Tenun Kehidupan Warga Kediri
Tenun ikat menjadi tempat sebagian warga Kediri menggantungkan hidup. Mutu tenun, benang, dan motifnya terus membaik.
Pamor tenun ikat Kediri terus meningkat. Pemakainya meluas hingga Presiden Joko Widodo dan ke mancanegara. Gelaran Dhoho Fashion Street Ke-8 pada Sabtu (14/10/2023) di Kota Kediri, Jawa Timur, menjadi perayaan keberdayaan tenun ikat dan para pembuatnya.
Tahun ini, Dhoho Fashion Street (DFS) menampilkan baju karya desainer setempat, Orchids by SMKN 3 Kediri, Azzkasim by Qosim, Luxecesar by Desty, Numansa by Nunung, Djajawarsa by Richa dan Varish Gown by Ivan. Penyelenggara acara, Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kediri dan Pemerintah Kota Kediri, juga menghadirkan desainer Eko Tjandra serta Didiet Maulana dari Jakarta.
Baca juga: Siasat Berkarya Agnes Linggar
DFS 2023 diadakan di tepi Sungai Brantas. Warga menyaksikan gelaran itu dari sisi samping landas peraga sepanjang 40 meter. Di jajaran undangan, ada artisan petenun dari kampung Bandar Kidul dan Bandar Lor, Kediri, yang merupakan sentra tenun ikat.
Para desainer ada yang menampilkan baju dari tenun ikat secara menyeluruh, ada pula yang menambahkan kombinasi kain polos agar kesan pada baju tak penuh dengan corak kain ikat. Warna terang seperti kuning, oranye, merah, dan hijau menjadi pilihan walau ada pula warna-warna teduh kecokelatan, hitam, dan abu-abu.
Eko, melalui 26 busana, membuat paduan rasa tradisional dalam cita rasa internasional. Muncul busana pria dan wanita untuk acara semi formal dan formal, sampai busana pesta dalam bentuk baju terusan, celana pendek, celana panjang, atasan, luaran semiformal dan formal berupa blazer panjang dalam potongan baju klasik dan sederhana.
Eko juga membuat kain ikat utuh menjadi rok atau variasi pada baju kaum pria seperti tampak pada setelan atasan warna kecokelatan dengan celana panjang oranye. Agar tampilan lebih elegan, ia menambahkan kain ikat warna cokelat-merah ke atas sebagian kemeja. Setelan tersebut kental dengan nuansa etnik Indonesia, bisa ditampilkan untuk kegiatan di luar negeri.
Pada bagian lain, Didiet hadir dengan padu padan antarmotif tenun ikat Kediri serta tenun ikat dengan kain polos yang dibordir salah satu motif tenun. Aksen bordir menambah apik busana, misalnya pada warna ungu tua.
Bagi Didiet, kombinasi antarmotif kain ikat atau kain ikat dengan kain polos harus ada. Selain untuk estetika, ide itu menjadi hal mendasar yang memberi gambaran tentang kain tenun yang lebarnya terbatas, tetapi bisa membuat tampilan dengan kombinasi dan warna yang tepat.
”Look-nya sebagian merupakan perjalanan beberapa arsip dari look di fashion show ketika bekerja sama dengan DFS,” tutur Didiet pada Jumat (20/10/2023) tentang 25 busana yang dia tampilkan. Ia sudah empat kali tampil di DFS.
Waktu pergelaran di malam hari, membuatnya merancang pakaian formal dari tenun Kediri. ”Pada look terakhir bisa untuk pesta. Aku ingin memberi inspirasi untuk pesta bisa bertenun dan meng-upgrade tampilan dengan tatanan rambut serta aksesori yang tepat,” katanya.
Busana yang dimaksud berupa celana panjang tenun ikat warna merah, atasan tenun warna putih-abu dengan luaran panjang berlengan kelelawar yang dikenakan Miss Grand International 2022, Andini Joeli.
Ada pula kulot, atasan, dalaman, setelan gaun panjang dengan luaran, celana panjang serta atasan pria berpotongan semi beskap. Ia pun memberi aksen lapisan kain tipis dari organza, sifon dan tule yang dibuat plisket (lipit) di atas rok dari tenun. Didiet sukses membuat penonton mencari tahu apa gerangan di balik helai kain tipis tersebut.
Gantungan hidup
Tenun ikat yang dibuat dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) dikenal sejak 1950-an. Namun, nasib usaha kecil yang menjadi penyangga hidup warga Bandar itu jatuh bangun karena kondisi politik dan ekonomi Tanah Air. Awal tahun 2000, selain membuat kain sarung goyor dari rayon, perajin tenun ikat di kampung Bandar mulai membuat kain tenun ikat dari bahan katun.
Kehidupan usaha itu tak banyak berkembang sampai Ketua Dekranasda Kota Kediri Ferry Sylviana Abu Bakar berinisiatif menyelenggarakan DSF pada 2015. Ia mengajak Didiet Maulana untuk menampilkan karyanya, serta memberi edukasi kepada artisan petenun. Beberapa desainer lain dari Jakarta seperti Priyo Oktaviano, Era Soekamto, Lenny Agustin, dan Wignyo Rahadi tampil di tahun berikutnya.
Upaya menghadirkan artisan tenun di acara DSF adalah guna menyemangati mereka. ”Saya undang mereka di fashion show biar melihat kain ikat setelah jadi baju rancangan desainer nasional. Supaya ada rasa bangga sehingga mereka lebih meningkatkan mutu karyanya,” ujar Ferry Sylviana yang juga istri Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar.
Harapan Fey, panggilan Ferry, terwujud. ”Senang sekali lihat tenunnya jadi lebih bagus setelah jadi baju,” kata Siti Ruqoyah, pemilik usaha tenun ikat Medali Mas Kediri. Tak hanya menonton fashion show, pada jumpa pers, artisan petenun juga ikut menjelaskan kondisi usaha tenun ikat Kediri. Menurut Siti, kini pesanan tenun ikat naik sekitar 30 persen.
Seiring perjalanan waktu, tenun ikat Kediri makin terkenal. Didiet dan Priyo secara rutin memesan kain ikat kepada artisan tersebut. ”Kalau ada pesanan, saya bagi pekerjaan ke sesama perajin biar pada kebagian,” tutur Siti yang senior di usaha tenun ikat Kediri. Kedua desainer itu pula yang ikut membawa tenun ikat Kediri ke mancanegara.
Ada 21 usaha tenun ikat di Kediri dengan pekerja 350 orang pada rangkaian pembuatan kain tersebut. Banyak keluarga, terutama di Bandar Kidul dan sekitarnya, sangat bergantung pada pekerjaan di usaha tenun.
Salah satunya Siti Aminah (36) yang bekerja sebagai pengikat benang untuk pewarnaan selama 17 tahun di Medali Mas. Ia harus menghidupi lima orang, termasuk dirinya, karena suaminya yang tukang batu kerap tak punya pekerjaan. Dua anaknya bersekolah dan si bungsu baru berusia dua tahun. Per hari ia mendapat upah Rp 35.000 sampai Rp 60.000, tergantung berapa plangkan (kerangka untuk benang yang akan diwarnai) yang bisa diselesaikan. Upah menyelesaikan pekerjaan satu plangkan Rp 15.000.
Baca juga: Menyulap Sampah Jadi Baju Istimewa
Senin (16/10/2023) siang, ia menyetor hasil pekerjaan kepada Siti Ruqoyah lalu menerima upah Rp 60.000. Uang itu akan ia belikan beras dan lauk untuk makan sekeluarga.
Di rumah usaha tenun ikat Medali Mas ada lebih dari 100 pekerja, baik lelaki maupun perempuan. Ada yang menjadi penyelup warna benang, menenun, dan lainnya. Usia mereka ada yang 50-an tahun, tetapi juga ada yang masih 20 tahun.
Misalnya Nadya yang baru lulus SMA. Ia menjadi penenun dengan upah Rp 50.000 untuk tiap lembar kain tenun ikat yang dibuatnya. Dalam sehari, jika rajin, ia bisa menyelesaikan dua kain ikat.
Di tempat itu, ada Deni (22), pemuda dengan autisme lulusan SMA SLB Kediri. Siti Ruqoyah mengajak Deni belajar mengikat benang sejak tahun lalu. ”Senang sekali saat Deni mau belajar walau harus telaten ngajari. Sekarang dia mulai lancar kerja. Jika sudah menguasai pekerjaan ini, saya ajari dia nenun,” ujar Siti yang ingin Deni mandiri, tak terus bergantung keluarga.
Tenun ikat telah menjadi tempat bagi sebagian warga Kota Kediri menggantungkan hidup. Mutu hasil tenun, benang, dan motifnya terus membaik. Para artisannya kini menunggu pembeli mencoba berkain dengan karya-karya mereka.