesia, Soekarno, berteman dengan pemimpin tertinggi Korut Kim Il Sung, kakek Kim Jong Un. ”Begitu menyebut nama Presiden Soekarno, polisi Korut malah ngajak kami berfoto bersama,” kata Seno.
Era lama
Berada di Korut, waktu seolah mundur lebih dari 30-40 tahun ke belakang. Ketika diajak ke Pasar swalayan lokal, Seno menemukan produk-produk Indonesia yang terkenal di masa lalu, seperti sabun colek B29 yang populer di Indonesia pada 1960-an hingga 1980-an. Salah satu model iklannya adalah bintang film bernama Ratmi yang turut dijuluki sebagai Ratmi B29. Merek sabun B29 sendiri diambil dari nama pesawat pengebom milik AS, yakni Boeing B-29 Superfortress alias Enola Gay yang menjatuhkan bom atom di Hiroshima, 6 Agustus 1945.
”Saya belanja beberapa ratus ribu rupiah, bisa dapat tiga troli barang. Untuk turis alat pembayarannya pakai uang China, yuan renminbi. Dan uang yuan itu kita harus habiskan di sana, tidak boleh dibawa pulang,” kata Seno.
Meski dicitrakan sebagai negara miskin, fasilitas publik di Pyongyang cukup lengkap. Ada metro meski hanya melayani dua stasiun yang berbentuk jadul. Ada pula trem dan bus. Beberapa mobil mewah, seperti Camry dan Jaguar terlihat di jalan. Yang menakjubkan, Pyongyang memiliki banyak gedung yang modern, bagus, dan besar.
Pasangan Khairiyyah Sari (47) dan Johnny Saleh (54) juga merasakan perjalanan seolah kembali ke masa lalu ketika berjalan-jalan ke Kuba selama delapan hari pada 2018. Kuba adalah sebuah negeri eksotis yang terkenal dengan produk cerutu berkualitas dunia.
Setahun sebelum berangkat, Sari bersiap-siap dengan meriset tujuan wisata, hotel bintang lima, dan aktivitas yang dapat dilakukan di sana. Untuk hotel saja, dia rela membayar kamar seharga puluhan juta. Sari lanjut menanyai Kuba ke seorang diplomat Tanah Air yang tengah bertugas di Kuba yang kemudian mengingatkannya agar tak terlalu berekspektasi.
”Alasan kenapa mau ke sana, ya memang karena sudah lama kepingin. Juga karena sebagai pencinta jazz sejak SMA, gue punya band favorit asal Kuba namanya Buena Vista Social Club. Dengan berkunjung ke sana gue ingin tahu bagaimana rasanya berada langsung di dalam aura musik mereka,” ujar Sari, Kamis (31/8/2023).
Setelah terbang dari Jakarta dan transit di Amsterdam, Belanda, Sari dan suami kaget bukan kepalang saat mendarat di Havana, Kuba. Penampilan bandara di ibu kota tak jauh beda dengan daerah-daerah kecil di Indonesia. Selain itu, Havana memiliki banyak bangunan tua, kumuh, dan tak terawat lantaran termakan usia. Begitu juga dengan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang.
“Kalau orang bilang waktu seolah berhenti di sana itu ternyata benaran, lho. Satu lagi yang mengagetkan, pendingin ruangan di kamar hotel itu bentuknya masih barang lama yang belum pakai teknologisplit,” ujar Sari
Sambungan internet juga susah Sari peroleh karena harus membeli nomor lokal dulu. Sari harus berebutan akses internet hotel dengan pengakses gelap, yaitu warga yang setiap sore menongkrong di luar gedung untuk menggunakan internet secara gratis.
Walau banyak ketidaknyamanan, Sari dan suami tetap menikmati Kuba, mulai dari keceriaan masyarakat hingga keindahan pantai. Dengan menyewa jasa pemandu wisata lokal mereka berdua berkeliling melihat kawasan Kota Tua dan kawasan barunya. Sari dan Johnny juga sempat mengunjungi lokasi pembuatan cerutu Kuba merek terkenal sekaligus juga perkebunan tembakaunya.
Baca juga: Dari Iran bermandi cinta
Mereka juga sempat mampir di satu masjid bersejarah di Kuba. Saat menyebut diri sebagai orang Indonesia, beberapa warga lokal menyambut gembira karena mengenali Indonesia, terutama Presiden Pertama Soekarno.
Dari perbincangan dengan warga lokal, Sari mendapati bahwa hidup dalam keterbatasan akibat embargo membuat mereka putus asa. Namun, mereka masih menikmati hidup lewat berkesenian. Bahkan dari cerita salah satu sopir taksi, orang suka menghabiskan gaji untuk bergaya karena mereka tidak bisa membeli harta kepemilikan seperti rumah maupun tanah mengingat sistem pemerintahan yang Komunis.
Persepsi berubah
Moza Pramita (47) sudah lama ingin berkunjung ke Suriah yang adalah Negeri Syam bagi kaum Muslim. Impiannya terwujud ketika dia bisa berkunjung ke Suriah selama sembilan hari, pada Februari hingga Maret, tahun ini.
Moza pergi bersama tiga rekannya atas undangan KBRI Damaskus. Berangkat dari Jakarta, Moza harus melewati Turki dan Lebanon sebelum memasuki Suriah yang selama ini identik dengan konflik. Mereka menggunakan visa bisnis untuk masuk ke Damaskus dari Beirut, ibu kota Lebanon.
”Untuk masuk ke Damaskus enggak gampang karena setiap beberapa ratus meter kami diperiksa. Ini pengalaman luar biasa. Awalnya ekspektasi kami tentang Suriah bakal ribet, kotor, dan enggak teratur, tapi ternyata semua rapi dan bersih,” tutur Moza yang bekerja sebagai konsultan partnershipdi Jakarta.
Moza dan teman-teman mengunjungi dua kota, yakni Damaskus dan Aleppo. Di Damaskus, mereka pergi, antara lain ke Taman Kota Al Jalaa, Pasar Hamidiyah, Masjid Umayyah atau Masjid Raya Damaskus, Museum Nasional Damaskus, dan Gereja Santo Ananias. Selain itu, mereka mengunjungi Aleppo yang masih hancur karena gempa mematikan awal tahun ini sembari melewati kota lain yang rusak karena konflik.
Moza mendapati bahwa cobaan konflik ataupun bencana alam justru menempa warga Suriah menjadi sosok yang berkarakter yang ramah, kuat, dan perhatian. Ada semacam ikatan kuat antar-warga untuk membantu satu sama lain. Mereka juga mencintai negara mereka sehingga berusaha mandiri.
Namun, untuk mengunjungi negara yang bukan tujuan wisata, Moza mengingatkan agar pelancong jangan berlaku seperti turis. ”Rendahkan ekspektasi ketika bepergian dan apresiasi apa yang mereka punya. Selain itu, jangan terpaku pada satu perspektif berita tentang satu negara,” katanya.
Baca juga: Mencari ”Merdeka” di Hari Merdeka
Peneliti budaya, media, dan komunikasi dari Universitas Pasundan, Idi Subandy Ibrahim, menambahkan, penjelajahan tempat yang tak pernah dijamah biasanya dilakukan oleh manusia yang memiliki uang dan waktu. Terlepas dari itu, penjelajahan tersebut bisa merupakan bentuk dari rekreasi sekaligus ekspresi identitas diri.
“Bicara tentang ekspresi identitas atau eksistensi diri, manusia menginginkan pengakuan bahwa dia sudah mencapai tempat tertentu yang menantang. Pengakuan itu bisa didapatkan dari lingkup pertemanan atau media sosial. Merasakan hal baru itu tidak ada artinya apabila tidak diketahui orang lain,” kata Idi.
Ada kalanya, Idi melanjutkan, penjelajahan itu membawa efek luar dugaan. Salah satunya adalah memberi persepsi baru tentang satu negara atau masyarakat setempat. Dengan demikian, para pelancong juga berperan secara tidak langsung sebagai ”diplomat” antar-budaya atau antar-bangsa dengan menceritakan pengalaman mereka di berbagai platform.