Terhanyut Jalinan Masa di Lijiang
Masa lalu pada akhirnya mengajari kita tentang masa kini. Sejarah menunjukkan betapa kita berbeda dengan para pendahulu, tetapi kita juga berpegang pada harapan dan nilai-nilai yang sama. Itulah cerita Lijiang.
Jalan batu berjejak ratusan tahun itu membawa langkah kaki menyusuri kedai-kedai kayu tua. Nuansa batu dan kayu itu jauh dari muram. Tiap kedai apik menjajakan aneka bentuk dan warna. Bunga-bunga dalam pot menyeruak di sana-sini. Langit malam pun cerah berhias payung-payung dekoratif di ketinggian.
Bukalah mata, lihatlah beragam bentuk dan warna di sekitar, saksikan wajah-wajah asing yang antusias meresapi daya tarik pada beraneka pernik khas.
Mata berbinar, senyum, dan tawa itu menular. Saya pun berulang kali tersenyum, entah pada siapa, ketika menyusuri jalan batu di Lijiang Old Town itu, beberapa waktu lalu.
Kawasan kota tua Lijiang di Provinsi Yunnan, China, merupakan peninggalan arsitektur Dinasti Yuan dan Song yang berjaya 800 tahun lalu. Kawasan seluas 7,2 kilometer persegi itu dicatat sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 1997.
Salah satu bagian dari kawasan ini merupakan area pasar yang hanya boleh dijelajahi pejalan kaki dan sesekali dilintasi penarik gerobak barang. Jalan, parit air, dan jembatan-jembatan kecil yang dibuat dari batu sudah bertahan ratusan tahun. Sementara kedai-kedainya bermaterial utama kayu tua. Semua terawat baik.
Area pasar ini membuktikan keberjayaan upaya konservasi. Jajaran kedai yang menjajakan suvenir, makanan khas, dan produk mode warisan tradisi hadir dengan tampilan eksterior dan interior yang selaras. Restoran, kafe, dan beberapa penginapan di kawasan ini juga menyuguhkan arsitektur kuno.
Anuo, pemandu wisata yang beretnik Naxi, penduduk asli Lijiang, menjelaskan, leluhurnya di masa lalu tinggal di kawasan kota tua itu. Pemerintah merelokasi mereka dalam upaya konservasi. Namun, warga setempat pula yang kini menghidupi kawasan itu dalam sistem sewa dengan penerapan standar ketat untuk menjaga kelestariannya.
Magnet lain di kawasan historis ini adalah kompleks kediaman bangsawan Mu. Kompleks yang terdiri dari beberapa paviliun dan gedung perjamuan ini dibangun pada Dinasti Ming, tahun 1382. Sebagian bangunan aslinya rusak karena gempa pada tahun 1996, tetapi berhasil direstorasi.
Detail tata letak, konfigurasi bangunan—berikut perabot di dalamnya—serta penataan taman di kompleks ini merefleksikan warisan sejarah tiga dinasti kuno. Tak ketinggalan, kekhasan etnik Naxi dan Bai yang menyuguhkan nuansa dan cerita berbeda.
Manusia dan alam
Lijiang bukan sekadar cerita tentang warisan arsitektur kuno. Manusia adalah roh yang menghidupi setiap catatan sejarah dan warisan budaya. Tak ayal, Lijiang pun sejatinya adalah jalinan kisah interaksi manusia dengan alamnya.
Bergeser keluar dari kawasan konservasi kota tua, kita akan menemukan kota Lijiang dengan wajah dan semangat ”berbeda” dari kebanyakan kota modern China. Sedikit lebih jauh lagi ke luar kota, Lijiang menyuguhkan jati dirinya: pegunungan yang megah.
Secara administratif, Lijiang mencakup wilayah seluas 20.600 kilometer persegi, 92,3 persen di antaranya berupa pegunungan. Selebihnya, berada di dataran tinggi yang sejuk, termasuk kawasan historis kota tua itu.
Kita akan menemukan kota Lijiang dengan wajah dan semangat ’berbeda’ dari kebanyakan kota modern China.
Pusat kota Lijiang dibelah oleh jalan protokol. Perkantoran, gedung hunian, dan pertokoan di sepanjang jalan-jalan utama itu nyaris tak ada yang lebih tinggi dari tiga lantai.
Dari pusat kota, pemandangan gunung dengan puncak-puncak putih bersalju di kejauhan tampak jelas. Gunung itulah pengganti pemandangan gedung pencakar langit yang kini jamak ditemukan di perkotaan di China.
Di sejumlah provinsi, China tengah menggenjot modernitas melalui penataan ulang kota. Pembangunan infrastruktur modern juga menjangkau Lijiang, tetapi diupayakan tak mengusik bentang alam dan kekayaan tradisinya.
”Tidak boleh ada bangunan tinggi yang akan menghalangi pemandangan Gunung Salju Yulong dari berbagai sudut kota ini,” ujar Anuo, perempuan yang namanya dalam bahasa Naxi berarti sinar matahari pagi ini.
Alokasi ruang untuk taman dan jalur hijau mendapat porsi besar di Lijiang.
Alokasi ruang untuk taman dan jalur hijau mendapat porsi besar di Lijiang. Sepanjang jalan menuju ke luar kota, taman-taman itu sungguh menyita perhatian. Jalanan kota ini pun lebar dan bersih dengan jalur pedestrian lapang serta jalur khusus untuk sepeda. Sekitar 30 menit dari pusat kota, lahan-lahan pertanian pun mulai tampak luas menghampar.
Di tengah perjalanan, pada ketinggian menjelang 3.000 meter di atas permukaan laut (dpl), Danau Blue Moon Valey menjadi pemberhentian wajib. Permukaan air danau ini merefleksikan warna biru kehijauan. Danau itu dipagari bukit menghijau, berlatar pegunungan berpuncak salju. Sungguh menerbitkan perasaan terhanyut.
Danau Blue Moon Valey yang berlatar Gunung Yulong di Lijiang, China.
Panggung tertinggi
Kesungguhan pemerintah untuk menjunjung kekayaan alam dan budaya Lijiang bersinergi dengan komitmen masyarakatnya. Pembuktian sinergi itu bisa dilihat pada panggung Lijiang Impression.
Panggung alam itu dibangun pada ketinggian 3.100 meter dpl, bertingkat-tingkat, menyerupai tebing. Material pasir merah dan batu pada panggung ini menggambarkan kondisi geografis Ancient Tea Horse Road, jalur perdagangan teh yang diangkut dengan kuda di dataran tinggi Yunnan-Guizhou pada masa lalu.
Pemandangan Gunung Yulong benar-benar menjadi latar panggung terbuka itu. Pertunjukan hanya digelar pada siang hari karena sinar matahari menjadi satu-satunya sumber pencahayaan. Di sini, alam juga berkuasa menyuguhkan akustik yang mengesankan.
Di sini, alam juga berkuasa menyuguhkan akustik yang mengesankan.
Lijiang Impression adalah live performance yang memadukan drama, musik, dan tarian tradisional etnik Naxi, Yi, dan Bai. Pertunjukan ini dirancang para profesional, di antaranya sutradara China kenamaan, Zhang Yimou.
Penampil di atas panggung raksasa itu bisa mencapai ratusan orang. Mereka adalah warga setempat. Sehari-hari, para penampil itu juga bertani atau melakukan pekerjaan lain.
Namun, di atas panggung, olah gerak dan suara mereka terasa bertenaga dan dijiwai kebanggaan. Mereka berlatih untuk menampilkan kisah dan olah seni warisan leluhurnya.
Pertunjukan Lijiang Impression di panggung terbuka terbuat dari batu dan pasir merah di lereng Gunung Yulong, Lijiang, China.
Bukan saja ratusan penampil, panggung ini juga memuat puluhan ekor kuda yang menjadi bagian dari ”properti” pertunjukan. Pada segmen tertentu, air terjun dicurahkan di salah satu sudut panggung.
Di dua sisi panggung, layar elektronik menampilkan ringkasan cerita dalam bahasa Mandarin dan Inggris.
Pertunjukan ini berkisah tentang masa lalu Lijiang sekaligus ketangguhan warganya melintasi zaman. Dalam kisah itu, digambarkan kecintaan warga pada tanah, gunung yang mereka keramatkan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kita bisa melahirkan anak laki-laki dan perempuan yang mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri, yang mampu menciptakan kebahagiaan mereka sendiri, dan membangun kesejahteraan untuk semua.
Bermula dari masa ketika para perempuan Naxi bekerja keras di ladang dan mengangkut beban hasil bumi, sementara para pria suku ini menuntut ilmu, bersukacita dengan beragam permainan, dan diberi label sebagai pembawa kehormatan.
Baca juga: Tak Cukup Satu Bingkai
Zaman bergerak, kisah pun bergulir. Pertunjukan itu ditutup dengan pernyataan, ”Kita bisa melahirkan anak laki-laki dan perempuan yang mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri, yang mampu menciptakan kebahagiaan mereka sendiri, dan membangun kesejahteraan untuk semua.”
Masa lalu pada akhirnya mengajari kita tentang masa kini. Sejarah menunjukkan betapa kita berbeda dengan para pendahulu, tetapi kita juga berpegang pada harapan dan nilai-nilai yang sama. Itulah cerita Lijiang.