Senja Merona di Barcelona
Tak ada kehidupan malam di Spanyol. Warga negeri itu hanya memperpanjang hari. Begitu pernah dikatakan Ernest Hemingway.
Di Spanyol tidak ada kehidupan malam. Di sana orang-orang begadang hingga larut malam dan bangun terlambat. Namun, itu bukan kehidupan malam. Mereka hanya memperpanjang hari. Begitu Ernest Hemingway, novelis peraih Nobel Sastra 1954, pernah menyebut. Lima hari berada di Negeri Matador, pekan kedua Desember 2023, waktu serasa berjalan melambat.
Akhir Oktober 2023, sepucuk undangan—melalui kantor harian ini—datang. Lexus Asia, melalui kantor Lexus Indonesia, mengundang ke Valencia, Spanyol. Dalam perkenalan pada jamuan makan siang di Jakarta, beberapa hari sebelum keberangkatan, General Manager Lexus Indonesia Bansar Maduma, yang akan memimpin perjalanan, berkata: ”Kita akan singgah dulu di Barcelona.” Wow!
Barcelona, kota terbesar kedua di Spanyol setelah ibu kota Madrid, dalam kesadaran kolektif seolah tak berjarak dengan publik Indonesia. Bagi penggemar sepak bola, kota itu jadi persinggahan para maestro bintang lapangan hijau: Johan Cruyff, Diego Maradona, Lionel Messi, Gary Lineker, Paulino Alcantara, Hristo Stoichkov, Gheorghe Hagi, Romario, Pep Guardiola, dan masih banyak lagi.
Baca juga: Pep Guardiola, Sang Revolusioner Lapangan Hijau
Kota tersebut semakin melekat dalam memori setelah digambarkan sebagai kota ”penuh cinta” oleh penyanyi Fariz RM lewat lagunya pada pertengahan 1980-an. Saat mengetahui rencana perjalanan ini, seorang rekan sontak berdendang: Gemerlap pesta kota/seolah getar Flamenco mengalun jiwa/kududuk terhanyut nuansa/di sudut semarak Plaza Catalonia/kala sepasang mata/menatapku manja/mengajak berdansa/sapanya ”Quiere Usted Bailar Conmigo?....
Begitulah, segudang imajinasi mengiringi penerbangan kelas bisnis dengan Turkish Airlines dari Jakarta, 7 Desember malam. Setelah singgah 2,5 jam untuk transit di Istanbul, Turki, awal perjalanan ini begitu sempurna saat matahari pagi dan langit membiru menyapa kami hangat di Bandar Udara Internasional El-Prat, Barcelona.
Seolah kembali mengingatkan pada pesona cinta, yang dilukiskan Fariz RM, kata-kata ”cinta” bertebaran di area pengambilan bagasi. Dalam bahasa setempat, kata itu ternyata berarti conveyor belt tempat pengambilan bagasi. Kami bertiga—bersama satu rekan wartawan lainnya—tersenyum mengetahui hal itu.
Di Spanyol, Barcelona adalah ibu kota dan kota terbesar di wilayah otonomi Catalunya. Ada 17 komunitas otonomi—salah satunya adalah Catalunya—dan dua kota otonomi di negara itu. Catalunya dikenal dengan semangat oposisi dan perlawanannya, bahkan juga aspirasi pemisahannya, dari pusat kekuasaan di Madrid.
Di Barcelona, bahasa komunikasi sehari-hari warganya adalah bahasa Catalan, bukan bahasa Spanyol. Sejak di bandara dan seantero kota, bahasa Catalan selalu ditempatkan di posisi teratas—di atas Bahasa Spanyol—di papan-papan pengumuman publik. Di banyak sudut kota dan permukiman mudah dijumpai bendera ”Senyera” dengan lima strip kuning dan empat strip merah. Ini bendera identitas Catalan.
”Orang Barcelona bangga dengan identitas Catalan-nya,” ujar Alvin, warga Indonesia yang sudah beberapa tahun tinggal di Barcelona, saat menjemput kami di Bandara El-Prat.
Namun, lupakan sejenak isu-isu politiknya. Perjalanan ini tidak ditujukan untuk menggali aspek itu. Sejak di Jakarta, Bansar mengungkapkan keinginan untuk menghadirkan pengalaman kemewahan bersama Lexus selama perjalanan di Barcelona dan Valencia. Karena itu pula, Lexus Indonesia menyediakan SUV mewah untuk menjemput dari rumah—begitu juga, mengantar kembali ke rumah—ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Baca juga: Hari yang Cerah di California
Selama dua hari berkeliling Barcelona, kami pun diajak merasakan kemewahan Lexus NX milik Christophe Deverly, warga Perancis yang membawa sendiri mobil itu dari Paris. Paris-Barcelona berjarak sekitar 1.000 kilometer. Christophe menuturkan, ia menempuh perjalanan Paris-Barcelona sekitar sembilan jam, sekali berhenti di Montpellier, kota di utara perbatasan Perancis-Spanyol.
Surga di Passeig de Gracia
Tujuan kunjungan hari pertama di Barcelona itu adalah Casa Batllo dan Casa Mila (La Pedrera). Ini dua bangunan ikonik yang berdiri penuh wibawa nan elegan di sudut perempatan terpisah di kawasan Passeig de Gracia. David Edo Estevez, pemandu turis kami, menyebut kawasan ini seperti Champs-Élysées di Paris.
Passeig de Gracia, seperti kebanyakan kota-kota di Eropa, punya trotoar lebar, bersih, dan nyaman. Sejak pagi hingga malam hari, kawasan itu selalu ramai dikunjungi warga. Trotoar di banyak kota di Eropa, tak terkecuali Barcelona, adalah surga bagi pejalan kaki. Sungguh amat sayang melewatkan jalan kaki di ”surga” itu.
Trotoar di banyak kota di Eropa, tak terkecuali Barcelona, adalah surga bagi pejalan kaki. Sungguh amat sayang melewatkan jalan kaki di ’surga’ itu.
Aktivitas itu pula yang kami pilih setelah rihat sejenak, menyeruput secangkir kopi atau teh hangat di tenda depan kafe sambil melepas obrolan ringan dan ikut memandangi kegembiraan para pejalan kaki. Seperti pernah disebut Hemingway, mereka terlihat seperti ingin memperpanjang hari dengan tak ingin tergesa-gesa berjalan.
Setelah menikmati makan siang dengan menu masakan Thailand di restoran berinterior klasik, kami berjalan kaki menuju Casa Batllo, gedung bernomor 43 di kawasan Passeig de Gracia. Casa Batllo (dibaca: Kasa Batyo, artinya ”Rumah Batllo”) dibangun pada 1877, milik pengusaha kaya Josep Batllo Casanovas.
Batllo meminta Antoni Gaudi (1852-1926), arsitek ternama yang kini menjadi salah satu legenda di dunia arsitektur, merenovasi rumah itu agar tampil beda dengan gedung-gedung lain. Renovasi berlangsung tahun 1904-1907.
Lewat sentuhan genius Gaudi yang penuh imajinasi, gedung itu punya desain dan gaya arsitektur unik dan berbeda dengan gedung-gedung di sebelahnya. Salah satu keunikannya terletak pada garis lengkung yang mendominasi bentuk tata ruang, pintu, langit-langit, dan corak warna-warni ornamen dindingnya.
Dari depan, pada fasad gedung berlantai tujuh—termasuk lantai bawah tanah—itu balkon-balkon terlihat menyerupai tengkorak manusia, dengan pilar-pilar jendela mirip tulang. ”Rumah Tulang”, sebut orang Barcelona.
Baca juga: Gaudi, ”El Barca”, dan Spirit Barcelona
Selesai mengeksplorasi Casa Battlo, menjelang senja aktivitas jalan kaki berlanjut ke Casa Mila (La Pedrera). Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari Casa Battlo. Dalam bukunya, Gaudi: Introduction to His Architecture (terbit 2022), Juan-Eduardo Cirlot menyebut gedung itu dibangun dari 1906 hingga 1912. Pemiliknya adalah pasangan pengusaha kaya Barcelona, Roser Segimon dan Pere Mila.
Seperti Battlo, mereka meminta Gaudi merancang bangunan yang akan dihuni sendiri dan sebagian ruangannya untuk disewakan. Bangunan sembilan lantai, termasuk lantai bawah tanah untuk garasi kendaraan—konon ini garasi bawah tanah pertama di Barcelona—itu menyajikan gambaran hunian warga kaya era 1910-an hingga kini.
Seni arsitektur Casa Milla tak hanya memperhatikan desain yang indah dan aspek ergonomis, tetapi juga dirancang secara personal bagi penghuninya. Seperti Casa Batllo, bagian atap Casa Milla menyajikan area terbuka dengan pemandangan beberapa cerobong asap nan artistik, terlihat seperti kikisan angin dan hujan pada bebatuan. Area itu menghadirkan tempat pas untuk berfoto ria sebagai penanda kenangan perjalanan ke Barcelona.
Perlu dicatat pula, Casa Battlo dan Casa Milla adalah dua dari tujuh karya arsitektur Gaudi yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Muncul pertanyaan, mengapa agenda perjalanan Lexus diarahkan ke bangunan-bangunan tua bersejarah di Barcelona?
”Bagaimana Gaudi mendesain kedua casa tersebut sejalan dengan para desainer Lexus yang mendesain kendaraan Lexus tidak hanya sekadar inovasi untuk mobilitas, tetapi juga sebagai karya seni yang dibuat secara personalized berdasarkan kebutuhan dari setiap penggunanya hingga dapat merasakan seperti di rumah sendiri (omotenashi),” kata Bansar.
Pesona Girona
Hari kedua di Barcelona berlanjut dengan kunjungan ke Katedral Girona di Girona, sekitar 100 kilometer timur laut Barcelona. Gereja ini menjadi salah satu lokasi pengambilan gambar film serial HBO, Game of Thrones.
Gereja itu juga menjadi saksi perjalanan sejarah Spanyol, termasuk fase masuknya Islam ke Semenanjung Iberia awal abad ke-8. Pernah dijadikan masjid pada 715-785, pembangunan konstruksi katedral saat ini dimulai abad ke-11 hingga ke-13 dengan memadukan gaya arsitek Roman dan Gotik.
David Edo Estevez, pemandu turis kami, menuturkan bahwa dengan lebar 23 meter, ruang utama (nave) katedral itu yang terluas kedua di dunia setelah Katedral Santo Petrus Basilika di Vatikan. Di ruang museum katedral tersimpan salinan kitab Bibel berusia 1.000 tahun dan kotak kecil peninggalan Khalifah Hisyam II di era Umayyah Andalusia yang memerintah tahun 976-1009 dan 1010-1013.
Di ruang museum katedral tersimpan salinan kitab Bibel berusia 1.000 tahun dan kotak kecil peninggalan Khalifah Hisyam II di era Umayyah Andalusia yang memerintah tahun 976-1009 dan 1010-1013.
Dari Katedral Girona, perjalanan berlanjut menyusuri area Kota Tua di sebelah katedral. Terdapat kompleks permukiman Yahudi dan bangunan bercat warna-warni di pinggir Sungai Onyar. Salah satu dari deretan rumah itu adalah Casa Masó, kelahiran Rafael Masó (1880-1935), arsitek terkemuka Catalan lainnya.
Perjalanan ke Girona ditutup dengan makan siang di restoran berkategori michelin star di atas bukit di Costa Brava dengan pemandangan menghadap ke Laut Tengah. Deburan ombak kecil sayup-sayup terdengar.
Setiap perjalanan dengan Lexus, ujar Bansar, harus ada yang spesial. Salah satu pilihan awalnya adalah menonton laga sepak bola klub Barcelona dari ruang eksklusif VVIP. Sepak bola adalah ”agama” kedua di Barcelona. Namun, saat kunjungan tak ada jadwal laga El Barca.
Baca juga: Di Ujung Dingin Paris...
Alternatifnya adalah menikmati kapal pesiar di pantai Barcelona. Selepas makan siang, kami bergeser ke Marina Port Olimpic. Ini pelabuhan di kompleks Olympic Village, yang digunakan Barcelona menggelar Olimpiade 1992. Di sana telah menunggu kapal yacht.
Senja itu kami habiskan di kapal pesiar tersebut. Nakhodanya bernama Daniel, orang asli Brasil. Kepada Daniel, kami bercerita, Indonesia punya memori tak terlupakan dari Olimpiade Barcelona 1992. Di Olimpiade itu, Indonesia untuk pertama kali meraih medali emas dari cabang bulu tangkis melalui pasangan Alan Budikusuma dan Susi Susanti.
Di dalam yacht, tersaji berbagai makanan ringan. Sambil terayun di atas ombak ringan, kami menikmati pemandangan matahari terbenam dari yacht itu. Dari tengah laut, dua menara (tower) di tepi pantai Barcelona terlihat seperti dua balok berdiri berselimut semburat warna jingga senja. Sungguh indah rona Barcelona, senja itu....