Dalam Dekap Kabut Pangalengan
Kabut Pangalengan akan selalu datang, tak pernah benar-benar pergi.
Di antara jajaran pinus yang menjulang, hujan jatuh tanpa jeda. Tetesan airnya menderas, membawa dingin yang menusuk dan mengundang kabut yang membayang semakin tebal di udara. Magis dan syahdu. Hari itu, alam raya tengah mempertontonkan simfoni dan teater keindahannya.
Rabu (27/12/2023) sore itu, kawasan Desa Pulosari, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terasa begitu sendu. Perpaduan hujan, dingin, dan kabut membuat suasana perkemahan yang terletak di kawasan hutan pinus itu terasa magis.
Sejauh mata memandang, hanya hujan dan kabut yang menyelimuti. Waktu pun terasa lesap. Kuasa alam mengambil alih seluruh ketergegasan. Semua tenang dalam pelukan alam.
Puluhan tenda yang berjajar di antara kaki-kaki pinus tampak diam dalam beku yang menyelimuti. Alam tengah membiarkan penghuninya berhikmat menikmati simfoni dan teater keindahan yang tersaji di depan mata. Di tengah alam yang indah, hujan, dingin dan kabut pun bersekutu menyuguhkan kedamaian.
Di antara selimut kabut, punggung-punggung bukit di kejauhan menciptakan lekukan indah berlapis-lapis nan memesona. Mereka seolah memeluk mesra jajaran pinus dan hijau kebun teh yang menghampar luas di sekelilingnya, seia sekata mencipta mahakarya, lukisan bentang alam.
Saat senja turun perlahan, suara tonggeret dan binatang malam pun bersahutan. Kabut samar-samar tergantikan gelap malam.
Menuju malam, hujan mereda, menyisakan titik-titik kecil air yang menetes satu-satu. Gelap memekat di sekitar area perkemahan, memberi waktu pada lampu-lampu penerangan mengambil alih. Juga waktu untuk api unggun untuk menghangatkan malam.
Di ketinggian, bulan berpendar redup. Mendung menghalangi pendar sinarnya malam itu, tetapi tetap romantis.
Suara lamat-lamat orang bercengkerama menyusup perlahan di antara pinus. Sesekali suara tawa berderai, membuat malam terasa hangat. Suara gitar bolong yang dipetik perlahan mengantar malam yang merambat semakin jauh.
Betapa hangat malam di antara hutan pinus dan tanah yang basah di Pulasari. Tak gemerlap, tapi merasuk ke jiwa.
Obat mujarab
Menjelang pergantian tahun menuju 2024, areal perkemahan Pulasari, salah satunya di Datar Pinus Camp, dipenuhi para penghikmat alam. Dalam satu hari pengelola bisa menerima ribuan pesan dari calon-calon pengunjung.
Tak sekedar bertanya, tetapi juga memesan tempat. Mereka tak hanya datang dari Bandung dan sekitarnya, tetapi juga dari Jakarta serta beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Baca juga: Banyak Jalan Menuju Anyer
Di sana, rata-rata mereka menghabiskan waktu selama dua malam agar puas menikmati simfoni dan teater alam Pangalengan. Dari Jakarta, Pangalengan yang masuk wilayah Kabupaten Bandung ditempuh dalam waktu kurang lebih 3-3,5 jam, menggunakan kendaraan roda empat.
Ada yang datang bersama rombongan besar hingga perlu mendirikan tenda lebih dari dua tenda. Ada juga rombongan lebih kecil yang hanya memerlukan dua tenda. Banyak juga yang hanya mendirikan satu tenda. Sebagian justru didominasi keluarga dengan anak-anak usia sekolah yang tengah menikmati masa liburan sekolah akhir tahun.
Selain membawa tenda secara mandiri, masuk kategori campervan apabila juga membawa mobil, pengunjung juga bisa menyewa tenda yang disediakan operator. Bila ingin lebih nyaman, pengelola menyediakan kasur busa ringan sebagai alas tidur. Tidak ada cerita punggung sakit karena tidur beralas tanah yang keras.
Di luar itu, fasilitas, seperti listrik, pun tersedia, juga segala keperluan untuk membersihkan diri dan peralatan kemping. Saat ini, areal perkemahan sudah makin banyak yang dikelola secara profesional sehingga meski lokasinya kerap sulit dijangkau, semua fasilitas untuk membantu pengunjung tetap nyaman di tengah alam tersedia. Kafe pun kini mulai kerap ditemui di areal perkemahan, membuat acara nongkrong di tengah alam menjadi semakin ”estetik”.
”Kemping di hutan pinus seperti ini baru kali ini. Enggak sangka Pengalengan sebagus ini,” ungkap Ridwan (40) yang asal Jakarta. Dia senang berkemah di hutan pinus karena saat hujan deras tidak terlalu terganggu dan tetap aman. Begitu pula pada siang hari, panas tidak terlalu menyengat karena terlindung oleh pohon-pohon pinus. Lebih dari itu, pemandangannya sungguh indah.
Bagi Ridwan, berkunjung ke alam, adalah cara untuk mengembalikan energi yang selama ini tersedot oleh tekanan pekerjaan. ”Tidak ada obat stres yang lebih mujarab selain pergi ke alam. Lihat hijau-hijau langsung seger lagi. Lihat kabut pun seneng,” imbuh Ridwan.
Tak pernah pergi
Tak hanya berkemping, sebagian orang memilih menikmati alam dengan tinggal di kabin-kabin yang kini juga semakin marak. Salah satunya seperti kabin yang juga disediakan Datar Pinus Camp dengan pemandangan menghadap hutan pinus.
Tinggal di kabin seperti itu laiknya tinggal di hotel tetapi lokasinya di tengah alam terbuka. Suasananya lebih syahdu, begitu pula dengan standar kenyamanan yang tentu lebih tinggi ketimbang tidur di dalam tenda. Tak heran peminat kabin terus membeludak dari waktu ke waktu.
Di Cabinite yang lokasinya tak terlalu jauh dari Datar Pinus Camp, para peminat tak henti-hentinya mengalir. Berbeda dengan Datar Pinus, Cabinite menyuguhkan pemandangan berupa kebun teh dan jajaran pinus di kejauhan.
Saat suhu udara mulai dingin, selimut kabut akan segera menyelimuti kawasan itu. Dari samar, dengan gulungan kabut yang menjalar perlahan, hingga lambat laun menebal hingga bayang-bayang pinus dan hamparan hijau kebun teh lenyap dari pandangan. Syahdu, hingga malam jatuh semakin jauh.
Baca juga: Shenzhen dan Klakson Sepeda Motor Listrik
Menjelang akhir tahun menuju 2024, peminat Cabinite pun melonjak hingga pengelola harus terus menolak pesanan. Tak hanya berasal dari Bandung dan sekitarnya, peminat bahkan ada yang datang dari Surabaya secara berombongan.
Dari Kota Buaya, mereka sengaja berkendara dengan roda empat menuju Pangalengan yang sudah terkenal indah dengan pemandangan alamnya sebelum akhirnya menutup perjalanan di Semarang untuk merayakan pergantian tahun.
“Ini kami datang sama anak-anak. Kami memang senang main ke alam karena rasanya lebih tenang dan damai. Lihat hijau-hijau, kabut. Indahnya...,” ungkap Dewi (55).
Selama menginap di kabin, Dewi dan suaminya pun menikmati waktu dengan sengaja berjalan kaki atau trekking di kebun teh. Meski rutenya cukup menantang, mereka tetap bersemangat. Perlahan, keduanya menapaki jalur di kebun teh yang mendaki menuju puncak bukit.
Di tengah hamparan kebun teh yang hijau terasa tenang dan damai. Sapa ramah ibu-ibu pemetik teh membuat pagi terasa hangat, seiring kabut yang menipis dan lenyap lalu datang lagi saat hari menuju malam. Kabut Pangalengan akan selalu datang, tak pernah benar-benar pergi.